"Cahaya dalam matanya, berkerja sama dengan hatinya. Hatinya terluka, binar matanya pun akan redup. Seolah mata dan hatinya itu adalah lampu yang membutuhkan listrik. Dalam artian senyum hangat dan tulus."
Jam istirahat sedang berlangsung. Setelah tadi pagi Haruto mendapatkan banyaknya pujian menyakitkan. Ia hanya duduk sendiri, menikmati siomaynya dalam diam, enggan untuk mengeluarkan sepatah katapun. Walau di hadapannya sudah ada Areska juga Justin, ia masih enggan membuka suara. Biarkan hatinya saja yanh bersuara, bibirnya tidak.
"Zie, semesta baik ya sama lo. Sampai gue muak jadinya." Dalam diamnya, Haruto mengiyakan suara hatinya. Bahkan ia juga muak dengan semestanya.
"Gue yakin, setelah ini ada satu tindakan lain yang bakal lo terima." Haruto juga mengiyakan dalam diam.
Pandangannya terus menunduk, enggan melihat sekitarnya. Walau diam-diam, kaki sang kakak yang terus bergerak karena melihat dirinya yang terus menunduk.
"Zie, liatin apa sih? Iya tahu, sepatu lo mahal. Liat sini, jangan nunduk." Haruto mendongakkan kepalanya, menatap manik legam sahabatnya. Ia tersenyum tipis, rasanya hanya untuk tersenyumpun dirinya susah.
"Habisin makanannya, terus kita balik ke kelas. Bentar lagi bel masuk bunyi," keduanya mengangguk, Haruto kembali menandaskan sepiring siomaynya dan menyesap teh hangat yang tidak lagi terasa hangat.
Butuh beberapa menit untuk ketiganya benar-benar di depan kelas. Tapi Areska sengaja sebenarnya mampir ke kelas sang adik. Hanya ingin memastikan adiknya selamat sampai tujuan.
Haruto dan Justin melirik sang kakak, menyakinkam jika mereka akan baik-baik saja. Dan tidak perlu khawatir dengan keadaan sang adik. Tapi sepertinya tidak, ketika Haruto membuka pintu kelasnya. Ia di sambut dengan satu ember air, yang membuat seluruh tubuhnya basah kuyup.
Areska dan Justin yang baru sadar dari keterkejutannya segera mengampiri Haruto yang jadi bahan tertawa seluruh kelas, anak itu menunduk dengan senyum lebar. Justin bisa melihat itu, senyum yang terlihat paling menyakitkan. Senyum yang terlihat seakan si empu sudah sangat lelah?
Areska ingin mendekat, tapi adiknya itu sudah berlari kencang dengan pakaian yang basah. Areska mengerang marah, ini sudah kelewatan. Tapi, emosi tidak akan memperbaiki masalah. Maka dari itu, ia mengejar langkah adiknya. Sebelumnya, ia pergi ke koperasi untuk membeli seragam yang baru.
KAMU SEDANG MEMBACA
Twinkle Haruto
Teen FictionDaksa yang ringkih mampu menopang beban yang besar. Minimnya mengetahui warna, membuat sejuta kerapuhan hinggap begitu lama. Kokohnya berdiri tegak, karena adanya dorongan. Senyumnya yang mengembang karena tipu daya mereka untuk menguatkannya. Binar...