Pak Ben diam-dian memperhatikan Leo, pria asing yang ikut bergabung dalam acara intern kami. Dari ekspresi wajahnya, tampak sekali Pak Ben tidak nyaman menyaksikan kedekatanku dengan Leo.
Leo begitu pintar membaur. Pribadi yang yang ramah dan pintar membanyol, seperti punya poin tersendiri sehingga mudah baginya diterima oleh rekan-rekan kerjaku, kecuali Pak Ben.
"Saya pamit dulu. Kalian lanjutkan saja," ucap Pak Ben saat semua sedang asyik bersenda gurau.
Lagipula tidak biasa-biasanya Pak Ben pulang lebih awal. Kami semua saling melempar pandang, Mas Iwan mendelikkan matanya, menanyakan padaku apa yang terjadi. Kujawab dengan gedikan bahu, tak tahu.
"Lho, Pak, kok, buru-buru?" tanya Mas Iwan senyum-senyum merasa tak enak setelah melihat Pak Ben beranjak akan pergi.
Mas Iwan menggaruk-garuk kepalanya serba salah. Mbak Siska menatapku, kemudian melirik ke arah Leo. Menyampaikan pesan seolah itu dikarenakan kehadirannya.
Leo pun merasa tidak enak. Ia pun bingung mengapa tiba-tiba Pak Ben pamit pergi. Berkali-kali Leo menyenggol sikutku. Karena masih ada Pak Ben berdiri, kucubit pelan tangannya. Ironisnya, Pak Ben menyaksikan tingkah kami berdua. Serasa ada asap api yang keluar dari kepalanya.
"Iya, ada urusan mendadak," ucap Pak Ben sambil membetulkan posisi kacamatanya yang agak melorot, "Iwan, nanti bayarkan dulu! Nota besok di-rembeurs ke saya, oke."
Mas Iwan mengangguk paham. Situasi yang serba salah membuat kami terdiam, Mas Iwan mengangguk-anggukan kepalanya sambil menyunggikan senyum terpaksa.
Hang out bareng merupakan kegiatan rutin di divisi kami untuk mempererat ikatan emosi sehingga ritme kerja berjalan harmoni. Menyadari bahwa waktu kami mayoritas dihabiskan di tempat kerja, maka Pak Ben membuat program ini sebagai ajang menyegarkan otak setelah hampir seminggu berkutat dengan pekerjaan. Acara hang out bareng biasa kami lakukan saat akhir pekan, seperti hari ini.
"Maafkan kalau karena kehadiranku membuat suasana tidak enak," ucap Leo setelah Pak Ben pergi.
"Pak Ben terbakar cemburu," ucap Erin terkikik, lalu menyesap jus alpukatnya.
Mendengar hal itu, spontan kupukul lembut lengannya.
"Cemburu dengan siapa?" tanya Leo lugu.
"Tentu saja denganmu, Mas Leo," sahut Susan.
"Oh, Pak Ben menyukai Kamila?" tanya Leo.
Mbak Siska, Susan, dan Erin kompak menunjuk Leo setelah apa yang diucapkannya.
"Nah, itu!" ucap mereka bersamaan, sedang Mas Iwan bengong tak paham.
Leo manggut-manggut menatapku. Adakah rasa cemburu buatku, Leo?
"Eitz, tunggu dulu!" Mas Iwan berdiri, mengangkat kedua tangannya ke atas dengan stik kentang masih ada di mulutnya.
"Apa benar yang saya dengar, wahai Kawans?"
Mas Iwan yang merasa ketinggalan informasi, memandangi kami satu per satu. Kemudian tatapannya berhenti di wajahku. Aku melotot, merasa seperti seorang terdakwa.
"Kamila, apakah benar?" Sambil mengunyah stik keju yang tadi, stik keju yang baru saja ia ambil ia gunakan untuk menunjukku bagai hakim.
Aku yang tidak yakin dengan tuduhan Mas Iwan hanya menggeleng.
"Kalau kau memang menyukainya, terimalah dia, Kamila," ucap Leo tanpa memerhatikanku, kemudian ia menyesap kopinya yang mulai dingin.
Apakah aku tak salah dengar bahwa ia baru saja menyuruhku menerima Pak Ben? Laki-laki memang tak punya perasaan. Mulutku mencucu kemudian menyandar malas di kursi. 'Aku maunya kau cemburu,' pintaku dalam hati.
Setelah menghabiskan malam bersama teman-teman kantor, Leo mengantarku pulang. Malam ini, bintang berkedip menghias cakrawala. Hanya cahaya bulan yang berpendar, juga lampu jalan yang ikut berkedip layak gemintang.
Kami berdua berdiri di depan pagar. Aku berdiri menghadapnya, tersenyum, dan mengamatinya lekat sebelum malam berakhir lalu ia undur diri dari hadapan.
"Terima kasih, ya, sudah bersedia menemaniku," ucapku, Leo mengangguk.
Perlahan kedua tangannya terbuka dan tubuhnya mendekat. Ia memelukku hangat dalam pelukannya. Bagai ribuan kupu-kupu menari, mereka menggelitik di hati yang sedang kasmaran.
"Kau tahu? Aku tak ada perasaan apa-apa dengan Pak Ben," ucapku saat masih dalam pelukannya.
"Mengapa kau bicara begitu?"
"Karena aku tak suka kau menyuruhku menerima cinta Pak Ben. Jangan ulangi lagi," rutukku.
Leo membelai rambutku, "Iya. Tak akan kuulangi lagi."
Setelah ia renggangkan pelukannya, kami berhadapan. Tinggiku yang hanya 155 cm, sudah pasti harus mendongak saat berhadapan dengannya. Ternyata sepatu hak tinggi yang kukenakan saat bekerja, sama sekali tidak membantu menyejajarkan tinggiku dengan tinggi Leo.
Kini jarinya bermain-main di rambutku. Kulihat kedua netranya membulat penuh ekspresi. Tak ketinggalan senyumnya yang selalu melengkung di bibirnya. Jarang ada orang punya ekspresi seperti itu, seolah sudah melekat di dirinya sejak lahir.
Entah ada kepasrahan apa yang membuatku berdiam diri menerima perlakuan manisnya. Jika saja lelaki di hadapanku itu Ben, ataupun lelaki lain, bisa dipastikan ia pulang tidak selamat. Namun, pria di hadapanku ini Leo. Lelaki yang sampai detik ini belum mendeklarasikan jenis hubungan apa yang terjadi di antara kami. Namun, entah, aku selalu menyukai dan merindukan setiap kebersamaan kami.
Setelah puas menatap setiap detail wajahku, Leo meletakkan kedua tangannya di bahu.
"Oke, Kamila. Selamat beristirahat. Mimpi indah, ya," ucapnya, beranjak dari hadapan.
"Kamu hati-hati di jalan." Leo mengangguk, kemudian tak lama ponselnya berbunyi.
Setelah mengambil ponsel dari kantongnya dan melihat kontak yang meneleponnya, wajah Leo seketika berubah.
"Oke, aku pulang," ucapnya kemudian padaku, lalu ia kembali fokus menatap layar ponselnya.
Ia beranjak dari hadapanku, lalu menempelkan ponsel di telinganya. Kata yang ia ucapkan dan sempat terdengar oleh telingaku adalah, 'Halo sayang'?
Aku menunggu sampai Leo masuk ke mobil. Ia hidupkan mesin mobilnya dan masih sibuk dengan ponsel yang menempel di telinganya. Wajahnya serius sekali, sampai ia lupa masih ada aku yang menunggunya berlalu.
Aku berjalan dengan gontai, juga lelah karena seharian belum menyentuh kasur. Yang paling mengganggu pikiranku adalah kata-kata Leo baru saja. Ah, sudahlah. Mungkin aku salah dengar.
Andaipun sangkaanku benar, aku tak punya hak untuk cemburu. Toh, diam-diam aku juga ada rencana untuk menemui laki-laki yang dijanjikan Ibu akan dipertemukan denganku. Aji Seno, nama berciri khas Jawa yang sangat jarang orang tua sematkan nama itu pada anak mereka. Zaman sudah modern, tetapi tampaknya Pak Suryo -- ayah Aji Seno--, masih memegang budaya Jawa walaupun sudah lama meninggalkan tanah keliharannya.
Pertemuanku kelak bukanlah masuk ke dalam ranah pengkhianatan. Namun, tetap saja, perasaan tak bisa dibohongi. Hanya Leo yang sangat kuharapkan menjadi sosok yang kelak menemaniku. Namun, hubungan antara kami yang terbilang entah, tetapi dengan semaunya kehadirannya bagai memenuhi bagian hatiku yang kosong, sudah merampas telak tanpa disisakan barang sedikit.
Sebelum berbaring untuk istirahat, kukirimkan pesan ucapan selamat tidur pada sosok yang meninggalkan senyum sebelum ia pulang. Menit berganti tak ada pesan balasan dari laki-laki yang kuharapkan membalas dengan kalimat, "Selamat tidur, Kamila. Mimpi yang indah." Yah, mungkin dia sedang sibuk atau aku yang terlalu berharap?
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Kamila
Ficción GeneralKamila adalah seorang gadis berusia 35 tahun yang dituntut untuk menikah. Cintanya pada seorang pemuda bernama Leo membuatnya bersikukuh untuk mempertahankan cintanya. Namun, di suatu waktu, ia terpaksa harus menerima perjodohan itu karena ibunya ya...