Miu masih tertidur ketika Abrisam membuka matanya lebih dulu. Abrisam menatap Miu yang masih berada di dunia mimpi, mengulurkan tangannya untuk memainkan ujung rambut Miu. Kalau memainkan yang lain, takutnya diamuk Miu.
Miu sejak semalam tak pakai apapun di balik kausnya. Abrisam bisa melihat bentuknya dan bisa merasakannya setiap kali ia memeluk Miu, tetapi ia tak berani macam-macam walau sebenarnya ia mau. Miu bilang, ia tak akan mengulangi kejadian malam itu kalau belum menjadi istrinya. Abrisam juga tak akan memaksa jika Miu tak mau.
Miu menggeliat pelan, membuka matanya dan menatap Abrisam dengan mata setengah terbuka.
"Kok udah bangun?" tanya Miu serak. Ia mendekat, mengulurkan tangannya untuk memeluk Abrisam. "Tidur lagi, masih pagi. Katanya kamu cuti?"
Lagi, Abrisam merasakan tubuh Miu yang hanya dibalut kausnya. Lembut dan hangat. Abrisam mengeratkan pelukannya, mencoba mengalihkan pikirannya.
"Nanti, gaun pernikahanmu mau yang seperti apa?" tanya Abrisam.
Miu tersenyum, memejamkan matanya dan menggeleng. "Nggak usah, cukup kamu minta restu orang tuaku dan kita nikah secara resmi. Aku nggak perlu pesta atau gaun."
"Kamu yakin?" tanya Abrisam lagi.
Miu mengecup bibir Abrisam dengan mata terpejam. "Mhm. Yang penting bulan madunya," bisiknya menggoda.
Abrisam tersenyum, mengeratkan pelukannya dan memutuskan kembali tidur. Jika Miu maunya begitu, Abrisam tidak akan menolak. Mereka kembali tertidur, terbangun saat tengah hari untuk mandi dan makan.
Miu tak mengizinkan Abrisam membantunya memasak karena kemampuan pria itu benar-benar payah. Abrisam bisa saja pintar bernegosiasi dan hebat di ranjang, tapi Miu tak akan membiarkan laki-laki itu menghancurkan dapurnya. Mencuci piring saja hampir membuat Miu emosi, bagaimana jika memasak?
Tak mau ditinggalkan sendiri, jadilah Abrisam menunggui Miu memasak. Ia duduk di meja makan, bertopang dagu sambil menatap gerak-gerik Miu. Jika mereka sudah menikah nanti, ia akan lebih sering melihat pemandangan ini. Dan setiap hari sebelum tidur dan saat ia terbangun, ia akan melihat Miu di sisinya. Abrisam tersenyum bahagia. Membayangkannya saja sudah membuatnya senang bukan main.
Miu meletakan makan siang ke meja makan begitu ia selesai memasak. Abrisam tersenyum lebar ketika ia melihat Miu, membuat wanita itu menatap Abrisam heran, tapi tetap membalas senyumannya.
"Kenapa?"
Abrisam menggeleng.
"Nanti kalau udah resmi, kamu mau bulan madunya di mana?" tanya Abrisam membuat Miu terkekeh.
"Kamu kenapa ngebet gini loh? Aku juga belum kepikiran destinasinya," jawab Miu.
"Kan aku mau siapin."
Miu tertawa pelan. "Makan dulu aja, nanti mikirinnya. Kamu aja belum ketemu orang tuaku."
Abrisam mengerucutkan bibirnya, tetapi tetap menuruti ucapan Miu. Mereka menghabiskan makan siang dengan tenang, membereskan dapur dan kembali bermalas-malasan di kamar Miu. Abrisam menemani Miu menonton, menyandarkan kepalanya di dada Miu dengan nyaman sembari membiarkan Miu mengelus rambutnya lembut. Mereka tak merencanakan kegiatan apapun, hanya berbaring di ranjang sambil menonton atau jika bosan hanya diam sambil memeluk satu sama lain.
"Minggu depan ya?" tanya Abrisam pelan.
"Minggu depan apa?" Miu balas bertanya, masih mengelus rambut Abrisam lembut.
"Lamarannya."
Abrisam memeluk Miu seperti anak kecil memeluk bonekanya. Ia sesekali memainkan jari tangan Miu yang tak membelai rambutnya, atau memainkan ujung kaus Miu. Aroma sabun yang Miu kenakan membuat Abrisam betah berlama-lama memeluk tubuhnya. Detak jantung Miu yang dekat dengan telinganya terdengar teratur dan menenangkan. Tak pernah Abrisam merasa senyaman ini seumur hidupnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kenapa Sekretarisku Berbeda?
Literatura FemininaDalam setiap kontrak kerja, pihak pertama yang berhak memutuskan kontrak pihak kedua sewaktu-waktu, bukannya pihak pertama yang mohon-mohon supaya pihak kedua balik kerja lagi sewaktu mengundurkan diri. Ini cerita tentang, Abrisam Reynand dan Miu Na...