Part 20

2 0 0
                                    

Namun, aku tak yakin dengan apa yang Mbak Siska ucapkan. Mas Aji orang yang cukup ekspresif. Ia pasti akan tunjukkan rasa kecewanya saat ia tahu aku bersama Leo sore itu.

"Mbak Siska yakin Mas Aji lihat saat aku masuk mobil Leo?" Mbak Siska mengangguk.

"Sudahlah, Mila. Leo hanya masa lalu. Bukan Mbak Siska merendahkan posisi kamu. Namun, kalau kita mau sadari, kita jauh di bawah sosok Leo." Aku kembali teringat perlakuan papa Leo saat itu.

Aku bukan wanita yang pantas bersanding dengannya. Namun, aku juga sangat berharap bisa memilikinya, menjadi cintanya selamanya. Namun, ungkapan orang-orang di sekelilingku seperti memaksaku untuk membuka mataku yang selama ini buta karena cinta.

Leo seorang pria yang sempurna dengan segala yang ia miliki. Fisik dan ketampanan, harta berlimpah, dan jabatan yang menggiurkan menjadi magnet bagi setiap wanita untuk berlomba-lomba memilikinya. Jujur, salah satunya aku.

Dengan apa yang sudah terjadi dan sudah aku berikan, aku berharap Leo bisa memperjuangkan cinta yang selama ini aku rasakan. Dengan pembuktiannya untuk menikahiku, seharusnya sudah menjadi sinyal bagiku untuk tetap melabuhkan hatiku untuknya.

"Tapi, Mbak, bagaimanapun aku harus berpisah dari Mas Aji." Seperti ada yang menekan dada saat aku mengucapkan itu.

"Masalah sebesar apa sehingga kamu berpikir seperti itu, Mil? Kamu tidak ingat bagaimana perlakuan Aji kepadamu? Semua orang bisa menyimpulkan bahwa ia mencintaimu, Mila." Suara Mbak Siska mengalun seperti memintaku untuk berpikir ulang atas keputusanku.

"Mas Aji memperlakukankh dengan baik karena ia tidak ingin ada pembicaraan miring tentang kami. Sesungguhnya tidak ada cinta antara aku dengan Mas Aji. Semuanya palsu! Mas Aji bahkan sudah mengingatkan aku untuk tidak terlalu berharap dengan hubungan ini. Bahkan kami sepakat untuk menyetujui perjodohan ini karena kami tidak ada cara lain untuk membuat dua keluarga berbahagia karena bersatunya kami." Mbak Intan mengamatiku berbicara.

"Kalian dijodohkan?" Aku mengangguk.

"Mas Aji laki-laki baik, Mbak, dan aku enggak ingin mengecewakan Mas Aji, terlepas dia mencintaiku atau tidak."

"Apa maksudmu, Mila?" tanya Mbak Siska, wajahnya mengandung tanya.

Obrolan kami berakhir saat waktu sudah menunjukkan hampir pukul empat sore. Saat masuk ruangan, aku lihat melalui kaca kantor, Mas Aji sudah mengobrol dengan Pak Udin di luar sana.

Beberapa waktu aku memerhatikan Mas Aji. Begitu baiknya ia dengan banyak orang, terutama denganku. 'Maafkan aku, Mas Aji,' ucapku dalam hati.

Pandangan Mas Aji kemudian mengarah ke ruanganku. Ia bisa melihatku dari sana. Ia lambaikan tangan, tampaknya bahagia sekali melihat calon pengantinnya yang sebentar lagi akan menghujamkan belati, tepat di jantungnya.

Tepat saat Mas Aji melambaikan tangannya, kulihat mobil Leo datang dari luar kantor dan mengambil parkir di halaman kantor. Leo keluar dari mobil dengan penampilan yang elegan dan penuh percaya diri. Ia menghampiri Pak Udin, tentu saja ada Mas Aji di situ. Seketika bisa kulihat Mas Aji menurunkan tangannya lalu mengalihkan pandangnya pada Leo.

Aku mulai gelisah dengan momen yang tak bisa kujangkau dari atas sini. Sedangkan aku lihat Mas Aji sudah beranjak pergi dari ia berdiri. Tak lama, mobilnya melesat menjauh pergi. Itupun yang akan terjadi pada kisah ini.

"Kamila! Nih, Oom Udin!" Seru Erin sambil mengarahkan gagang telepon, lalu Erin kembali membereskan mejanya.

"Iya, Oom. Baik, terima kasih." Informasi bahwa di bawah ada Leo baru aku terima.

***

Aku sudah berada di depan rumah asri nan hijau. Setiap kali ke sini, selalu ada rasa nyaman yang aku sendiri tak tahu dari mana datangnya. Mungkin juga pengaruh orang-orang yang tinggal di dalamnya, penuh kehangatan.

Kutekan bel dengan ragu. Suasana tampak sepi di luar, seperti tak ada orang di rumah. Hanya suara burung gereja yang berkicauan, juga deru suara kendaraan di depan rumah.

Setelah beberapa waktu menunggu, sebuah mobil innova putih masuk halaman rumah. Kaca mobil diturunkan dan langsung kulihat wajah semringah ibu Mas Aji dari dalam mobil.

"Hai, Kamila!" Lambaian tangan seorang ibu dari lelaki yang rencananya akan menikah denganku.

Aku tak bisa membayangkan bagaimana senyum itu akan memudar dan berubah menjadi sebuah kebencian. Lagi-lagi, dadaku sesak membayangkan ini.

Ibu dan bapak Mas Aji turun dari mobil, disusul seorang perempuan cantik yang sedang menggendong seorang bayi di belakang kemudi. Aku berdiri agak bimbang, sedangkan ibu Mas Aji gegas menghampiriku. Kucium punggung tangan beliau dan cium pipi kanan dan kiri. Tidak ketinggalan, ibu Mas Aji memelukku setelahnya.

"Lho, Kamila sendirian? Kok, di luar? Mana Aji?" tanya Ibu saat melihatku seorang diri.

"Kamila ke sini mau bertemu Mas Aji, Bu. Ada hal yang ingin Kamila bicarakan," ucapku dengan senyum yang menyimpan kecewa pada diri sendiri.

"Ini Mbak Kamila?" Seorang wanita dengan bayi dalam gendongannya menyapaku.

"Hai," sapaku, aku melihat ibu Mas Aji seolah bertanya.

"Hehe, aku Laras, Mbak. Adiknya Mas Aji," jawabnya, lalu menunjukkan seorang bayi mungil berbandana kuning dengan hiasan bunga matahari, "ini Melody, Tante."

"Halo, Cantiikkkk," ucapku gemas sambil memandangi bayi mungil yang sedang tidur dalam gendongan.

"Ayo, dong, Tante, buatin aku teman, biar aku enggak main sendirian," sahut Laras dengan kata-kata agak dicedalkan.

"Sebentar lagi," ucap Bu Burhan tersenyum memandangku.

"Halo, Kamila. Lho, mana Aji?" tanya Pak Burhan yang baru memasukkan mobil ke garasi.

"Justru Kamila ke sini mau ketemu Mas Aji, Pak," ucapku mencium punggung tangannya.

"Oh, coba Bapak telepon Aji." Pak Burhan mengambil ponsel dari wadah HP yang terikat di tali pinggangnya.

"Yuk, selagi Bapak telepon Aji, sekarang kita masuk. Di luar panas," ucap Bu Burhan membukakan pintu yang tadi terkunci.

Aku duduk di ruang tamu ditemani Larasati. Baby Melody sudah dibaringkan di dalam kamar. Bapak dan Ibu Burhan pamit ke belakang. Bapak menemani Ibu Burhan minum obat yang harus dikonsumsi karena sakitnya. Niat Mas Aji membahagiakan ibunya hampir sama denganku. Kami memiliki alasan yang sama yaitu membahagiakan orang-orang yang kami cintai.

Mengobrol banyak dengan Larasati cukup seru. Laras ternyata satu kelas dengan mama Yosan, tetanggaku, yang belum lama pindah ke Kotabumi dari Bandar Lampung. Rupanya, mereka teman satu bangku dari kelas satu sampai kelas tiga.

"Mbak Kamila punya nomor telepon Indah? Aku kehilangan kontak dengannya setelah dia menikah, Mbak." Aku ambil ponselku dan meminta nomor Larasati sebelumnya, kusimpan di kontakku.

"Sudah Mbak kirim nomor Indah." Gegas Laras mengambil ponselnya di kamar setelah ucapkan terima kasih dan berencana akan menelepon Indah, sahabatnya kala SMA.

Tak lama kemudian, aku mendengar suara mobil masuk ke halaman rumah. Sepertinya Mas Aji pulang setelah ditelepon Pak Burhan. Aku menunggunya di dalam dengan gusar.

Mendengar suara pintu mobil yang ditutup makin membuat jantungku makin berdetak hebat.  Hanya tidak tahu apa kalimat yang harus aku ucapkan saat melihat wajah Mas Aji. Suara langkah kaki terdengar dan aku melihatnya sudah berdiri di ambang pintu.

Wajahnya begitu kusut, kemeja tidak dimasukkan, tidak ada ekspresi yang biasa ia tunjukkan kala bersamaku. Mas Aji tidak bilang apapun, tetapi seolah kami tahu apa yang ada dalam pikiran masing-masing.

"Mas," sapaku.

"Hai, Kamila. Sudah lama?" Ia hanya menatapku sekilas, seperti abai akan keberadaanku. Baru kali ini aku melihat Mas Aji bersikap seperti ini.

"Kita harus bicara," ucapku.

"Menurutmu masih ada yang harus dibicarakan? Aku sudah bicara dengan Nindy. Mengurungkan niatku untuk minta bantuannya menjadi WO." Ucapan Mas Aji membuat dadaku sesak.

Mas Aji sudah membaca apa yang akan terjadi. Buah dari keegoisanku sudah mulai ditunjukkan satu per satu. Dimulai dari Mas Aji.

KamilaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang