Song Dain
Ulsan, 23rd December 2018Kursi tunggu di depan ruang operasi rumah sakit hanya diisi oleh aku dan Jena yang tertidur di pangkuanku.
Hening tanpa suara. Aku bersandar di tembok putih yang dingin. Layar yang berada di atas pintu masuk ruang operasi itu menunjukkan bahwa sedang ada operasi yang berlangsung.
Aku memeriksa ponsel. Sudah pukul tiga dini hari. Kereta yang kutumpangi tiba di Seoul yang membeku saat tengah malam.
Ingatanku tertuju pada telefon yang kuterima sekitar empat setengah jam yang lalu.
Saat itu, aku sedang memandangi jendela yang menunjukkan pemandangan kota kecil yang dipenuhi oleh putih salju dan cahaya warna-warni dari lampu dan pemukiman warga. Lagu klasik yang kuputar untuk menenangkan hatiku tiba-tiba berhenti dan tergantikan oleh nada dering.
Nomor yang menelepon merupakan nomor telefon kabel.
"Selamat malam, saya administrator Severance Hospital, apa benar dengan Song Dain?" suara wanita yang sopan membuka pembicaraan.
"Ya, benar."
Latar suara "Tujuan saya menelepon adalah untuk meminta izin pada Dain-ssi sebagai wali utama pasien atas nama Song Eunhee. Kondisi pasien sedang sangat buruk, berdasarkan hasil biopi terdeteksi sejenis tumor pada saraf. Harus dilakukan operasi sesegera mungkin."
Diriku yang sudah cukup tenang kini kembali meringis. "Jika itu bisa menyelamatkannya, saya setuju." aku menjawab dengan setenang mungkin.
"Baik." Wanita itu menanyakan sesuatu pada orang lain dengan berbisik, kemudian melanjutkan, "operasi akan segera dilakukan begitu dokter Park Joonwoo, kepala neurosurgeon kami tiba mengingat operasi ini cukup kompleks."
Aku menghela napas. "Kira-kira butuh menunggu berapa lama?"
"Kami usahakan setengah jam dari sekarang, beliau sudah berada di jalan sekarang."
Kubasahi bibirku, "baik, terima kasih."
Setelah itu, kami membahas tentang asuransi, beberapa informasi penting lainnya, dan mengkonfirmasi bahwa aku akan segera tiba kurang lebih dua jam lagi di sana.
Suara batuk Jena yang kini terbangun mengembalikanku pada masa sekarang.
Aku tersenyum tipis padanya. "Ireonasseo?" (Kau sudah bangun?)
Gadis itu mengubah posisi tubuhnya. Ia terduduk dan meregangkan badan sembari mengusap matanya. "Sudah jam berapa, eonni?"
"Tiga lewat lima belas," jawabku.
Jena terlihat sangat lelah. Aku sungguh khawatir padanya, ia butuh tidur dengan nyenyak. "Kau pulang saja tidur, nanti aku kabari jika operasinya sudah selesai."
Ia masih mencoba membuka matanya lebar-lebar saat menatapku dengan bingung, "mereka bilang operasinya akan selesai kapan?"
"Jam enam atau tujuh pagi."
Jena menghela napas, kemudian mengangguk setuju. "Janji akan membangunkanku kalau sudah selesai?"
Kuanggukkan kepalaku dan tersenyum pada Jena. "Jangan mute ponselmu sebelum tidur," ucapku saat mengingat bahwa ia memiliki kebiasaan tersebut.
Gadis itu kini berdiri dan menggoyang-goyangkan kepalanya dengan cepat, mungkin sebagai upaya membebaskan diri dari rasa kantuk.
Aku segera mengambil tas dan memberikannya uang tunai untuk naik taksi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Arcadia | KNJ
FanfictionDan saat jiwanya mulai lelah, Namjoon mendengar bisikan itu. "Kembali ke sini, kau akan temukan yang apa kau cari." Jika alam telah berkata demikian, satu-satunya pilihanmu ialah: percaya. a r c a d i a • the harmony of nature frvrxxodairable, 201...