Part 11

4 0 0
                                    

Mas Aji hanya tersenyum kecut mendengar pertanyaanku. Ia melemparkan pandangannya jauh. 

"Apa itu cinta? Aku sama sekali tidak paham lagi apa arti cinta. Hidup hanya sekadar menjalani segala rutinitas. Tidak ada yang istimewa. Apalagi setelah semua pergi satu per satu." Tatapannya kali ini melihat ke arahku, seperti mencari tahu bagaimana tanggapanku.

"Bagaimana denganmu, Kamila? Pernah mencintai seseorang? Percaya pada cinta?" Aku tertawa keras.

"Apalah cinta? Penderitaannya tiada pernah berakhir," ucapku, mencomot kalimat di salah satu dialog film.

"Artinya kita sama-sama manusia yang tak percaya adanya cinta?" Mas Aji mencoba menyamakan kondisinya dengan kondisiku.

"Dulu pernah, tetapi sekarang sama dengan Mas Aji. Tidak ada yang istimewa." Mas Aji terkikik.

Saat hendak membayar makanan ke kasir, aku melihat kelebat bayangan seseorang yang begitu kukenal. Ah, mungkin hanya mirip saja atau hanya perasaanku saja.

Pria berkaca mata hitam yang baru saja lewat persis di sampingku baru saja memesan sebuah meja. Ia membawa sebuah tas kantor. Penampilannya sangat tampan dengan paduan jas dengan dalaman kaos berwarna gelap. Terlihat santai tetapi cukup elegan.

Ekor mataku mengikuti ia bergerak. 'Ah, bukan dia,' ucapku dalam hati.

Sembari menunggu pembayaran dari kasir, Mas Aji melipat lengan bajunya. Ia melihat ke arahku, memerhatikan sosok yang kuikuti gerakannya.

"Kau mengenalnya?"

"Ah, anu, tidak. Hanya mirip seseorang," ucapku tergagap.

"Seseorang yang pernah singgah di hati?" Aku tersenyum dengan ucapannya.

"Ah, masa lalu hanyalah masa lalu. Walau sakit tetap menjadi kenangan. Sejarah," ucapku sok tegar.

Sebelum pergi, aku perhatikan lagi sosok yang sangat familiar itu. Kemudian berlalu saat Mas Aji berjalan di depanku lebih cepat.

***

Leo

Kembali ke rumah setelah beberapa waktu memperdalam ilmu bisnisku adalah sesuatu yang istimewa sekaligus menjemukan. Kembali ke kota ini lagi seperti mengingat kebrengsekanku, perasaan cinta yang pernah kutinggalkan.

Janji bertemu Jhon di restoran yang pernah kami kunjungi membuatku tak sabar ingin menceritakan perkembangan bisnisku. Paling tidak, Papa sudah memercayakan sebagian cabang untuk kukelola.

Beberapa cabang membutuhkan perhatian khusus. Kecekatanku sempat dipuji Papa sebagai gen yang ia turunkan. Tak perlu lama bagiku untuk mempelajari masalah perusahaan dan tetek bengeknya.

Permasalahan pajak yang sempat ditinggalkan oleh manajemen sebelumnya cukup membuatku pusing. Pertemuan dengan Jhon sekaligus membicarakan masalah itu.

Setelah memarkirkan mobil, kulihat jam masih menunjukkan pukul dua belas kurang. 'Sudah hampir waktunya makan siang," pikirku.

Rencana yang awalnya hanya ingin minum kopi dan makan kudapan, akhirnya kupesan makanan berat sebelum Jhon datang. Kalau perut kenyang, tentunya obrolan akan lebih fokus.

Saat memasuki area restoran, betapa terkejutnya ketika aku lihat sosok wanita yang sangat aku kenal. Cinta yang pernah aku lupakan dan sengaja kujauhi. Kamila. Niat untuk menyapa akhirnya aku urungkan. Kamila sedang bersama seseorang. Dialah lelaki yang sudah memberikannya kepastian? Tentu tak sama dengan lelaki brengsek sepertiku.

Aku berjalan melewatinya. Entah, apakah ia menyadari bahwa aku lelaki yang pernah ia minta untuk menjauh. Lelaki yang hanya memberikan cinta basa-basi.

KamilaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang