Bab 18

3 0 0
                                    

"Mas, Mas Aji sadar dengan apa yang Mas Aji ucapkan?" tanyaku saat ada kesempatan mengobrol berdua.

"Kurasa tak perlu berlama-lama harus menunggu kita berdua siap. Doa orang tua tentunya yang terbaik untuk anak-anaknya dan aku ingin segera mendapatkan anugerah itu." Kali ini wajah Mas Aji serius.

"Mas Aji seperti menelan ludah sendiri. Maksudku, biarkanlah berjalan sesuai yang sudah direncanakan. Tak perlu kita paksakan dengan cara memajukan tanggal pernikahan."

Kulihat pandangan Mas Aji menatapku dalam beberapa detik. Setelahnya aku bisa melihat dari bola matanya yang bergerak ke sana ke mari, lalu kembali melihatku, seperti ada yang ingin ia sampaikan tetapi urung terucap. Aku bisa melihatnya dari ekspresi dan gumaman 'hmm' dari mulutnya.

"Kita percepat akan lebih baik." Itu saja kalimat yang keluar dari mulutnya. Namun, ia tidak sertakan alasan apapun yang membuatnya ingin mempercepat tanggal pernikahan.

"Lalu, kapan?" tanyaku sudah terlanjur kesal.

"Bulan depan," ucapnya enteng.

"Mas, masalah pernikahan bukan masalah sepele. Banyak hal yang mesti kita persiapkan. Mulai dari tetek bengeknya sampai hal remeh temeh yang mungkin tidak terpikirkan."

"Jangan dibuat sulit kalau itu bisa dibuat mudah. Pernikahan hanya membutuhkan dua orang yang saling berkomitmen dan dua keluarga yang mendukung. Saat ini aku sudah berkomitmen untuk menikah denganmu, dua keluarga bahkan sudah mendukung rencana ini. Lalu bagaimana denganmu sendiri?"

Cukup lama aku diam, mencerna kata-kata yang diucapkan oleh Mas Aji. 'Kamila, sebenarnya apa yang kamu cari? Tidak, apa yang kamu tunggu?' suara dalam otakku.

"Jadi, masalah ada di diriku?"

"Syukurlah kalau kamu menyadarinya," ucap Mas Aji singkat tetapi cukup membuat hatiku tercubit.

"Dengan menikah akan membuatku leluasa untuk melindungimu." Kalimat Mas Aji mengundang tanya.

Apakah ceritaku tentang Leo dan Mr. Elang mengganggu pikirannya? Hingga aku mengurung diri selama dua jam di toilet dan berakhir dengan tidak sadarkan diri. Mungkinkah karena itu?

Melihat sikap Mas Aji akhir-akhir ini semakin membuatku bingung. Ada kalanya ia menunjukkan muka tengilnya, tetapi sedetik kemudian ia siratkan wajah serius yang penuh tanya. Namun, bagiku, Mas Aji adalah Mas Aji, sosok yang pantas menjadi kakak lelaki yang tak pernah kumiliki.

Setelah menyampaikan pamit kepada bapak dan ibu, Mas Aji kembali ke Bandar Lampung. Ia sama sekali tidak ingin berpamitan denganku. Ia beralasan tak ingin mengganggu istirahatku. Kediaman Mas Aji semakin membuatku makin risau.

***

"Mbak Intan sudah dengar dari ibu. Benarkah tanggal pernikahan akan dipercepat?" tanya Mbak Intan setelah melihatku banyak diam tak seperti biasanya.

"Aku enggak mengerti jalan pikiran Mas Aji. Dipikirnya menikah itu urusan remeh. Banyak yang harus dipersiapkan. Mulai dari undangan, refreshment, sewa foade, salon, dll."

"Kamu pikir Aji enggak punya uang untuk sewa wedding organizer? Urusan begitu enggak usah kamu pikirkan. Yang penting mantapkan hatimu. Ingat, kehidupan pernikahan itu enggak berjalan dua atau tiga tahun, tetapi untuk selamanya." Ucapan Mbak Intan membuatku bergidik, terbayang kehidupan yang monoton tak berwarna tanpa cinta.

"Jangan sampai kegagalan Mbak Intan terjadi sama kamu."

Membayangkan sebuah pernikahan tanpa ada perasaan menggelora dengan pasangan, sepertinya prediksiku pernikahan ini bakal hambar, mungkin saja berakhir dengan perpisahan. Namun, aku memutuskan tidak mengungkapkan hal ini. Pasti Mbak Intan akan berucap bahwa menjelang pernikahan, calon pengantin tidak diperbolehkan memikirkan hal negatif dan menciptakan pikiran buruk. Itu salah satu gangguan yang akan mengundang setan makin menggoda untuk menggagalkan rencana baik.

"Mbak Intan bisa lihat dari ekspresi Ibu tadi. Kelihatan cahaya di wajahnya. Malah Mbak Intan lihat Ibu terlihat lebih bugar, lupa akan sakitnya."

"Karena permintaan Mas Aji itu?" Mbak Intan mengangguk. Kini, aku pun melihat ada semringah yang sama di wajah Mbak Intan.

Menolak permintaan Mas Aji dan memintanya untuk mengembalikan rencana seperti semula hanya akan membuat hati keluargaku sedih. Inilah yang membuatku akhirnya harus pasrah menerima rencana Mas Aji kepada keluargaku.

"Sudah, enggak usah banyak pikiran. Banyak doa. Minta kepada Tuhan untuk lancarkan semuanya agar apa yang menjadi maumu, juga adalah kehendak-Nya."

Aku tersenyum mengiyakan kalimat Mbak Intan, kemudian tidur dengan posisi memunggunginya. Tangan Mbak Intan menyentuh bahuku memberikan penguatan.

"Semakin mendekati hari pernikahan, biasanya ada saja godaan dan gangguan. Perbanyak doa," pinta Mbak Intan lagi.

***

Aku tak bisa menghindar saat Leo sudah ada di depan kantor. Bagai terhipnotis, aku sudah duduk di sampingnya di dalam mobil.

Warna jingga langit menghias di atas Pantai Mutun. Desir angin sore berkali-kali melempar rambutku hingga menutupi wajahku. Rambut kugelung cepol sambil diperhatikan oleh seseorang di sampingku.

"Apa yang terjadi padamu sore itu? Aku tak berani menelepon atau mengirim pesan, karena aku yakin lelaki itu pasti sedang bersamamu," tanyanya dengan ekspresi khawatir.

"Bagaimana kau bisa tahu?"

"Aku ke kantormu setelah pesan yang aku kirimkan tidak ada balasan." Aku tersenyum getir jika mengingat kembali saat mengurung diri selama dua jam di dalam toilet hingga berakhir pingsan.

"Maafkan aku, maafkan papaku," ucap Leo pelan.

"Benarkah apa yang papamu ucapkan? Wanita di hidupmu datang dan pergi dan aku salah satu korbannya." Kembali senyum getir itu tersungging. Ada sesuatu yang menekan di dalam dada.

"Setiap manusia punya kesalahan masa lalu. Papa sering memandangku sebelah mata soal kehidupan percintaanku. Ia tidak tahu, aku bukan Leo yang dulu."

"Kau tak menyangkalnya, bukan?"

"Untuk apa menyangkal dengan keras jika lawan bicara kita sampai kapan pun tak akan percaya? Seperti dirimu." Leo menoleh padaku.

"Aku? Aku tak pernah berbicara apapun tentangmu!"

"Sikapmu. Kau membuatku gemas. Dengan apa lagi bisa membuatmu percaya?"

"Percaya tentang?"

"Kalau aku mencintaimu. Aku bahkan berani sampaikan di depan papaku tentang perasaanku. C'mon Kamila, kau tahu, kita saling mencintai. Aku bisa merasakan dari ciuman-ciuman kita saat di kantorku." Wajahku seketika merona. Malu rasanya mengingat kejadian sore itu.

"Kau menginginkannya lagi?" Kutepis tangan Leo yang sudah menyentuh pipiku.

Bukannya malah berhenti, dengan beringas Leo menghujaniku dengan serangan ciumannya yang membabi buta. Hingga aku luluh dan pasrah. Melakukannya lagi dengan bebas.

Tangan Leo sudah mulai meraba di area sensitif lainnya sehingga aku tak mampu untuk mengontrol gairah hasrat yang ia tawarkan. Di bawah atap mobil, disaksikan matahari yang mulai tenggelam dari cakrawala, aku menyerahkan semuanya. Seluruh kehormatan yang aku jaga untuk suamiku kelak.

Setelah kami melakukannya, ia bisikkan lembut di telingaku bahwa ia mencintaiku. Leo mengecup keningku lalu mengucapkan terima kasih. Ada senyum puas di wajahnya, sedang aku luruh dalam tangis yang tak bisa kujabarkan.

Merasa kotor. Kejadian singkat ini mencoreng kehormatan yang kujaga setengah mati. Leo tak menyangka responku sedemikian ini. Justru aku begitu ingin membunuhnya kali ini. Namun, aku tak ada daya untuk itu. Aku terlalu lemah dan kepasrahan atas cinta yang aku miliki untuknya malah menjerumuskan aku pada dosa yang tak terampunkan.

"Kamila, bukankan ini yang kau mau? Aku sudah membuktikannya. Apa lagi yang membuatmu ragu?"

Kukenakan semua pakaian yang sudah bertebaran. Ingin rasanya aku lari dan membiarkan tubuhku terbawa ombak. Di otakku hanya terlintas wajah Ibu. Apa yang harus aku sampaikan kepada beliau? Bahwa kehormatanku sudah terenggut bahkan sebelum aku melangsungkan pernikahan dengan lelaki pilihannya?





KamilaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang