4. Balapan

490 44 104
                                    

Happy reading!

Kaki panjangnya memasuki pintu utama rumah mewah itu setelah memarkirkan motornya di garasi. Bastian berjalan gontai ke arah ruang keluarga dengan sebelah tangan menenteng kantong kresek berisi seblak pesanan adik perempuannya.

Tubuhnya ia hempaskan ke atas sofa empuk berwarna coklat muda di sana. Matanya terpejam sejenak. Hari ini cukup melelahkan, apalagi tadi ia mendapatkan serangan mendadak.

"Woi, Bang! Gue nyuruh beli seblak doang lama amat. Mampir ke Arab dulu, lo?" Gadis dengan baju santai bergambar unicorn itu menggerutu sembari menuruni anak tangga yang menghubungkan antara kamarnya dengan ruang keluarga.

Arafah berjalan mendekat ke arah kakak laki-lakinya itu yang kini sudah berubah posisi menjadi rebahan. "Ya Allah, Bang. Gue nyuruh lo beli seblak bukan tawuran!" pekik Arafah saat melihat ada beberapa lebam di wajah tampan kakaknya itu.

Bastian berdecak. "Gue bukan tawuran, dodol. Tapi dikeroyok!"

"Ya pokoknya itu lah, sama aja. Sama-sama baku hantam, kan?" ujar gadis itu tak mau kalah.

"Beda, Oneng." Bastian menoyor pelan kepala adiknya itu.

Arafah berdecak pelan kemudian membawa kantong plastik yang Bastian bawa tadi ke dapur. "Udah, ah, gue mau makan seblak dulu. Bye."

"Adek laknat, lo! Abangnya luka gini bukannya diobatin malah mentingin seblak," gerutu Bastian yang masih bisa didengar oleh Arafah.

"Gue beli itu harus baku hantam dulu, lo nggak kasihan gitu sama abang lo yang ganteng ini? Untung tadi ada cewek yang bantuin gue." Ucapan Bastian barusan membuat pergerakan Arafah yang sedang menuangkan seblaknya ke dalam mangkuk terhenti. Gadis itu berjalan mendekati kotak obat di atas lemari dekat dapur lalu membawanya ke arah Bastian.

Arafah sedikit tertarik untuk mendengarkan cerita kakaknya itu. Jarang-jarang, kan, kakaknya itu mau membicarakan soal perempuan. Walaupun banyak dikagumi oleh kaum hawa, Bastian belum pernah sama sekali dekat dengan manusia berjenis kelamin perempuan kecuali Kania—bundanya— dan Arafah.

Arafah mendudukkan dirinya di samping Bastian dan mulai melancarkan pertanyaannya, "Lo tadi dibantuin cewek?" Bastian mengangguk singkat sebagai jawaban.

"Cantik nggak?" tanyanya lagi dengan tangan yang sibuk menuangkan obat merah ke atas kapas.

"Cantik." Bastian menjawab singkat sembari sesekali meringis karena gadis di hadapannya itu menekan lukanya sedikit kasar. "Ck, pelan-pelan bisa nggak, sih? Bukannya sembuh malah tambah bonyok muka tampan gue."

Gadis kelas sepuluh Sekolah Menengah Atas itu hanya membalasnya dengan cengiran. "Siapa namanya, Bang?"

Bastian mendelik ke arah adiknya itu. Entah apa yang membuat adiknya sangat ingin tahu, padahal biasanya tidak pernah peduli. "Kepo." balas Bastian kemudian, membuat Arafah berdecak malas.

"Lagian lo tumben amat nanya-nanya? Biasanya aja nggak peduli," cibir Bastian.

"Ya, iyalah, gue nggak peduli. Setiap hari lo ngomonginnya tentang temen-temen absurd lo itu. Gue jadi curiga jangan-jangan lo emang beneran gay?" tuding Arafah. Tangannya terangkat menunjuk wajah kakak laki-lakinya.

Bastian menyentil pelan dahi gadis di hadapannya itu. "Sembarangan! Gue masih normal, ya."

"Nanti kapan-kapan bawa kesini, ya, Bang?" ucap Arafah tiba-tiba setelah selesai mengobati Bastian.

Bastian mengernyitkan dahi. "Siapa?"

"Cewek yang udah bantuin lo."

"Kesya?"

SEBASTIAN [ON GOING]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang