Insider

2K 264 83
                                    

  Suara nyaring alarm dari ponsel berdering membuat Mikasa dipaksa untuk bangun dan meninggalkan mimpinya, ia mengerjapkan mata lalu mengedarkan pandangan mencari sosok Levi yang tak berada di sampingnya. Ia teringat ketika pagi kemarin begitu membuka mata Levi sudah berada di sampingnya dan membelai rambutnya, namun kini ia merasa kosong begitu tak mendapati Levi yang menungguinya.

Selesai membersihkan badan dan mengganti pakaian kerja, Mikasa menuruni tangga menuju lantai dasar namun ia masih tak melihat Levi dimanapun. Meskipun Mikasa ingin kembali mencari keberadaan Levi tapi ia harus segara ke klinik dan melihat keadaan Reiner yang ia kunci di gudang sedari kemarin. Masih ada banyak waktu hingga klinik buka dan Mikasa ingin menggunakan kesempatan itu untuk memastikan sesuatu pada Reiner, ia hanya ingin mencari tahu vampir kurang ajar mana yang berani menindihnya dalam tidur.

Mikasa menutup pintu rumah tua setelah ia keluar, matanya pun menangkap tumpukan bangkai kelelawar di atas makam Bastet dan hewan lainnya. Mendecak, hati Mikasa ingin segera menguburkan bangkai para kelelawar itu namun ia mengurungkan niatnya disaat Reiner menjadi hal yang lebih penting untuk saat ini.

Melalui celah lubang jendela yang tertutup Levi mengintip memperhatikan Mikasa yang melewati renggangan pagar, pandangan Levi menyendu dan tangannya mulai menepuk-nepuk dadanya yang serasa terhimpit oleh dinding tak kasat mata.

"Seharusnya sedari awal aku sudah membunuhnya." Gumam Levi mengingat pertama kali Mikasa menginjakkan kaki di rumah ini, kini ia menyesal mengapa tak menghisap darah Mikasa sedari awal dan menghabisi nyawa gadis itu bila tahu kehadiran Mikasa membuatnya merasakan sesuatu yang seharusnya tak boleh terjadi.

.
.
.
.
.

*
.
.
.
.
.

  Mikasa menyembulkan kepalanya setelah ia berhasil membuka pintu gudang, kegelapan menghampiri penglihatannya namun ia menyipitkan mata berusaha fokus mencari sosok Reiner yang ia tinggalkan. Setelah lebih dari dua belas jam Mikasa yakin jika Reiner sudah dalam mode kelaparan, maka akan lebih mudah mengenali sosok Reiner sesungguhnya bila mana hawa nafsu lebih mendominasi.

Bibir Mikasa tertarik kesamping, senyum yang menyerupai seorang pemburu pada mangsanya lebih cocok untuk menggambarkannya disaat mata Mikasa mendapati sosok Reiner yang duduk meringkuk di sudut antara dinding dan rak perlengkapan alat kebersihan. Pemuda itu tak bergeming membuat Mikasa mengira-ngira antara tertidur ataukah pingsan.

Langkah Mikasa secara perlahan mendekati Reiner seraya mengambil pisau dapur miliknya yang berada di dalam tas dan entah mengapa akhir-akhir ini terus menemaninya, ia mengguncang perlahan tubuh Reiner agar pemuda itu sadar akan kehadirannya.

"Reiner, Reiner. Kau tidur apa pingsan?" Bisik Mikasa disamping telinga Reiner, sedang tangannya mencengkeram erat pisau bersiap menjadi alat pertahanan jika Reiner tiba-tiba menyerangnya.

"Pingsan." Jawab Reiner begitu ia mendongak dengan lingkaran dikedua matanya menghitam, pertanda ia tidak tidur semalaman.

"Apa kau lapar?"

"Sangat."

Mendengar jawaban dari Reiner membuat Mikasa tersenyum setan, ia lalu menyayat jari telunjuknya dengan pisau hingga darah keluar dan menetes dari jarinya yang terluka.

"Kau boleh meminumnya sesuka hatimu, Reiner." Mikasa menyodorkan jari telunjuknya yang berdarah di depan wajah Reiner.

Namun tak seperti yang Mikasa harapkan, Reiner hanya menatap Mikasa dan jarinya secara bergantian dengan aneh.

"Bisakah kau memberiku sarapan yang bergizi?"

Sebuah restoran cepat saji menjadi tempat Mikasa dan Reiner menghabiskan waktu sarapan mereka sebelum klinik buka, restoran tersebut tak banyak pengunjung mengingat berdiri di kawasan kota kecil yang memang jarang penduduk. Mikasa menatap jengah pada tumpukan makanan yang berada dihadapannya.

The Last VictimTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang