BAGIAN 10: Patah Hati Terbesar dari Sebuah Persahabatan

372 56 10
                                    

"Walau terlihat biasa saja, hati dan pikirannya sejalan dengan irama sendu yang mengalun perih."

       Terpaan angin membuat sebagian dedaunan kering berterbangan, pandangannya luruh ke depan menatap kedaunan kering yang tadi tertiup angin

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


       Terpaan angin membuat sebagian dedaunan kering berterbangan, pandangannya luruh ke depan menatap kedaunan kering yang tadi tertiup angin. Wajahnya tidak menunjukkan ekspresi apapun, datar. Wajahnya masih tertempel plaster luka.

       Luka dari kejadian yang tidak terduga, membuatnya sedikit trauma akan orang asing juga sekumpulan orang. Sampai saat ini, ia tidak berani menginjakkan kakinya di sekolah. Takut, takut dengan tatapan-tatapan mereka yang diberikan padanya. Takut mendengar ucapan-ucapan yang mereka lontarkan untuknya, dan saat ini. Haruto hanya berdiam diri di kamarnya, duduk di atas ranjang dengan tatapan kosongnya.

       Justin belum pulang sekolah, begitupun kedua orang tuanya yang belum pulang dari kantor, dan Areska... tidak tahu kakaknya ada di mana. Remaja itu seakan menghilang dari penglihatan, tidak ada kabar. Dan dirinya sangat mengkhawatirkan sosok hangat itu. Haruto... merindukan Areska.

      Ia tidak tahu apalagi yang disembunyikan kedua orang tuanya, mereka seperti agen rahasia yang merahasiakan sebuah rahasia besar. Dan Haruto benci itu, tolong jangan bilang ke ayah dan bundanya jika dirinya benci jika mereka berbohong.

      Ketukan pintu membuatnya menoleh sebentar, lalu kembali fokus ke depan ketika tahu siapa yang datang. Walau ia menunggu sosok itu hadir di hadapannya, tapi entah kenapa dirinya tidak bergairah.

       "Zie, gue bawa bubur mang Jamal nih. Lo makan ya, gue tahu kok lo belum makan." Kalimatnya ia anggap seperti angin lalu, tatapannya masih kosong. Tapi telinganya masih berfungsi.

       "Zie, mau sampai kapan lo diam terus di kamar? Ini udah lewat tiga hari setelah kejadian lo di bully," kali ini ucapannya mendapatkan respon. Haruto menoleh ke arahnya dengan air wajah sendunya.

       "Gue takut Tin, gue takut mereka lakuin hal yang sama. Gue takut, gue trauma Tin." Mendengarnya, ia tidak bisa untuk tidak tertohok. Sahabatnya mengalami trauma akan kerumunan juga orang-orang asing. Dan itu, membuatnya khawatir.

       Justin melangkah lebih dekat setelah menaruh mangkok berisi bubur di atas nakas. Menghampiri sahabatnya lalu memeluknya erat, menyalurkan kehangatan yang ia punya. Dan detik itu juga, ia dapat merasakan pundaknya basah Justin yakin jika sahabatnya menangis.

       "Nangis aja nggak apa-apa, keluarin semuanya. Gue siap jadi pendengar keluh kesah lo Zie,"

        Yang tadinya hanya tangisan pelan, kini menjadi isakan yang memilukan. Justin merasa sesak, hatinya sakit mendengar isakan yang keluar dari ranum sahabatnya ini. Punggung bergetar itu ia usap dengan pelan, kedua tanganya bergantian untuk mengusap surai dan punggung sang sahabat.

         "Sebelumnya gue belum pernah setakut ini sama orang asing Tin, tapi setelah kejadian itu gue jadi takut keluar. Ketemu sama orang yang nggak dikenal, gue takut. Bayang-bayang ketika gue dipukulin terus terngiang di kepala gue, gue takut mereka datang ke rumah buat lakuin hal yang sama."

Twinkle Haruto Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang