Sarah Memory Part 3

628 59 13
                                    

Erfan tesenyum tipis.

Itu adalah senyum pertama yang kulihat dari seorang pahlawan, walaupun terlalu tipis untuk disebut senyuman.

Lalu, dia menolehkan garis pandangannya untuk melihat ke arahku.

"Jadi...."

Ada tatapan tajam di dalam mata itu, dan dari mata itu hanya dapat diartikan satu hal. Tatapan seseorang yang penuh akan ambisi.

"Apa kau ingin mewujudkan itu sepenuhnya?"

Hah? Tentu saja aku mau. Mimpiku belum berubah hingga saat ini, berguna bagi negara adalah segalanya bagiku. Tapi apa maksud dari mewujudkan sepenuhnya mimpiku itu?

"Apa maksud bapak?"

"Negara ini membutuhkan orang-orang sepertimu, aku ingin kau dapat menurunkan semangat dan cita-citamu kepada penerus bangsa. Ini adalah alasanku sampai memanggilmu meski kau sedang bertugas di luar negeri."

Menurunkan semangat kepada penerus bangsa? Artinya-

"Maksud bapak aku harus...."

"Benar."

Erfan secara tiba-tiba menundukan kepalanya. Wajahnya tertunduk rendah menghadap meja, dia memohon di hadapanku.

"Aku, Erfan Padjinaro, sang Pahlawan memohon dengan sangat agar perwira tingkat menengah, Kolonel Sarah Emilia menerima permintaan egoisku untuk menjadi salah satu guru di sekolah ini."

Eh?

Kebingungan menyelimuti otakku.

Seorang pahlawan memohon kepada ku?

"Mohon izin untuk menolak."

Tanpa pikir panjang aku langsung menolaknya.

Ada alasan kenapa aku menolaknya bahkan tanpa pikir panjang. Itu karena seorang guru adalah orang yang bersifat empati, ramah dan penuh kasih sayang. Aku sangat tidak sesuai dengan profesi itu. Jika di antara menyukai dan membenci profesi ini maka aku membenci pekerjaan seorang guru.

Di masa lalu, aku menganggap guru tidak bisa mewujudkan mimpi ku, bahkan sampai saat ini aku masih berpikiran sama.

Yang aku tahu, seorang tentara yang berperang lebih berguna untuk negara di banding guru yang hanya diam mengajar di kelas. Oleh karena itu, aku akan mati-matian menolak permintaan itu, meskipun permintaan itu dari seorang pahlawan sekalipun.

Lagi pula kenapa seorang Pahlawan yang menjabat sebagai kepala sekolah malah meminta seorang tentara menjadi guru?

Setelah menolah permintaannya dengan cepat, Pahlawan merubah posisinya ke semula. Mengangkat kepalanya yang sempat tertunduk tadi.

Dia tidak bisa sepenuhnya menutupi keterkejutannya, mungkin dia cukup terkejut dengan penolakanku. Dia terlihat tidak percaya dengan apa yang telinganya dengar.

"Aku mohon pikirkan it-"

"Mohon izin untuk menolak pak."

Aku kembali menjawabnya dengan segera untuk menegaskan penolakanku.

"Kenapa?"

Pahlawan pasti sangat kebinggungan. Tapi tidak mungkin aku mengatakan alasan penolakanku yang seperti alasan anak-anak itu.

Perasaan tidak enak membuat perutku menjadi perih. Kemudian, ketika mengingat seorang pahlawan yang memanggiku secara langsung lalu memohon dengan sangat dan kutolak tanpa pikir panjang, perih itu semakin kuat.

Eris Project: The Lost MemoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang