Abrisam cepat dekat dengan kedua orang tua Miu. Mereka ramah, pengertian, menerima jika Abrisam punya kekurangan dan tak memaksakan ekspetasi. Abrisam merasa nyaman bersama dengan keluarga Miu, sebuah keluarga yang penuh kehangatan dan Abrisam berharap jika ia pun memiliki keluarga yang seperti ini kelak.
Abrisam termenung sendirian di bawah pohon tempat ia duduk bersama dengan papa Miu tadi sore. Ia dan Miu memutuskan untuk menginap dan kembali besok pagi. Angin malam yang sejuk membuat Abrisam betah berlama-lama duduk di sana. Papa Miu memasang lampu mini di sana, sehingga perkarangan rumah mereka tak terlalu gelap.
Kedua orang tua Miu sudah tertidur. Abrisam masih betah memandangi perkarangan rumah orang tua Miu yang ditumbuhi berbagai tanaman hias. Pintu dapur terbuka sebentar, Miu keluar dari sana sambil membawa selimut di pelukannya. Abrisam tersenyum ketika ia melihat Miu yang menghampirinya.
"Di sini dingin," kata Miu menyelimuti Abrisam, berhati-hati supaya selimutnya tak mengenai kotoran.
Abrisam menarik Miu supaya duduk bersamanya, membagikan selimutnya bersama Miu dan menyandarkan kepalanya di bahu Miu dengan manja. Sudah menjadi kebiasaan bagi Abrisam untuk bermanja-manja pada Miu.
"Papamu sudah memberi restu," kata Abrisam lembut. "Aku akan bicara pada Mamamu juga."
Miu tersenyum, mengelus rambut Abrisam. Mamanya jelas sudah memberi restu, karena begitu melihat Abrisam, ia langsung menyukainya. Katanya, hanya Abrisam yang cocok menjadi suami Miu. Mamanya juga memasakan banyak makanan untuk Abrisam saat mereka makan malam tadi. Namun, Miu tak mengatakan apa-apa. Biarlah Abrisam bicara dengan mamanya jika ia mau.
"Kamu suka di sini?" tanya Miu dibalas anggukan oleh Abrisam.
Rumah orang tua Miu serasa menjadi rumahnya juga. Abrisam senang diperhatikan oleh kedua orang tua Miu. Perhatian Miu juga membuatnya semakin bahagia.
"Papa pasti udah banyak ngomong sama kamu," ujar Miu, tersenyum penuh arti.
Abrisam mengangguk dan tersenyum. "Terima kasih."
"Buat apa?"
Abrisam menegakan tubuhnya, mencari tangan Miu untuk menggenggamnya hangat. "Terima kasih untuk memastikan supaya aku merasa diterima oleh kedua orang tuamu." Tangan Miu terasa hangat, tetapi kecil. "Aku tidak pernah berada di lingkungan sehangat dan setentram ini."
Miu tersenyum, gantian bersandar pada bahu Abrisam. Miu tahu sekarang mengapa Abrisam suka bersandar padanya. Rasanya sangat nyaman dan tenang. Ia menguap kecil.
"Kamu udah ngantuk?" tanya Abrisam.
Miu menggeleng. "Aku mau nemenin kamu di sini."
Abrisam merangkul Miu mendekat, merapatkan selimut yang menutup tubuh mereka. Suasana di kampung Miu terasa lebih sepi dan damai, karena kebanyakan tetangganya sudah tertidur di jam segini. Abrisam menyadari alasan Miu selalu tidur lebih awal. Mungkin, Miu masih terbiasa dengan kehidupannya di sini. Makanya kebiasaan tidur awalnya terbawa sampai ke kota. Buktinya, Miu sudah nampak mengantuk ketika ia bersandar di bahu Abrisam.
"Waktu di atap kemarin, Kalana ngomong apa ke kamu?" tanya Abrisam hati-hati.
"Dia tanya kenapa aku lebih milih kamu," jawab Miu.
"Lalu? Kamu jawab apa?"
Miu dapat mendengar nada penasaran dari pertanyaan Abrisam. Ia tersenyum tipis.
"Rahasia."
Abrisam merengut. Miu tertawa kecil. Ia tak akan memberitahu Abrisam mengenai jawabannya atas pertanyaan Kalana. Abrisam tak perlu tahu jawabannya, ia hanya perlu merasakan perasaannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kenapa Sekretarisku Berbeda?
Genç Kız EdebiyatıDalam setiap kontrak kerja, pihak pertama yang berhak memutuskan kontrak pihak kedua sewaktu-waktu, bukannya pihak pertama yang mohon-mohon supaya pihak kedua balik kerja lagi sewaktu mengundurkan diri. Ini cerita tentang, Abrisam Reynand dan Miu Na...