Perubahan

35.1K 3.5K 120
                                    

Setelah kejadian satu malam itu, Abrisam kembali seperti biasanya. Ia tak berani asal menyentuh Miu. Pria itu juga semakin jarang menyuruh-nyuruh Miu seperti biasanya. Abrisam bahkan sempat sakit sekali lagi karena tak mau meminta tolong supaya Miu memesankan makan siangnya. Padahal, pria itu masih dalam proses sidang perceraian yang menguras tenaga dan emosinya. Belum lagi kedua orang tua Abrisam yang tak dapat menerima perceraian itu.

Bahkan meski mereka tahu jika Tasya main belakang dengan Kalana, mereka masih meminta Abrisam memaafkan Tasya dan melanjutkan rumah tangganya. Miu sampai tidak paham dengan jalan pikir orang tuanya. Abrisam sudah cukup menderita, mau disiksa dengan apalagi sampai mereka puas?

"Bos?" Miu melongokan kepala ke dalam ruangan Abrisam.

Pria itu baru saja pulang dari sidang perceraiannya. Prosesnya berlangsung cepat. Miu yakin Abrisam pasti mengeluarkan banyak uang supaya gugatan dan sidangnya berjalan lancar. Kurang dari sebulan saja, Abrisam sudah resmi berstatus duda.

"Iya?" Abrisam menatap Miu, kelihatan kusut dan lelah.

"Bos udah makan siang? Sekarang udah jam dua."

Abrisam menggeleng. "Aku nggak pengen makan."

Meski tak berani menyentuh Miu, cara bicara Abrisam berubah. Yang sebelumnya selalu ngomong saya menjadi aku. Nadanya juga berubah, menjadi lembut bukan main kalau sudah dipanggil oleh Miu. Tak ada yang menyadari hal itu, hanya Miu. Kejadian malam itu juga hanya menjadi rahasia antara dirinya dan Abrisam.

Miu tak membalas ucapan Abrisam, sudah tahu jika pria itu pasti menolak makan siang. Namun, Miu sudah menyiapkan bekal untuk Abrisam. Sup telur puyuh dan ikan goreng, masakan mudah yang bisa Miu masak dengan cepat.

Miu meninggalkan Abrisam, memanaskan sup untuk pria itu dan kembali ke ruangannya. Abrisam menatap Miu yang masuk dengan membawa makanan. Wajahnya cemberut karena ia tak mau makan. Mirip anak kecil yang cemberut ketika melihat ibunya bersiap menyuapi makan.

"Makan dikit aja, biar nggak masuk angin," kata Miu.

Abrisam menggeleng, menolak.

"Saya udah bangun pagi buat nyiapin ini loh, Bos," ujar Miu lagi, meletakan makanan di atas meja kerja Abrisam.

Ia meraih sendok, menyuapkan sedikit kuah sup supaya Abrisam mencobanya. Tahu jika makan siang dihadapannya merupakan masakan Miu, Abrisam langsung menurut dan membuka mulut supaya Miu bisa menyuapinya.

"Enak," puji Abrisam tulus, mirip anak kecil.

Miu tanpa sadar mengelus rambutnya lembut dan tersenyum. Abrisam langsung kegirangan menerima perlakuan itu. Namun, Miu dengan cepat menarik tangannya.

"Bos makan dulu, saya revisi laporan-"

"Nggak mau!" Abrisam menggeleng. "Kalau kamu pergi, aku nggak mau makan."

Miu menatap Abrisam dengan alis terangkat, lupa jika Abrisam menjadi sangat manja jika melihat wajahnya. Mau di kantor atau di luar kantor, Abrisam menjadi seperti pria yang haus kasih jika berada di dekat Miu.

"Bos!"

"Suapi," pinta Abrisam, setengah merengek membuat Miu berdecak dan mengalah.

Miu tahu, pria itu tak akan makan jika ia tinggalkan. Abrisam bisa masuk angin lagi dan tentu saja selalu Miu yang mengurusnya karena tak ada orang lain yang cukup peduli padanya. Miu meraih kursi, mendekatkannya pada Abrisam dan menyuapi pria itu.

"Manja," ledek Miu yang tidak diperdulikan oleh Abrisam.

Ia mengunyah makanannya, menatap Miu lekat tanpa banyak bicara. Meski Abrisam bilang jika ia tak mau makan, ia berhasil menghabiskan makanannya walau harus disuapi.

Kenapa Sekretarisku Berbeda?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang