"Sayap pelindung itu tidak lagi sempurna, sama seperti hatinya yang kembali terkoyak."
°°°
Kaki janjangnya ia bawa menelusuri jalan setapak dengan pelan. Menggenggam erat tali tasnya, kali ini Areska pulang seorang diri setelah penat dalam kegiatannya tadi di sekolah. Hari ini ia tidak membawa kendaraan apapun, hanya berbekal ojek online dari aplikasi di ponselnya. Ia sengaja turun di depan komplek, Reska hanya ingin menikmati hangatnya udara siang hari. Menghirup aroma segar tanpa banyak polusi udara.
Kakinya terus melangkah sesuai tujuan, pandangannya tidak lepas dari beberapa objek yang menyenangkan. Walau ada rasa ganjal menghampiri hatinya, tapi ia tetap melangkah tanpa mengingat sesuatu sebelumnya.
Hingga dirinya baru saja membukan pintu ruang utama, Areska baru teringat jika dirinya mininggalkan adiknya sendirian di sekolah. Buru-buru ia memutar balik, menimbulkan tanda tanya besar pada sepasang suami istri yang tadi tengah menonton televisi di ruang tengah.
Langkahnya seperti orang kesetanan, berlari hingga menyenggol pejalan kaki yang kebetulan terlihat padat. Padahal sebelum ini masih sangat renggang, mengapa sekarang demikian?
Hanya satu nama yang terus terlintas di kepalanya. Yaitu adiknya; Haruto. Areska tidak ingin sesuatu menimpa adiknya yang rapuh itu, tidak akan pernah sudi.
°°°
Sedangkan di sisi lain, Haruto menatap sekitarnya yang tidak berwarna. Sepi, sekolah ini sepi karena para murid dan guru sudah pulang ke rumah masing-masing. Tidak seperti dirinya yang sekarang tengah mencari seseorang.
Di mana kakaknya- Areska? Ia sudah mencarinya kemana-mana tapi hasilnya nihil. Apakah kakaknya meninggalkan Haruto sendirian? Oh ayolah, Haruto takut sendiri seperti ini. Apalagi sekarang sudah petang, ia yakin warna putih yang terbentang itu adalah warna jingga yang selalu Justin ceritakan. Ya sebenarnya ia sudah tahu, tapi masalahnya sekarang dirinya benar-benar tidak memakai kacamatanya. Itu sebabnya ia tidak bisa melihat banyak warna di sekitarnya.
Dari arah kejauhan, ada segerombolan remaja sepertinya itu adalah kakak kelasnya. Mereka seakan berjalan menghampirinya, tidak tahu benar atau tidak. Tapi Haruto tidak peduli, mungkin saja hanya lewat? Entahlah lihat saja nanti. Ia terus melangkah, membiarkan jarak antara mereka semakin dekat.
Hingga benar-benar dekat, Haruto merasa dunianya akan di permainkan sesaat lagi. Dan benar, salah satu dari segerombolan kakak kelas tadi menarik lengannya paksa, membuatnya secara tiba-tiba meringis. Tapi mereka seakan tuli dengan suara pilu itu, langkah mereka semakin gencar menuju gudang yang terletak di belakang sekolah ini.
Haruto hanya diam. Walau ia merasa sirine bahaya telah berbunyi sedari tadi, toh dirinya kalah jumblah. Mau apa lagi.
Sampai di gudang, Haruto merasa tubuhnya terhempas kencang hingga mengenai tumpukan kardus yang entah berisikan apa. Membuat seberapa kardus itu terjatuh dan mengenainya, ia meringis yang beriringan dengan pekikan tawa dari mereka. Jelas ia meringis kesakitan, kardus itu mengenai pundaknya. Rasanya seperti terengat sesuatu dan menimbulkan sakit yang luar biasa, masih sibuk dengan meratapi kesakitannya. Haruto sampai tidak sadar jika seseorang berada di hadapannya, dan dalam hitungan detik. Sebuah tinjuan mentah mendarat di rahang indahnya, membuatnya kembali terpental. Ini sangat kuat, dirinya saja sampai terpental.
KAMU SEDANG MEMBACA
Twinkle Haruto
Teen FictionDaksa yang ringkih mampu menopang beban yang besar. Minimnya mengetahui warna, membuat sejuta kerapuhan hinggap begitu lama. Kokohnya berdiri tegak, karena adanya dorongan. Senyumnya yang mengembang karena tipu daya mereka untuk menguatkannya. Binar...