Part 13

5 0 0
                                    

Setelah menyapukan beberapa make-up di wajahku, rambut pun tak lepas dari sentuhan mbak pegawai salon sesuai pintaku. Karena waktu sudah hampir pukul lima sore, aku hanya minta rambutku diblow agar terlihat rapi. 

"Hati-hati sekarang, Mbak. Suami ganteng harus dijaga," tambah Mbak Rini, pegawai salon yang papan namanya tersemat di baju pegawainya.

Mbak Rini melirik ke arah seorang wanita dengan dandanan menor di sampingku. Rupanya ia memberi kode, bahwa Mas Aji sedang diperhatikan oleh wanita itu dengan lirikan menggodanya. Aku tersenyum cuek, memandang Mas Aji melalui cermin.

Lelaki yang dibicarakan sedang asyik membaca, sambil sesekali membuka halaman selanjutnya. Saat kuedarkan pandanganku, praktis, hanya aku pelanggan salon yang diantar pria.

Ia memang manis, enak dilihat, dan tidak membosankan. Pantas saja, tak hanya gadis yang suka meliriknya, bahkan ibu-ibu saja demen lihat kegantengannya yang paripurna. Melihat ibu di sampingku rasanya itu menjadi bukti kata orang yang selalu mengatakan calon suamiku ganteng.

Ah, calon suami dan calon istri. Begitu berat menyematkan kata itu jika bukan karena titah dua orang tua yang berharap kami berdua bisa menikah.

"Jujur. Aku masih belum bisa menerima seorang wanita setelah kepergian mantan istriku. Aku hanya ingin kau tahu ini. Agar selanjutnya tidak ada salah sangka," ucap Mas Aji suatu ketika.

Kalimatnya seolah dimaksudkan agar aku tak jatuh cinta padanya dengan mudahnya. Aku, Kamila, tentu saja menyetujui maksud ucapannya itu. Kepergian Leo dan kenangan tentangnya cukup membutuhkan waktu yang tidak sebentar.

Kebersamaan dengan Mas Aji pun lebih seperti kakak dan adik. Bagiku yang tak punya kakak lelaki dan baginya yang sudah terbiasa sebagai kakak pertama, membuatku terkadang bisa bersikap manja dan ia bersikap mengayomi. Kata Erin, itu dua karakter apik yang serasi untuk dipasangkan.

"Kita seperti dua orang yang sedang sama-sama menyembuhkan luka. Biarkan lukanya berangsur sembuh. Waktunya akan tiba jika kita memang berjodoh," ucapku menyambung ucapan Mas Aji waktu itu.

Akhirnya sekarang, kami berdua menjalaninya tanpa beban walaupun kata calon suami dan calon istri tersemat bagi kami berdua. Hanya minta kepada waktu, semoga semua berjalan indah pada waktunya.

"Siippp. Sudah selesai, Mbak," ucap Mbak Rini membuyarkan lamunanku.

Setelah aku mengucapkan terima kasih, aku beranjak dari tempatku duduk dan berjalan ke arahnya. Mas Aji masih sibuk dengan majalah di tangannya. Setelah ia menangkap bayanganku, ia mengangkat wajahnya. Ada sekian detik ia mengamati perubahan penampilanku, ada siratan dari sepasang matanya yang tak kuketahui maknanya.

"Mas, aku sudah siap dibawa ke orang tuamu." Maksudku bercanda, tetapi ia tak balas tersenyum.

Mas Aji meletakkan majalah di rak dan langsung mengambil kunci mobil yang ia letakkan di atas meja. Dengan ekspresi yang tak bisa kumaknai. Ia berjalan ke kasir dan menanyakan jumlah uang yang harus ia bayarkan.

***

Sampailah kami di sebuah rumah bercat putih gading dengan banyak tanaman hijau di sekitarnya. Kuperhatikan hampir semua tanamannya bukan tanaman berbunga. Kalau Mbak Intan, ia lebih suka tanaman berbunga, bahkan di rumah terdapat beberapa jenis mawar dengan berbagai warna, bunga anggrek dengan berbagai jenis. Namun, di sini berbeda. Lebih tampak keasriannya dan terasa sejuk memandangnya.

Mas Aji membukakan pintu mobil, menungguku turun, kemudian menutup pintu mobil. Sudah layak Tuan Putri yang baru disambut pangeran berkuda putih. Bedanya, ia tidak memberikan tangannya untuk kugenggam saat aku turun.

Walau perasaanku dengan Mas Aji hanya sebatas komitmen untuk tetap menjalani dikarenakan sebuah titah, tetap saja, bertemu dengan orang tuanya adalah sebuah momen yang mendebarkan.

"Kenapa? Gugup?" tanyanya, aku mengangguk sambil tersenyum kelu.

Sesaat kemudian, ia perhatikan dari ujung rambut sampai ujung kaki. Ia mengatupkan mulutnya seolah aku sebuah maneqin yang sudah sempurna untuk dipajang.

"Sudah cantik, kok! Tidak usah gerogi, gugup, atau perasaan sejenisnya. Orang tuaku tak menggigit,"

"Tapi tanganku sudah dingin banget ini, Mas,"

"Ciyeee ciyeee, yang mau bertemu calon mertua," ucapnya setengah mengejek.

Kupukul bahunya, ia terkikik puas karena baru saja membuatku semakin gugup. Kini, tubuhnya menghadap pintu rumah dan satu tangan kirinya ia letakkan di pinggang. Aku terbengong melihat tingkahnya.

"Memang Mas Aji ngapain? Mau baris berbaris?"

"Nggak mau melakukan seperti yang kamu lakukan tadi di salon?" Aku tertawa, baru ingat tadi aku pura-pura menggandeng tangannya untuk membuat ibu di sampingku untuk menghentikan lirikan menggodanya.

"Oh, pengen digandeng?" Ia mengangguk, lalu aku bisikkan sesuatu di telinganya, "Ogah!"

Ia seperti hendak mencubit pipiku tapi hanya ekspresi gemas saja. Lihat saja, sampai ia menyentuhku, ia akan menerima bogem mentah ala Kamila. Aku berlalu di hadapannya dan berjalan mendahuluinya. Ia setengah berlari menyejajarkan dirinya hingga kami tiba di pintu depan rumahnya.

Saat pintu dibuka, seorang wanita paruh baya dengan senyum menghias di wajahnya yang masih cantik menyambut kami berdua.

"Hai, ini pasti Kamila," ucapnya semringah.

Kucium punggung tangannya disusul dengan saling menyentuhkan kedua pipi. Ibu Burhan menarik tubuhku sehingga kami berpelukan. Begitu hangat sambutan yang aku terima. Kini, aku tak segugup tadi.

"Ayo, Kamila silakan masuk!" Bu Burhan menyilakanku duduk, Mas Aji dengan santainya sudah duduk di sampingku.

Aku mengerutkan dahi, ia melihatku dengan senyum lebarnya. Bu Burhan terkikik geli dengan tingkah anaknya.

"Kamila yang sabar, Aji di rumah memang suka jahil."

"Oh, ketahuan...," ucapku masih meliriknya, Mas Aji senyam senyum di sampingku.

Tak lama, seorang pria setengah baya keluar dari dalam kamar. Melihat wajahnya yang mirip Mas Aji, pastilah ia Pak Burhan. Ia memperbaiki kaos yang ia kenakan.

"Selamat sore, Kamila. Maaf, bapak baru selesai mandi," sapa Pak Burhan.

Aku berdiri dan mencium punggung tangannya, kemudian ia mengambil duduk di samping Bu Burhan.

"Bagaimana kabar keluarga di Kotabumi?" tanya Pak Burhan.

"Baik, Pak. Hanya Ibu agak kurang sehat. Bahkan belum lama jatuh dari kamar mandi," tampak ekspresi simpati dari Bapak dan Ibu Burhan, "tapi sekarang kondisinya sudah membaik. Hanya, sekarang tidak bisa capek."

"Syukurlah. Yang penting kita selalu pantau kondisinya. Tidak boleh banyak pikiran. Kami yang tua-tua ini, ya, sekarang hanya tinggal menikmati masa tua saja," ucap Pak Burhan.

"Bapak sudah telepon bapakmu." Terlintas bayangan bapak di pikiranku. Ketika terakhir kepulanganku ke rumah, bapak membawakanku opak singkong kesukaanku. Tak ada ucapan terima kasih dari bibirku. Hanya kepergian yang tanpa pesan seperti biasa.

"Kami masih suka sharing seperti zaman muda dulu. Kalau sekarang kita dimudahkan dengan adanya teknologi. Tidak seperti saat kami muda. Untuk bertemu saja harus bapak yang ke rumahmu atau sebaliknya. Dulu, bapak masih ingat, waktu kamu masih kecil sukanya pakai lipenstip punya ibumu," beber Pak Burhan membuat kami tertawa.

"Aji yang akan mengajak kami ke sana untuk melamar," tambah Pak Burhan.

KamilaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang