Dia pergi, meninggalkan sebuah luka
Siang hari yang sangat mencekam, desiran darah yang bergejolak dari dalam tubuh kedua orang dewasa ini. Mereka merasa was-was akan sosok di dalam ruangan di sana, di depan sana. Ruang operasi masih tertutup sangat rapat, lampu ruang operasi masih menyala menandakan jalannya operasi belum juga selesai. Di ruang tunggu ini bukan cuma dua orang saja, melainkan lima orang. Satu diantaranya adalah remaja asing yang belum jelas siapa dia.
Thallar menoleh ke arah sampingnya, melihat bagaimana dua pasangan itu menangis sejadi-jadinya dan satu remaja asing yang ikut menangis namun masih terlihat tegar. Detik itu, ia mulai merasa bersalah. Seharusnya ia tidak mengiyakan permintaan itu, seharusnya ia masih bisa melihat senyum hangat dari mereka. Dan seharusnya hal ini tidak pernah terjadi.
Ia melirik sang istri, mengambil kedua tangan istrinya. Menggenggam tangan itu dengan sangat erat, lalu mengecupnya lama. Dan bergumam, maafkan ayah bun.
Di sisi lain, di ruang serba putih dengan alat penunjang lainnya. Ada satu pergerakan yang tidak di sadari, dan beberapa detik kemudian kedua kelopak mata itu mengerjap. Lalu menelusuri setiap sudut, ruangan ini sepi. Hanya ada dirinya seorang, kemana orang tuanya? Kemana sahabatnya? Kemana kakaknya?Haruto mencoba melepas masker oksigen yang melekat yang hampir setengah dari wajahnya dengan perlahan, walau rasanya masih sesak Haruto tidak memperdulikannya. Ia hanya ingin mencoba mendudukkan tubuhnya, pergerakannya memang minim tapi ia berhasil dengan badannya yang menyandar pada bantal yang sudah ia susun.
Ia ingat, ruangan ini tidak asing baginya. ICU, rasanya ia bosan terus-menerus berada di ruangan ini. Ia melirik ke arah sampingnya, mengambil kabel dengan remote yang ia ketahui adalah bel darurat. Ia menekannya sekali, membuat suara sirine di luar ruangannya berbunyi. Ingin sekali ia tertawa dengan sangat kencang ketika tim medis terburu-buru masuk ke dalam ruangannya, yang kini menatapnya kaget. Dan yang hanya ia lakukan hanya tersenyum ketir.
Wanita berjas putih itu menghampirinya, mengusap surainya dengan lembut ketika sudah berada di dekatnya. Memperlakukannya seperti buah hatinya sendiri, dua suster yang lain mengecek kondisinya lalu tersenyum hangat padanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Twinkle Haruto
Teen FictionDaksa yang ringkih mampu menopang beban yang besar. Minimnya mengetahui warna, membuat sejuta kerapuhan hinggap begitu lama. Kokohnya berdiri tegak, karena adanya dorongan. Senyumnya yang mengembang karena tipu daya mereka untuk menguatkannya. Binar...