Aku baru saja kembali dari membeli beberapa minuman. Saat aku berjalan di area lobi, beberapa dokter sedang berjalan menuju pintu utama.
Kedua alisku terangkat begitu menyadari salah satu diantaranya adalah Park Joonwoo, dokter yang melakukan operasi pada ibuku.
Segera, aku berjalan menghampirinya dan berdiri di hadapan dokter Joonwoo. Beberapa dokter di belakangnya juga turut berhenti ketika pria paruh baya tersebut menghentikan langkahnya.
Dokter tersebut adalah kepala neurosurgeon sekaligus CEO dari rumah sakit ini, aku sepenuhnya berterimakasih karena kebaikannya untuk memimpin operasi beberapa minggu lalu meski bukan dirinya yang menjadi dokter penanggungjawab ibuku. Biasanya, orang yang memiliki jabatan setinggi itu tidak akan menaruh perhatian pada pasien yang bukan VIP.
Aku mengukir senyum begitu dokter Joonwoo menatapku, "selamat sore, Euisa-nim. Saya anak dari pasien yang anda operasi tanggal 22 bulan lalu." (Dokter)
Pria itu mengernyit tipis, lalu tersenyum. "Ah, Song Eunhee-ssi?"
Sementara terkesima dengan kemampuannya mengingat nama, aku mengangguk cepat. "Ya, maaf karena mengganggu kesibukan anda, saya hanya ingin mengucapkan terima kasih banyak karena sudah menyelamatkan ibu saya."
Dokter Joonwoo melebarkan senyumnya dan menunduk sedikit, lalu menjabat tanganku, "itu sudah tugas saya, tak perlu berterima kasih."
Usai mengatakan itu, pria tersebut menepuk punggung tanganku ringan lalu melepaskannya. "Saya permisi dulu," ucapnya lagi.
Aku menganggukkan kepala dan segera menundukkan badan, mempersilakan dokter Joonwoo pergi bersama pria-pria berjas putih lainnya. Begitu mereka pergi, aku kembali berdiri tegak dan mengamati mereka berjalan keluar dari pintu kaca. Rasanya, hatiku nyaman mengetahui bahwa masih banyak dokter kompeten dan ramah di negara ini. Aku akan selalu mengingat dan menghargai namanya. Park Joonwoo.
Aku kembali berjalan menuju ruangan ibuku yang terletak di lantai lain, lalu meletakkan minuman yang kubeli tadi di dalam kulkas kecil yang terletak di pojok ruangan. Jena yang sedang bermain ponsel kini menatapku, "titipanku ada?"
Kuanggukkan kepalaku sembari memasukkan dua botol kaleng lagi ke dalam kulkas. "Ada, tenang saja."
Jena beranjak dari kursi, lalu berdiri di sampingku. Dengan perlahan, ia menyenggol badanku dengan pundaknya.
Aku menutup pintu kulkas dan menatapnya. Gadis itu memasang wajah sok manis, senyuman palsu dan alis yang naik turun dengan genit.
Aku tahu apa yang ia mau.
"Tidak," jawabku.
Gadis itu memelas. "Eonni.. ayolah, sekali saja, ya?"
Kugelengkan kepalaku, lalu berjalan menjauh darinya.
"Tidak boleh." Adikku itu sedang memohon untuk dapat menelepon Namjoon dan berbicara dengannya.
Semenjak aku menjelaskan bahwa Namjoon adalah teman sekolahku, aku tak dapat melewati satu hari pun tanpa mendengar bujukannya. Aku pun menjadi sadar untuk memproteksi ponselku sebaik mungkin darinya.
Jena mengikutiku dengan wajah sedih. "Kalau begitu apakah aku bisa bertemu dengannya? Apa nanti akan ada reuni? Boleh aku ikut?"
Aku hanya menggelengkan kepala.
Seketika, aku merasakan ponselku bergetar. Aku mengeluarkan benda tersebut dari saku. Haein menelepon.
Jena kini berusaha mengintip layar ponselku, "apa itu dia?"
Aku menggeleng, "bukan."
Setelah mampu mengidentifikasi nama yang tertera di ponselku, Jena berkata. "Kupikir kalian sudah putus?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Arcadia | KNJ
FanfictionDan saat jiwanya mulai lelah, Namjoon mendengar bisikan itu. "Kembali ke sini, kau akan temukan yang apa kau cari." Jika alam telah berkata demikian, satu-satunya pilihanmu ialah: percaya. a r c a d i a • the harmony of nature frvrxxodairable, 201...