Haruto meringis dalam tidurnya, dan itu berhasil membuat kedua remaja yang tengah asik dengan fokusnya masing-masing teralihkan menatap Haruto, kerutan dahi dari keduanya terlihat jelas jika mereka sedang bertanya-tanya.
Sedangkan Haruto, dia merasakan nyeri di perut bagian atas kanannya. Seingatnya, hal ini sudah lama tidak pernah ia rasakan kembali tetapi mengapa sekarang ia merasakan kembali? Haruto terus meringis, satu tangannya yang bebas mencari-cari pegangan untuk ia bagi rasa sakitnya. Dan Areska yang peka langsung menggenggam tangan sang adik, ia biarkan telapak tangannya di remas kuat.
Areska khawatir, begitu pula Justin yang sekarang remaja itu justru sedang dilanda bingung. Ada apa ini? Mengapa Haruto seperti itu? Apa yang di sembunyikan dari kedua remaja di depannya?
Areska semakin dilanda khawatir ketika rematan di tangannya melenggang, ia menoleh dengan perasaan cemasnya. Di sana, adiknya sudah sangat pucat. Bahkan sangat pucat. Dan yang ia lihat, sedang di ambang sadar dan tidak sadar. Bagaimana ini? Tuhan, tolong bantu Areska.
"Gue mohon jangan tutup mata lo dek, sial! Gue nggak bawa tabung obatnya!"
Areska melepas genggamannya, beralih mencari ponselnya di dashboard, setelah menemukannya. Ia langsung saja menghubungi Ayahnya, bahkan ia lupa jika Justin sedang memperhatikannya sangat lekat di belakang kursi kemudi.
"Sebenarnya apa yang terjadi?"
Justin menghela napasnya, ia juga merasa kelut ketika mendapati sahabatnya yang mengerang kesakitan seperti ini. Sungguh, ia merasa tidak berguna sekarang. Apa dirinya tidak cukup lama berteman dengan Haruto? Bahkan ia merasa sudah sangat lama berteman dengan remaja rapuh itu. Tapi mengapa sampai sekarang justru ia tidak tahu apa-apa? Atau ia juga yang tidak ingin membagi rahasia pribadinya? Ups, Justin kelepasan.
"Ayah please angkat teleponnya, Reska mohon." Areska terus menghubungi sang Ayah, sudah lima kali panggilan tapi Ayahnya tidak kunjung mengangkat teleponnya. Ia melirik pada spion dalam, menatap betapa banyaknya kerutan didahi Justin, ia yakin anak itu pasti sedang bertanya-tanya di dalam benaknya.
Ia berdeham, dan itu berhasil mengalihkan fokus Justin. "Gue mohon maaf banget ya harus turunin lo di sini, gue udah pesanin taxi online, udah gue bayar juga. Lo tinggal naik aja, nggak apa-apa?" Justin menggeleng, lalu ia tersenyum manis. Tepat ketika mobil berhenti di tepi, Justin dengan segera turun. Dan berlambai kepada mereka berdua, sedikit melirik Haruto yang sepertinya masih sibuk menekan letak yang membuatnya kesakitan. Ia menatap sendu, tatapannya mengatakan hal demikian. Kalau dirinya masih penasaran apa yang Haruto alami sekarang.
Klakson berbunyi, dan detik itu pula mesin mobil menyala. Lalu tanpa kata lagi, Areska menancap gas dengan kecepatan di atas rata-rata. Ia tahu harus membawa adiknya kemana.
KAMU SEDANG MEMBACA
Twinkle Haruto
Teen FictionDaksa yang ringkih mampu menopang beban yang besar. Minimnya mengetahui warna, membuat sejuta kerapuhan hinggap begitu lama. Kokohnya berdiri tegak, karena adanya dorongan. Senyumnya yang mengembang karena tipu daya mereka untuk menguatkannya. Binar...