Suatu tempat di Amerika.
Satu bulan sebelum JKN.
Di dalam sebuah rumah yang tak terawat, pengap, dan berdebu, terdapat satu kamar dengan seorang wanita yang tengah terbaring lemah di atas sebuah kasur lusuh. Kondisi wanita tersebut tampak terawat dan terurus, berbeda dengan kondisi ruangan yang ditempatinya. Tubuhnya yang lemas terlihat kaku, tak dapat bergerak. Hanya tersisa bagian mulut dan mata pada tubuhnya yang masih dapat digerakan, tapi tentunya sedikit gerakan saja memerlukan banyak energi.
Meskipun begitu, secara perlahan wanita tua tersebut membuka membuka matanya, melihat kearah wajahku dan tersenyum dengan susah payah demi menyembunyikan penderitaan yang ia alami.
Wanita tersebut adalah ibuku, teersenyum menatapku yang tengah duduk di sebelah kanannya.
Sudah beberapa saat semenjak aku duduk disebelah ibu. Dari atas kursi rapuh ini, dari awal aku memperhatikan ibu yang tengah tertidur, satu-satunya kegiatan yang dapat dia lakukan di atas kasurnya, saat dimana dia terlihat tidak menderita. Dan sekarang, dia kembali terbangun, menyia-nyiakan energinya.
"Ibu dengar dari adikmu. Kau diterima. Selamat."
Ibu berbicara padaku dengan setiap kata yang begitu susah payah diucapkan, meskipun dia tutupi dengan senyuman. Aku sangat khawatir dengan kesehatannya, tapi dari yang kurasakan ibu lebih khawatir kepadaku.
Aku membalas senyuman Ibu, menjawabnya dengan semangat dan meyakinkan. "Iya Bu. Dan saat aku pulang dengan kemenangan nanti, ibu akan dirawat dengan layak. Dan adik juga tidak perlu berkeliaran dijalan. Kita akan kembali menjadi keluarga."
Ibu menarik nafasnya dengan panjang berat, tetap berusaha berbicara meski itu menyiksa bagian tenggorokannya, "Kamu. gadis yang baik. jangan terlalu. memaksakan diri."
Mataku sedikit berkaca mendengarkan suara dan melihat kondisi Ibu yang kian parah, tidak seperti dulu. Padahal Ibu dulu adalah orang yang sangat ceria dan bersemangat.
"Bilang itu saat Ibu telah sembuh."
Ibu kembali mengambil nafas panjang untuk berbicara. Mengembungkan paru-parunya dengan susah payah.
Melihat itu, aku berbicara mendahului ibu, "Sudah Ibu. Ibu juga tidak perlu memaksakan diri. Tubuh ibu butuh istirahat yang cukup. "
Ibu mengangguk dengan kaku dan pelan, mengiyakan permintaanku meski tampak sedikit kekecewaan dalam dirinya. Dari ekspresinya yang khawatir dan kesepian itu aku sedikit membaca pikiran ibu yang akan kembali aku tinggalkan.
Aku memegang telapak tangan kanan Ibu, kulit yang lembut meski dengan jari jemari yang sudah mengurus, aku menggosoknya beberapa kali untuk menenangkan perasaannya. "Ibu tidak perlu khawatir. Aku tau aku akan berada di tempat yang jauh, tapi aku bisa menjaga diri. Kak *** bilang ini misi yang sangat penting dan rahasia, jadi aku tidak bisa berlama-lama disini."
Suara kursi mundur berdecit saat aku berdiri. Ibu masih terlihat cemas dan gelisah. Aku memperbaiki selimut Ibu dan melanjutkan,
"Dengar Ibu, ini bukan pertama kalinya aku meninggalkan rumah. Jangan terlalu merindukan Elena yang memang jarang pulang. Lagi pula ada Joshua yang selalu menemani Ibu."
Aku mencium kening Ibuku, dan tersenyum padanya.
"Elena akan kembali."
Ibu membalas senyumku, senyum yang mengisyaratkan sebuah kepercayaan padaku.
"Istirahatlah Ibu," Aku mengambil selimut dan menutupi sebagian tubuh ibu yang mulai kurus, memperlihatkan tulang-tulang tubuhnya yang tidak lagi dilindungi banyak daging karena kekurangan gizi.
Aku kembali duduk, memperhatikan Ibu yang perlahan memejamkan kedua matanya. Tertidur ditempat yang tidak layak karena jarang dibersihkan. Aku terlalu disibukkan dengan pelatihanku yang ketat selama 1 tahun ini, sementara saudara laki-lakiku juga sibuk berkerja.
Sudah 2 tahun keluargaku hidup dalam kekurangan. 2 Tahun lalu keluargaku adalah keluarga menengah yang lebih dari cukup. Aku, saudara laki-laki, ayah dan ibu adalah keluarga yang harmonis bahkan setelah bigbang. Bigbang diumurku yang ke 5 tahun cukup mengguncang keluargaku, tetapi karena ayah dan Ibuku yang merupakan akuntan handal, tidak butuh waktu lama bagi mereka untuk mendapat pekerjaan yang bagus. Kami menjadi keluarga harmonis.
Namun semua itu berubah saat ibu jatuh sakit. Biaya pengobatan diamerika sangat ma, ayah yang tidak mampu terus-menerus membiayainya merasa tertekan dan kabur dari rumah dengan uang tabungan ibu. Keluarga sempurna kami runtuh seketika.
Saat pikiranku masih tenggelam dalam masa lalu, sebuah ketukan muncul menyadarkanku, diikuti suara pintu masuk yang terbuka.
Itu pasti Joshua, saudara laki-lakiku. Sepertinya dia baru pulang dari pekerjanya.
Dengan perlahan aku berjalan keluar kamar Ibu yang telah tertidur nyaman agar tidak menimbulkan suara. Setelah membuka dan menutup pintu sepelan mungkin, suara langkah kaki berderap bergantian dengan cepat kearahku.
Tak lama, seorang dengan postur setengah badanku muncul dengan pakaian kotor dan wajah yang kusam. Dia adalah Joshua, adik laki-lakiku yang berlari dengan membawa ekspresi riang.
"Kakak! Kakak Pulang? Lihat Kak."
Dengan wajah ceria dia berteriak sambil menunjukan beberapa uang dolar berwarna hijau di kedua genggaman-nya. Dia bekerja sebagai penjual koran dijalan dekat rumah
Sebenarnya aku sendiri telah mendapat uang dari sekolah, oleh karena itu aku sempat melarangnya. Namun, aku tidak tega terus menerus melarangnya saatnya melihatnya terus memohon untuk membantu biaya pengobatan Ibu.
Dan lagi wajahnya imut.
Joshua "Ada suami istri baik yang membeli koranku dengan uang lebih."
Dia terlihat sangat senang. Joshua adalah anak yang periang, sejak dulu dan sekarang dia tidak pernah berubah. Aku benar-benar bersyukur memiliki Adik sepertinya .
"Kau pasti memanfaatkan keimutanmu lagi, Joshua."
Aku mengelus-ngelus kepala Joshua, dia sangat menyukainya meski itu membuat rambutnya yang sudah panjang berantakan.
Aku berharap ini tak pernah berakhir
"Peleton 4. Bersiap!"
Teriakan yang keras membangunkanku dari tidur dengan paksa. Menyadarkan posisiku yang tidak lagi berada di atas daratan.
Bersambung....
✨️✨️✨️
Selanjutnya di Eris Project....
KAMU SEDANG MEMBACA
Eris Project: The Lost Memory
Science FictionPada pertengahan agustus ledakan berskala besar muncul di daratan eropa. Akibat ledakan tersebut puluhan negara hancur, populasi manusia turun tajam. Dunia dilanda kekacauan, kerusuhan, dan kepanikan. Delapan tahun setelahnya dunia kembali stabil...