Indah, namun balum bisa ia gapai.
Di tempatnya, seorang remaja bersandar pada pohon besar di belakangnya. Dengan kedua mata yang tertutup rapat, surainya yang tertiup angin membawa sensasi kantuk yang semakin kentara. Selang beberapa menit, akhirnya ia tertidur. Samar-samar dirinya mendengar suara yang sangat ia kenal, suara yang setiap hari ia dengar. Namun beberapa hari ini suara itu seakan menghilang dari pendengarannya, kedua matanya masih terpejam, tapi semakin lama ia mulai tidak nyaman dengar suara itu. Semakin penasaran, dan ya ketika dirinya membuka mata sosok itu lah yang ia lihat pertama kali.Berlarian dengan suara tawa khas yang ia rindukan, remaja itu terlihat sangat senang bersama dua sosok orang dewasa. Ia menunduk, tersenyum tipis karena merasa miris. Mengapa sosok itu tertawa lebar bukan karenanya? Tapi tunggu, mengapa dia ada di sini? Mengapa mereka berada di tempat yang sama?
Ia bangkit, berjalan menghampiri sosok itu. Keduanya saling pandang, begitupun dua sosok dewasa di sana.
"Ken-Kenzie?" Tanya remaja itu memastikan.
Sedangkan ia, hanya bisa tersenyum dan mengangguk sebagai jawaban. "Kak Reska, ck."
Areska, remaja itu menghampiri sang adik yang hanya terdiam dengan kepala yang menunduk. Menepuk pundak sang adik setelah ia berada di hadapan adiknya. "Zie, lo ngapain di sini? Ini bukan tempat lo."
"Kakak juga ngapain di sini? Kenapa semua orang rahasia in ini sama Kenzie kak? Sebegitu nggak pantasnya kah kenzie buat tau semuanya?" Ia mendongak, menatap sorot mata sang kakak dengan redup.
Reska, sosok kakak yang hadirnya sangat dirindukan oleh sang adik. Hanya menatap tidak percaya, bukan, bukan itu yang dimaksud mereka. Haruto masih sangat kecil untuk mengetahui semua ini, lalu bagaimana dengan Justin? Sudahlah.
Reska menggeleng ribut, "nggak dek, kamu pantas tahu semuanya. Tapi belum saatnya,"
"Terus kapan? Sampai salah satu dari kita pulang? Iya gitu kak?" Haruto menunduk, tersenyum hambar. Tidak sadar jika air matanya sudah mengalir dengan sendirinya, satu tangannya ia bawa untuk memegang dada kirinya. Di sana, sesak yang sebenarnya sangat terasa.
"Setidaknya kalau gue pergi, itu adalah hal yang terbaik dek." Mendengar itu, Haruto menatap kakaknya tidak suka, tangannya yang bebas dengan cepat menampar sang kakak.
"Lo gila tahu nggak, lo pergi gue sama siapa? Lo nggak kasian sama adek lo yang korban bully ini? Lo mau adek lo terus-terusan nerima iming-iming nggak jelas dari mereka? Tega ya lo kak!"
"Dek, bukan gitu. Gue nggak yakin kalau gue bisa sembuh, gue nggak yakin ayah cepat dapat pendonor buat gue, gue pasrah dek."
Mendengarnya, Haruto menautkan kedua alisnya bingung. "Pendonor? Buat lo?"
Mendengar pertanyaan beruntun itu, Areska terpaku. Jadi dia belum tahu? Jadi ini keceplosan dong? Batinnya bermonolog.
Areska mengangguk lemah, lalu ia berjalan menghampiri kedua sosok dewasa di sana. Di bawah pohon rindang, dan Haruto hanya mengikuti nya dari belakang, keduanya saling bungkam setelah berhasil duduk di sana. Haruto menatap dua sosok dewasa itu, mereka sangat asing di matanya, siapa mereka?
Areska yang mengetahui arah pandang sang adik mengangguk mengerti, "dia kakek dan nenek gue." Ucapnya dengan senyum yang mengembang, sedangkan sang adik- Haruto, menautkan kedua alisnya bingung.
"Eungh? Kakek nenek gue juga?" Haruto bertanya dengan nada polosnya.
Reska menggeleng, "nggak dek, mereka cuma kakek dan nenek gue. Nggak termasuk lo," Areska tersenyum tipis di akhir kalimat nya, menatap sang adik sendu.
Kembali, ia menyengit bingung dengan apa yang dikatakan kakaknya sendiri. "Maksud lo apa mereka bukan nenek dan kakek gue juga kak? Oh, apa jangan-jangan di sini gue cuma anak pungut yang ayah sama bunda asuh?"
Reska kembali menggeleng, bukan, bukan itu yang sebenarnya. Di sini, dirinya maupun adiknya adalah anak kandung kedua orang tuanya. "Nggak dek, mereka kakek dan nenek yang ngurusin gue waktu ayah dan bunda bawa lo ke Kanada untuk pengobatan. Selama itu, gue di asuh sama mereka." Ia menoleh kepada dua sosok dewasa di sana yang juga sedang tersenyum kepada dirinya.
Haruto terdiam sesaat, mencoba mencerna semua penjelasan sang kakak barusan. "Kak, jujur sama gue. Gue sakit apa? Nggak mungkin penyakit gue nggak parah."
Reska menunduk, sudah ia duga. Pertanyaan yang selama ini ia hindari akan terlontar juga, apa ia harus menjawab sekarang? Baiklah kalau ini saatnya untuk dirinya mengatakan yang sebenarnya.
"Lo mengidap penyakit kan--"
"Kanker hati stadium lanjut Zie." Mereka menoleh, menatap kehadiran remaja yang mereka tahu baik-baik saja.
Haruto bangkit, menatap remaja itu tajam. "Justin! Lo ngapain di sini? Ini bukan tempat lo! Pulang Tin, pulang." Perintah nya, tapi justru remaja di hadapan nya ini hanya menggeleng membantah perintah sang sahabat.
Justin tersenyum hangat, lalau menggeleng. Menatap sahabatnya dengan tatapan teduhnya, "nggak Zie, lo yang nggak pantas di sini. Pulang Zie, mereka nungguin lo." Ia menoleh, menatap Areska. "Lo juga kak, balik. Orang tua kalian nungguin kalian, biar gue aja yang di sini. Nggak usah khawatir, udah saatnya gue pulang. Maafin gue ya, kalau ada salah sama kalian. Gue sayang kalian." Ia tersenyum, sebelum kedua sahabatnya itu pergi dari penglihatannya.
"Ibu, Justin pamit pergi."
••••
Hai, akhirnya update lagi wkwk. Ya ini spesial chapter lagi karena Haruto sama Asahi up wkwk😄
KAMU SEDANG MEMBACA
Twinkle Haruto
Teen FictionDaksa yang ringkih mampu menopang beban yang besar. Minimnya mengetahui warna, membuat sejuta kerapuhan hinggap begitu lama. Kokohnya berdiri tegak, karena adanya dorongan. Senyumnya yang mengembang karena tipu daya mereka untuk menguatkannya. Binar...