"Kenapa sih para manusyah ini? Hayang gelut jeung Justin? Kadieu wè!"
- Justin juragan empang
Pagi yang cerah ketika dirinya baru saja menginjakkan kakinya di lingkungan sekolah. Udara segar menguar begitu saja, suara-suara bising dari beberapa murid yang datang terdengar sangat jelas membuat ia tersenyum karena bersyukur masih bisa melihat dan mendengar semuanya."Heh cunguk, ngapain di situ. Lagi jadi model sekolah lo!" Justin menoleh, melihat teman sekelasnya yang barusan menegurnya. Benar juga, Justin berdiri di depan gerbang dengan ekspresi yang dibuat-buat seperti sedang membuat video promosi sekolah. Bintang iklan seperti itu.
Justin melangkahkan kakinya masuk lebih dalam ke lingkungan sekolahnya. Rasanya dua hari tidak menginjakkan kaki di sini terasa sedikit berbeda, di tambah orang-orang yang nampak meliriknya sedikit heran seperti itu.
Sepanjang kakinya melangkah, Justin terus mendapatkan tatapan intimidasi dari para murid yang berlalu-lalang. Ia masih belum sadar dengan apa yang sedang terjadi. Ada apa dengannya? Mengapa para murid melihatnya seperti itu? Apa ada yang berbeda darinya? Atau karena potongan rambutnya yang baru saja di cukur? Aish, pening kepala Justin.
Sesampainya di kelas, Justin melirik papan absen. Di sana tertera namanya dengan keterangan sakit, dan nama teman sebangkunya dengan keterangan izin. Ah iya, Justin baru menyadari itu. Haruto tidak ada di sisinya, pantas saja semua orang melihatnya seperti tadi. Biasanya, Haruto akan terus menempel padanya kapanpun dan di manapun. Tapi sekarang tidak, pergi kemana anak itu? Ternyata dua hari tidak masuk sekolah semakin banyak yang terjadi.
"Liat deh, bangku si culun kosong lagi. Masa cuma karena kesiram air seember nggak masuk sampe dua hari, lebay banget nggak sih?"
"Gue yakin, itu keterangan cuma alesan semata doang. Padahal mah dia males sekolah itu, modusnya bisa banget culun."
"Tau, padahal sih kata gue mah. B aja gitu, lagian kan cuma kesiram air doang. Lagian itu bukan air coberan,"
"Dihmm-in ajalah ya!"
Justin masih mendengarkan berbagai kalimat yang keluar dari teman sekelasnya, ia merotasikan bola matanya jengah. Selalu seperti ini, toh mereka tidak akan tahu apa yang sedang Haruto lakukan. Mengapa mereka yang harus repot? Justin saja... sebenarnya repot.
Ia sebenarnya juga heran, pergi kemana sahabatnya itu? Mengapa tidak pernah mengabarinya? Ia yakin, sahabatnya itu sedang tidak baik-baik saja.
"Zie, lo di mana?" Gumamnya, setelah itu ia kembali menyibukkan diri pada buku paket yang berada di kolong mejanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Twinkle Haruto
Teen FictionDaksa yang ringkih mampu menopang beban yang besar. Minimnya mengetahui warna, membuat sejuta kerapuhan hinggap begitu lama. Kokohnya berdiri tegak, karena adanya dorongan. Senyumnya yang mengembang karena tipu daya mereka untuk menguatkannya. Binar...