Part 1

24 1 0
                                    

"Mila, jika kelak Kamila menikah. Kamila ingin lelaki yang seperti apa?"

"Bukan seperti apa, Bu. Seperti siapa," Aku terkikik kecil, "Kalau seperti apa, nanti kalau aku jawab sapi bagaimana?" Ibu terkekeh mendengar penuturanku.

"Oke, jadi seperti siapa?"

"Seperti Kakek." Senyum Ibu seketika berubah.

"Pasti pikir Ibu aku menginginkan laki-laki seperti Bapak, bukan?" Aku menggeleng.

"Aku tak ingin laki-laki seperti Bapak yang menyakiti Ibu. Aku juga tidak ingin laki-laki yang kaku dan dingin, tak pernah bertanya, ataupun mengobrol, yang sekadar bertanya bagaimana hari-hariku, " ucapku sedih.

"Sikap kasar Bapak pada Ibu sudah berlalu. Itu dulu, masa lalu, Mila. Sekarang, Bapak sudah jauh lebih baik. Jauh di lubuk hatinya, ia sangat mengasihi ibu, kamu, dan Intan." Ungkapan Ibu cukup kusimak saja. Untuk saat ini, mungkin aku tak berharap banyak dengan hubungan dingin antara aku dan Bapak.

Banyak orang mengira, anak perempuan biasanya sangat dekat dengan bapaknya. Ya, aku pernah, tapi itu dulu, dulu sekali. Saat aku kecil, saat Bapak selalu meluluskan setiap permintaanku dan Mbak Intan, saat Bapak menjadi sosok yang hangat dan selalu tersenyum. Semakin kami besar, sikap Bapak pun banyak yang berubah.

Diam-diam aku dan Mbak Intan selalu pura-pura jadi detektif. Ada satu alasan tertentu yang membuat Bapak kami yang hangat seketika mendadak menjadi pemarah dan dingin. Tak jarang ibu menjadi korban kekasaran Bapak. Sudah berapa banyak piring yang pecah layaknya ufo beterbangan ketika Bapak murka.

Lalu tibalah titik terang yang membuatku sangat kecewa kepada Bapak. Tanpa sepengetahuannya, aku membuntuti Bapak sepulang kerja. Tak langsung pulang ke rumah, aku mengamati Bapak sering mampir ke rumah salah seorang rekan kerjanya. Ironisnya, temannya ini adalah seorang janda. Satu jam, dua jam kutunggu. Kulihat Bapak keluar dari pintu rumah janda itu.

Sudah layaknya sepasang kekasih. Janda itu mencium dengan takzim tangan Bapak dan Bapak mengecup keningnya mesra. Betapa hancur hatiku. Air mataku seketika luruh, tangisku pecah tertahan, teringat bagaimana Ibu yang tulus telah dikhianati oleh seorang lelaki yang begitu ia percaya.

Aku menyimpan rahasia ini sampai kini, bahkan dari Mbak Intan, yang dengannya aku bisa ceritakan apapun. Kepada Ibu, sampai nafasku berhenti pun, aku tidak akan sampaikan apa yang sudah keketahui tentang Bapak sejauh ini.

"Kok, pilih Kakek?" tanya Ibu membuyarkan lamunanku. Aku sedikit kaget kemudian tersenyum.

"Soalnya Kakek lebih sering kasih Mila uang daripada Bapak!" Kami tergelak bersama, padahal jauh di lubuk hatiku, aku sedang menangis.

Kupeluk Ibu, lalu aku sandarkan kepalaku di pangkuannya. Belaian sayang di rambutku adalah satu hal yang paling kusukai. Itu pula yang selalu aku rindukan jika jauh.

"Ibu ingin punya cucu lagi," ucap Ibu sembari tangannya membelai rambutku. Aku sedikit kaget. Pantas saja Ibu berbicara soal pasangan, ternyata ini yang ingin Ibu ungkapkan.

"Ibu, kan sudah ada Bayu." Aku sebutkan anak Mbak Intan. Ibu menggeleng. Sudah dipastikan bahwa Ibu menginginkan cucu dariku.

"Mila sudah punya pacar? Atau teman laki-laki yang sedang dekat?" Aku bangun dan menggenggam tangan Ibu yang tadi membelaiku.

Selama ini Ibu selalu membantu mengasuh Bayu, anak Mbak Intan. Sejak Mbak Intan bercerai dari Mas Yoga, Mbak Intan dibantu Ibu dan Bapak dalam mengasuh Bayu. Sedang Mas Yoga lebih memilih tinggal dengan perempuan selingkuhannya tanpa peduli dengan kehidupan putranya.

"Ibu tenang saja. Nanti, kalau Mila sudah yakin dengan seorang laki-laki, Kamila pasti akan perkenalkan dia dengan Ibu. Kamila janji," Ibu menganggukkan kepalanya. Berharap apa yang kuucapkan benar adanya.

KamilaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang