You Still Hold Me

1.9K 475 659
                                    

listen to the song in multimedia (theme song dain-haein)

__

Paginya, aku terbangun oleh suara bising dari staf rumah sakit yang berlalu-lalang di kafetaria.

Ada banyak hal yang berubah ketika aku terbangun. Hal yang pertama adalah posisi tidurku menelungkup di meja, di leherku terdapat syal abu yang bukan milikku, dan Namjoon sudah tidak ada. Aku meregangkan badan yang pegal.

Selain itu, kepalaku terasa pening karena tidur terlalu lama. Aku merasa tidak enak pada Namjoon karena telah berjanji untuk tidur hanya sebentar saja.

Terkadang, aku heran dengan kemampuanku untuk tidur nyenyak di tempat umum—contoh lainnya adalah saat aku tidur di depan pintu apartemen Haein. Tubuhku tidak memilih tempat apabila sudah kelelahan.

Segera aku membuka ponsel untuk mengirimkan permintaan maaf pada Namjoon. Namun ternyata ia mengirim pesan sekitar dua setengah jam yang lalu.

Kim Namjoon: Maaf karena meninggalkanmu, manajerku sudah marah besar.
Kim Namjoon: Aku juga tidak tega membangunkanmu yang sedang beristirahat, huhu.

Aku menyadari suatu hal yang sering terjadi diantara kami, yaitu kami sering meminta maaf kepada satu sama lain. Aku dan Namjoon adalah tipe manusia yang sering meminta maaf bahkan untuk hal sepele. Sebuah kebiasaan buruk, tapi sulit untuk dilepaskan.

Aku menggelengkan kepala sembari mengetik kata maaf di ponselku.

Song Dain: Ah, maaf. Harusnya aku bangun lebih awal. Semangat untuk hari ini, leader-nim!

Setelah mengirimkan pesan tersebut, aku menemukan bahwa ada beberapa telepon tak terjawab dari Haein.

Ia berjanji untuk mengantarku pulang ke rumah pukul tujuh, dan sekarang sudah nyaris pukul delapan. Aku menepuk jidat. Harusnya aku menyetel alarm.

Segera, aku beranjak dari posisiku dan berjalan menuju toilet untuk mencuci wajah.

Begitu sepenuhnya sadar, aku menelepon Haein.

"Song Dain? Aku mencarimu sejak tadi," ucap lelaki itu.

Aku menghela napas, "maaf, aku ketiduran di kafetaria."

Dapat kudengar suara sepatu Haein yang melangkah di ubin melalui telepon tersebut, "kau masih di sana?"

"Ya, di depan pintunya," jawabku.

"Tetap di situ," ucap lelaki itu lantas mematikan sambungan telepon. Aku menurunkan ponsel dari telingaku, lalu memasukkannya dalam tas selempang yang kukenakan.

Haein baru dapat dihubungi kemarin siang, beberapa jam setelah operasi ibuku selesai. Namun ia sangat sibuk hingga tak bisa bertemu denganku sama sekali.

Sebagai gantinya, lelaki itu berjanji akan menemuiku pagi ini sebelum ia berangkat ke klinik.

Aku mengedarkan pandangan ke sekeliling, di sudut kiri, tepat sebelum pintu utama, beberapa petugas sedang memperbaiki letak lampu natal raksasa menggunakan tangga.

Ah, benar. Ternyata hari ini adalah hari natal, 25 Desember. Seketika aku teringat tentang natal tahun lalu yang aku habiskan bersama Haein di Ulsan.

Natal tahun lalu adalah salah satu momen yang tak dapat kulupakan, malam itu kami memasak bersama, Haein menyanyi sembari bermain gitar, dan menonton film bersama. Sayangnya, tahun ini ia tidak punya waktu untuk berlibur.

Mataku menangkap sosok Haein yang berjalan mendekat. Ini adalah pertama kalinya aku melihat lelaki itu semenjak berbulan-bulan.

Aku meridukannya setengah mati, tapi setelah melihatnya hari ini, semua kerinduan itu terbayar lunas.

Arcadia | KNJTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang