Aku beranjak dari obrolan seru Mbak Siska tentang perselingkuhan teman SMA-nya setelah teringat dokumen yang harus kuserahkan kepada Pak Ben. Setelah menyampaikan permisi, aku tak lagi tahu kelanjutan cerita cinta yang belum kelar itu.
Aku mengetuk pintu ruang Pak Ben dan membukanya setelah ia menyilakanku masuk. Pak Ben tampak lumayan sibuk dengan beberapa berkas yang ada di mejanya. Ia kemudian merapikannya dan menyilakan aku duduk.
"Pak, ini beberapa dokumen yang diperlukan untuk pengiriman barang ke perusahaan Tako di Malang." Aku menyerahkan dokumen yang kubawa.
Pak Ben membuka dan mengecek dokumen yang tersimpan di map biru tersebut. Kepalanya mengangguk-angguk seperti tidak ada yang perlu direvisi. Lalu, ia menyusun kembali dan memasukkannya ke map.
Pak Ben jarang memberikan pujian walaupun pekerjaan yang dilakukan anak buahnya sudah maksimal. Entah ia tak bisa mengungkapkannya ataukah memang ia pelit pujian. Teman-teman satu divisi kadang kesal, padahal mereka sudah lelah bekerja tetapi tidak ada kata 'wah, oke, mantap, keren, hebat" dari mulutnya untuk sekadar memberikan apresiasi kepada kami. Hanya acara akhir pekan saja bentuk apresiasi dari Pak Ben. Itupun tujuannya untuk menjalin hubungan erat antaranggota divisi.
"Kamila, ada beberapa berkas yang harus diberikan ke perusahaan V3BO cabang Kotabaru. Saya mengutus kamu untuk mengirimkannya ke sana. Juga menyampaikan hasil rapat kita kemarin tentang program dengan perusahaan rekanan." Aku mengangguk paham, walau ada gelisah yang datang tiba-tiba.
***
Aku sudah tiba di depan kantor PT. V3BO. Kakiku sulit bergerak. Serasa ada ribuan paku yang menghujam dan menahannya. Tangan terasa dingin. Namun, demi tugas yang diembankan, aku harus melakukannya.
Setelah menyampaikan kepada satpam tujuan kedatanganku. Pak Satpam menyilakan aku masuk ke bagian front office.
Setelah menyampaikan tujuanku ke bagian front office, aku disuruh menanti untuk beberapa waktu. Aku menunggu dengan gusar. Berharap Leo tidak ada di tempat atau ia mengutus seseorang untuk menemui pegawai biasa sepertiku.
"Ibu, silakan ke ruangan Bapak di lantai 5 melalui lift," ucap wanita di bagian front office menyilakanku.
Kutekan tombol lift sambil memikirkan apa yang sebentar lagi terjadi. Pintu lift pun terbuka. Aku melangkah masuk kemudian menekan tombol lima.
Jantungku berdebar lumayan kencang, tangan dingin, dan berkali-kali harus mengusap keringat yang tiba-tiba saja menetes di keningku. Ini sudah tidak normal. Bisa-bisa aku pingsan sebelum bertemu dengan direktur terhormat, Mr. Leo Satria.
Suara dentingan lift mengagetkanku disusul dengan pintunya yang terbuka. Terpampang di depan lift sebuah lukisan gadis Bali yang sedang menari pendet. Anehnya, lukisan penari itu bagai menyeringai ke arahku. Entah ekspresi apa sehingga membuatku bergidik. Ah, otakku sudah benar-benar minta diperbaiki.
Aku berjalan menuju meja dengan plang tulisan 'SECRETARY'. Seorang wanita dengan penampilan bak model tersenyum ramah dan menyilakanku duduk. Ia sebutkan namanya Rima sebagai sekretaris Mr. Leo.
Aku sampaikan tujuanku kepadanya. Praktis, aku sudah tiga kali mengulang kalimat yang sama. Kepada satpam, pegawai front office, dan sekarang kepada sekretaris direktur yang aduhai cantiknya.
Aku membayangkan, pasti direktur yang terhormat, Mr. Leo Satria, akan sangat kerasan bekerja di kantor. Setiap hari memandang yang cantik-cantik dan segar-segar.
"Good morning, Mr. Leo. There is Miss Kamila from VeBest Company." Ucapan sekretaris cantik itu bagai bunyi detik jam yang awalnya lambat, sekarang semakin cepat.
"Ibu Kamila, mari saya antarkan," ucap sekretaris yang membuat kegelisahanku semakin menjadi.
Aku berdiri dan mengikuti langkahnya ke sebuah pintu yang tertutup. Miss Rima mengetuk pintu, terdengar sahutan mempersilakan masuk dari dalam ruangan. Deg, aku merasa bakalan pingsan kalau tetap dalam kondisi ini.
"Silakan masuk, Ibu Kamila," ucap Rima, sekretaris cantik, setelah ia membukakan pintu ruangan Mr. Direktur yang terhormat.
"Terima kasih, Miss Rima," ucapku dibalas anggukan ramah.
Aku melangkahkan kakiku untuk masuk ke ruangan itu. Suara langkah dari sepatu hak tinggiku sekarang terdengar lebih nyaring dari biasanya. Baru kali ini telingaku begitu awas. Tampak lebih jelas, seperti suara detak jantungku yang semakin cepat.
Pintu segera ditutup dari luar. Sekarang sepasang mata kami saling menatap. Cukup lama dari pertemuan kami sebelumnya. Pertemuan kemarin seperti diburu-buru. Namun, kali ini kami seperti bebas ingin melakukannya.
Cukup lama tubuh kami mematung. Aku masih berdiri, Mr. Leo masih duduk di kursi empuknya. Belum ada satu kalimat pun keluar dari mulut kami. Namun, mata kami sudah mengungkapkan semuanya. Kerinduan.
Suara ketukan pintu mengagetkan kami berdua. Aku terlonjak kaget, spontan memegang dadaku. Sedangkan Leo terlonjak dari kursinya, juga spontan memegang dadanya. Momen lucu itu membuat kami berdua menahan tawa.
Tampak Miss Rima membuka pintu. Sebentar ia memandang ke arahku karena aku masih dalam keadaan berdiri. Ia tersenyum dan menyilakan aku duduk.
Seperti orang bodoh, aku mengikuti arah tangannya ke kursi tepat di depan Mr. Direktur. Aku duduk sembari pura-pura sibuk mengeluarkan berkas yang aku bawa dari kantor.
Setelah Miss Rima undur diri dan disambung ucapan terima kasih dari bibir Mr. Leo, aku sudah siap dengan beberapa berkas di tanganku, berusaha bersikap profesional.
"Selamat pagi, Mr. Leo. Saya Kamila, dari perusahaan VeBest hendak menyerahkan beberapa berkas terkait kerja sama dengan perusahaan Bapak." Aku menyerahkan berkas yang sudah aku siapkan di hadapannya.
Leo menerima berkas itu. Ia mengambil kacamata yang tergeletak di sampingnya. Sepertinya kacamata itu untuk membantunya membaca. Aku tak pernah tahu kalau matanya minus karena dulu aku tak pernah melihatnya mengenakannya.
Leo membuka berkas yang kuberikan. Selagi ia sibuk meneliti sekilas berkas yang kuberikan, aku menikmati wajahnya yang semakin tampan. Dengan kacamata itu, aku seperti bukan melihat seorang Leo, malah lebih mirip seorang artis sinetron.
Dengan wajahnya yang tegas, sepasang alisnya yang seperti barisan semut hitam menaungi kedua matanya yang tajam, tak kulihat banyak perubahan pada dirinya. Hanya, ia tampak lebih berisi dengan tubuh yang masih proporsional untuk pria dengan tinggi 180 cm lebih.
"Sudah puas memandangku, Kamila? Lebih tampankah?" Aku kaget, bagai seorang anak kecil yang tertangkap basah mencuri rambutan tetangganya.
"Emm, emm, sorry, Mr. Leo?" Aku pura-pura tak mengerti maksud pembicaraannya.
Sepasang mata elang yang selalu kukagumi jika sedang memandang itu, sekarang sedang lekat menatapku. Beberapa detik sepasang mata kami bertemu. Lalu ia berdiri, beranjak dari kursinya, dan berjalan ke arahku.
Saat ini ia berdiri di sampingku. Leo membungkukkan badannya. Aku bisa merasakan nafasnya di tengkukku. Tak ada pergerakan sama sekali dariku. Tubuhku seperti kaku, sedang getaran hatiku semakin hebat.
Kedua tangan Leo menyentuh pegangan kursi dan menggerakkannya tepat di hadapannya. Saat ini aku tepat beradu muka dengan Mr. Direktur terhormat, memejamkan mataku. Aku bisa merasakan nafas hangatnya.
"Kamila, buka matamu," ucapnya pelan.
Perlahan aku buka mataku. Mata kami bertemu, tetapi ini lebih dekat, bahkan sangat dekat. Leo bahkan mengangkat daguku, sepasang mata kami hanya berjarak beberapa centi.
Tangannya sekarang bermain di rambutku. Ia selipkan rambutku di telinga. Tak ada satu kata pun yang keluar dari mulutku, selain menikmati setiap sentuhan tangannya.
"Mengapa kau mengabaikan pesanku?" ucapnya nelangsa.
"Tahukah kau kalau aku rindu?" Kedua mataku mulai mengembun.
Seandainya ia tahu, aku pun merasakan hal yang sama. Aku juga rindu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kamila
General FictionKamila adalah seorang gadis berusia 35 tahun yang dituntut untuk menikah. Cintanya pada seorang pemuda bernama Leo membuatnya bersikukuh untuk mempertahankan cintanya. Namun, di suatu waktu, ia terpaksa harus menerima perjodohan itu karena ibunya ya...