Part 5

5 0 0
                                    

"Aji banyak bercerita tentang kehidupannya. Dari sikap dan tutur bicaranya, ia pria yang punya pemikiran dewasa dan bertanggung jawab. Ibu berpikir, Aji pantas untuk menjadi pendampingmu." Aku menyimak perkataan Ibu, walaupun sesungguhnya hati dan perasaanku menolak.

"Jika Kamila siap, Oom Tono akan pertemukan Kamila dengannya. Namun, jika Kamila belum siap, tunggu sampai kamu merasa siap."

"Iya, Bu. Kamila bersedia bertemu tapi mungkin tidak sekarang. Kamila masih disibukkan dengan pekerjaan," ucapku beralasan.

Dari mulut Ibu, sebuah harapan bagai titah yang harus dilaksanakan walaupun ia tak memaksa. Namun, keinginan untuk membahagiakannya adalah harapan yang harus diwujudkan.

"Ibu tidak akan memaksa hatimu untuk menerima perjodohan ini. Namun, Ibu akan tenang jika Aji yang akan jadi pendampingmu kelak." Kalimat Ibu memaksa dengan cara yang halus. Entah mengapa kata "perjodohan" dari kalimat Ibu sangat menggangguku. Aku curiga, masukan dari Oom Tono memengaruhi Ibu tentang perjodohan ini.

"Kamila,"

"Iya, Bu?"

"Satu hal yang harus kamu ketahui. Mungkin ini akan membuatmu semakin bimbang, tetapi Ibu tidak pernah mempermasalahkan status pendampingmu kelak. Kami hanya percaya, bahwa lelaki yang kami pilihkan untukmu adalah sosok laki-laki yang baik buatmu."

"Maksud Ibu?"

"Tentang Aji Seno. Ia adalah seorang duda." What? Kali ini Ibu memandangku lekat seolah ingin melihat bagaimana ekspresiku. Aku mengernyitkan dahi, seolah meyakinkan diri dengan apa yang baru saja aku dengar.

"Ya, duda tanpa anak." Rasanya aku ingin segera menolak, aku semakin meragu dengan pria pilihan Ibu dan Oom Tono. Bagaimana bisa mereka memilihkan aku laki-laki yang menyandang status seorang duda?

"Bagaimana?" tanya Ibu. 

Tampaknya Ibu melihat keraguan yang menyusup di hatiku. Aku tersenyum. Ada kelegaan yang kemudian terpancar dari wajah Ibu, tetapi tidak dengan hatiku.

"Yang penting Kamila ketemu dulu dengan Mas Aji Seno, ya, Bu," ucapku kemudian. 

Tak bisa kupungkiri, status pria yang akan dikenalkan padaku sedikit mengusik pikiranku. Aku kemudian ingat pesan Ibu. Jika memang aku tak berjodoh, itu tidak akan menjadi soal. Namun kondisi ibu yang semakin tua dan lemah, membuatku ingin mewujudkan apa yang menjadi keinginannya. Dilema hatiku, yang aku pun sulit untuk mencari solusinya.

Setelah memastikan kondisi Ibu, aku pamit kembali ke kota. Setumpuk pekerjaan sudah menanti. Kerinduanku pada Leo pun tak bisa tertahan. Apalagi selama aku pulang, tak ada satupun pesan darinya, telepon pun tidak.

***

Tak terasa jarum pendek menunjukkan pukul 4 sore. Kurapikan semua berkas yang berserak di atas meja. Erin yang sedari tadi sudah siap hendak hang out dengan beberapa rekan kantor sedang bercermin memoles make-up yang sudah tebal. Sekarang kostumnya pun sudah bukan pakaian kerja lagi. Sepertinya ia sengaja bawa pakaian ganti dari rumah.

"Beneran, nggak mau ikut, Mil?" tanyanya memastikan sambil memoles lipstik yang sudah merah menyala.

"Enggak, ah," tolakku, sambil memerhatikan Erin yang sekarang sudah tampak begitu cetar dengan dandanannya.

"Aku mulai curiga, nih, sama kamu. Akhir-akhir ini kamu jadi sering menolak kalau diajak keluar. Jangan-jangan kamu sudah punya pacar?" Kali ini tatapan Erin seolah menyelidik.

Aku tersenyum, Erin semakin curiga dengan sikapku. Tidak tahu harus jujur atau tidak. Toh, selama ini tidak ada ungkapan cinta dari Leo, walaupun sikapnya begitu manis. 

KamilaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang