Koridor Arena, 24 Desember, 16:10 WIB
Aku melangkah pelan, keluar dari ruang kesehatan.
berdampingan dengan Nenek, kami melangkah bersama dikoridor menuju jalan keluar.
"Jadi. Kau tidak menyaksikan pertandingan mereka?"
Dengan pelan aku menggelengkan kepala dan berkata, "Mereka anak yang cerdas, mereka tak butuh kehadiranku untuk menang."
Nenek memperhatikanku dan tersenyum lembut, "Sangat jarang melihat anak muda sepertimu. Kau punya potensi, Nenek yakin kemampuanmu lebih dari apa yang Nenek lihat."
Mendapap pujian dan senyuman secara bersamaan membuat wajahku sedikit merah, aku tidak menyangka jika mendapat pujian akan memalukan.
"Benarkah. Aku rasa nenek terlalu melebih-lebihkan."
"Nenek selalu menilai dari apa yang dilihat. Bagaimana jika kau bergabung dengan-"
Dari persimpangan koridor seorang laki-laki muncul, aku terkesiap, berhenti, dan memberi hormat. Jantungku berdetak kencang saat melihat pangkat tiga bintang berwarna emas yang tersemat di bagian pundak kemeja PDH.
Pria berpangkat letnan jendral itu membalas hormat, aku tidak dapat melihat wajahnya karena lebih pendek dari dia. Si letnan melepas topinya, aku sedikit mengintip.
Pahlawan! Aku yang terkejut dan tak percaya berteriak didalam hatiku sendiri.
"Selamat siang nyonya dan Nona"
Aku merasa sangat kaku, meski begitu aku tetap memaksakan diri untuk berbicara.
"P-Pahlawan, apa yang kau lakukan disini."
"Aku? Aku baru saja sampai untuk inspeksi arena."
Nenek tampak tidak senang dan berbisik lirih ke telingaku.
"Dia sudah mengikuti sejak lama, belakang tempat penonton, dibalik pintu kesehatan, aku kira kau hanya datang menguping, Tuan Pahlawan."
Suaranya sangat kecil aku ragu Pahlawan dapat mendengarnya karena ekspresin Pahlawan tidak berubah.
Dari yang dikatakan Nenek sepertinya pahlawan memiliki alasan tersendiri untuk berbohong. Aku sama sekali tidak mengerti apa yang Pahlawan pikirkan, lebih baik aku segera pergi. Dan untungnya aku bersama Nenek saat ini, aku akan bilang jika aku akan bersama Nenek memiliki keperluan dan segera pergi. Dengan begitu-
"Maafkan Nenek, ada yang harus nenek lakukan."
Nenek!
Nenek melangkah pergih, tetapi sebelum jauh aku teringat jika belum mengucapkan selamat tinggal.
"Nenek, semoga kita dapat bertemu lagi."
Nenek yang masih mendengarnya berbalik dan berkata, "Ya, semoga kita bertemu, disisi yang sama."
Kemudian Nenek melangkah jauh, meninggalkan aku dan Pahlawan.
Ah sial.
"Sepertinya kau tidak suka berbasa-basi."
Itu benar. Namun apa itu sangat tampak di wajahku.
"Kalau begitu, aku akan langsung ke inti pembicaraan."
"Salah satu alasanku menjadi rangkap jabatan sebagai pangkostrad dan kepala sekolah adalah untuk memperbaiki pendidikan. Tapi beberapa tahun ini aku sadar, kurikulum negara ini sangat bodoh. Namun, aku dapat merubahnya. Yang aku butuhkan sekarang hanya seseorang yang mampu membuat kurikulum yang lebih baik."
KAMU SEDANG MEMBACA
Eris Project: The Lost Memory
Science FictionPada pertengahan agustus ledakan berskala besar muncul di daratan eropa. Akibat ledakan tersebut puluhan negara hancur, populasi manusia turun tajam. Dunia dilanda kekacauan, kerusuhan, dan kepanikan. Delapan tahun setelahnya dunia kembali stabil...