Regret

1.3K 173 41
                                    


Jemari lentik Annie meremas ujung sweater yang ia kenakan, ia menunduk dalam dengan mata terpejam erat merasakan jiwanya yang kembali terguncang.

Sedari awal ia tak pernah setuju dengan keinginan Armin untuk mencari keberadaan Mikasa, ia tahu jika Mikasa terjebak dalam lumpur penghisap mematikan, dan Annie tak ingin Armin ikut terjerumus kedalam kubangan lumpur maut tersebut. Tapi kini apa yang Annie dapatkan? Ia malah melihat Reiner yang membawa jasad Armin dihadapannya!

Dalam sekejap, cahaya kilat memenuhi kamar mayat disaat hujan mulai turun menyerbu kegelapan malam.

Tubuh Annie bergetar menahan tangis, tangannya pun terkepal erat ketika gejolak api dendam mulai menyelimuti jiwa dan akal sehatnya.

Wajahnya mendongak menatap jasad Armin yang terbujur kaku diatas meja jenazah, mata seindah samudera itu kini berkilat penuh amarah. Sudah cukup vampir sialan pembawa bencana itu mengacaukan kehidupannya! Ia sudah benar-benar murka dan tak bisa lagi berpikir jernih.

Reiner hanya terduduk lemas di kursi yang berada di sudut kamar jenazah, tubuhnya terlalu lemas untuk hanya sekedar berteriak memanggil Annie yang mulai melangkah meninggalkan kamar mayat.

Reiner hanya tak menyangka jika Levi benar-benar melepaskannya, jika ia berpikir akan mati disaat itu.

.
.
.
.
.

*
.
.
.
.
.

Cahaya kilat juga menerpa ruang tamu keluarga Yeager, salah satunya menyorot pada foto pengantin besar yang terpajang di salah satu sudut ruangan, membuat perhatian Mikasa tertuju padanya, pada sosok wanita bergaun pengantin indah yang memiliki paras serupa dengan Eren, tengah mengapit lengan Grisha muda.

Jarum jam dinding besar yang berada di sudut ruangan menunjukkan pukul sembilan malam begitu Mikasa mendudukkan dirinya pada salah satu kursi antik ditengah ruang tamu kediaman Yeager. Dihadapannya terlihat Nick yang menatapnya dengan pandangan menyelidik, Grisha tersenyum hangat guna menetralisir aura gelap yang dipancarkan ayah mertuanya dihadapan Mikasa. Sungguh, tatapan intimidasi dari kakek Eren tersebut membuat nyali Mikasa menciut.

Eren mendudukkan dirinya disamping Mikasa setelah ia menyuguhkan empat cangkir kopi di atas meja guna menemani perbincangan mereka malam ini, sesekali matanya melirik Mikasa disampingnya disaat gadis itu memberikan gelagat yang kurang nyaman.

"Kau tau kenapa kau dipanggil kemari?" Suara Nick mengawali perbincangan mereka dengan pertanyaan yang tentu tak bisa Mikasa jawab, disaat ia sendiri tak mengerti mengapa ia dipanggil kemari. Bahkan kini Mikasa merasa seperti sedang di sidang.

"Kau tau kesalahanmu?" Lanjut Nick membuat Grisha mengernyit, menatap mertuanya agar bisa lebih lembut lagi dalam bertutur kata pada Mikasa.

"Jauhi rumah tua itu dan Levi!" Peringatan Nick sontak membuat Mikasa mengangkat kepalanya, ia memberikan ekspresi terkejutnya.

"Ayah!" Grisha berusaha menyadarkan Nick agar tidak terpancing emosi.

"Tapi, mengapa?" Mikasa tau jika Levi berbahaya, namun ia memiliki hak asasi untuk memilih apa yang ia kehendaki dengan terus bersama Levi. Ia tak habis pikir mengapa mereka selalu melarangnya? Baik Eren, Annie, Reiner dan sekarang keluarga Eren! Menurut Mikasa mereka tak berhak untuk mengaturnya.

"Aku tidak bisa." Lirih Mikasa, menolak.

"Kau tau dampak dari keegoisanmu itu?" Nick menggebrak meja.

"Ayah!" Lagi-lagi Grisha mencoba untuk menenangkan ayahnya.

"Aku tidak peduli." Gumam Mikasa menundukkan kepalanya, ia meremas ujung rok mini yang ia kenakan.

The Last VictimTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang