Make It Right

2K 514 1K
                                    

Kim Namjoon
Ulsan, 13th November 2018

Aku tidak pernah berniat untuk mengucapkan kalimat itu.

Kini Dain sepenuhnya terdiam dengan mulut yang sedikit terbuka. Matanya menatapku dengan penuh heran. Apakah terlalu dini untuk mengatakan hal itu? Mungkin.

Baru beberapa menit yang lalu gadis itu menyadari aku teman SMA-nya, sekarang ia harus menerima fakta baru lagi tentang perasaanku padanya.

Gadis itu mengatupkan mulut, kepalanya miring ke samping. "Aku menunggumu berkata 'hanya bercanda', tapi rupanya kau serius."

"Apa aku menghancurkan harapanmu?" tanyaku setengah bercanda.

Dain mengayunkan kedua tangannya di hadapanku. "Bukan, bukan begitu. Aku.." ia berhenti, kedua alisnya mengerut. "aku tidak tahu harus menanggapi seperti apa."

Aku mengangguk pelan, "tidak masalah, aku mengatakannya bukan untuk meminta respon tertentu." Untuk ucapanku yang barusan, aku sepenuhnya serius.

"Aku hanya ingin jujur saja," lanjutku.

Lagi pula, aku hanya mengatakan bahwa ia cinta pertamaku, aku tak berkata bahwa aku masih cinta padanya hingga detik ini. Kedua hal itu adalah topik yang sepenuhnya berbeda.

Angin berhembus berkali-kali, badan gadis itu yang membelakangi cahaya lampu membuatnya terlihat seperti lukisan siluet.

"Biar kutebak, pasti kau membenciku." Kalimat tersebut diucapkan oleh Dain yang sedang memandangi air sungai.

Sepertinya ia sedang berusaha mengingat masa lalu. Aku penasaran, apakah ia ingat tentang hubunganku dengan Hyojoo? Apakah saat ia mengingatku, seluruh ingatannya di masa itu juga turut kembali? Atau terpisah?

Ada banyak pertanyaan yang tak henti muncul di kepalaku, tapi yang kukeluarkan hanyalah satu.

"Kenapa kau berpikir begitu?"

"Karena cinta pertamamu tidak mengenalimu. Kalau itu aku, pasti aku juga sangat kesal," jawabnya lalu menghela napas.

Dain menggeserkan badannya hingga sedikit lebih dekat dariku, hanya untuk mengulurkan tangan kirinya, lalu meletakkannya di atas telapak tanganku yang sedang menumpu pada batu sungai.

Ia tersenyum tipis, "maafkan aku, Kim Namjoon."

Pandanganku tertuju pada tangan Dain. Jari manis dan kelingkingnya sudah diamputasi.
Entah mendapatkan keberanian dari mana, begitu Dain melepaskan sentuhan itu, aku meraihnya kembali.

Tangan kananku kini menggenggam telapak tangannya yang terasa dingin di kulitku.

Perlahan, aku mengelus punggung tangan Dain tanpa berani menatap matanya sama sekali. "Apa yang terjadi?" tanyaku.

Dain menjawab dengan singkat. "Kecelakaan," ucapnya.

Aku dapat menangkap gadis itu tersenyum tipis dari sudut mataku. "Sudah tidak apa-apa sekarang, tak perlu khawatir." Usai mengucapkan hal tersebut, ia membebaskan tangannya dariku.

Dalam lubuk hati terdalam, aku tahu kehilangan jari adalah mimpi buruk baginya yang ingin menjadi pianis. Aku memberanikan diri untuk menatapnya. Ia terlihat tenang.

"Setelah pindah sekolah, semuanya berjalan dengan baik di sana?" aku bertanya dengan hati-hati.

Gadis itu mengangguk, "bisa dibilang begitu. Aku lulus dan masuk di universitas ternama, lalu berhenti karena tidak bisa main piano lagi."

Hal pertama yang aku rasakan adalah aku kagum melihat bagaimana Dain mampu menceritakan hal tersebut dengan tenang. Tidak semua orang punya keteguhan hati seperti itu.

Arcadia | KNJTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang