Part 27

2 0 0
                                    

Untuk beberapa waktu, aku masih bisa bersantai dan mempersiapkan segala sesuatu setelah jadi pengangguran. Bagi sebagian besar orang, pasti sangat menyayangkan harus melepaskan pekerjaan yang didambakan banyak pencari kerja. Gaji yang besar, perusahaan yang kokoh dengan brand ternama, bahkan untuk menjadi salah satu pegawai di perusahaan inipun harus melalui seleksi yang ketat.

Malam hari biasanya aku masih berkutat dengan seabreg pekerjaan. Namun, kali ini aku bisa menikmati drama yang menjadi salah satu hobiku saat masih sekolah dulu, drakor Full House dan dracin F4.

Seduhan teh panas yang kubuat kusesap perlahan. Ada sepiring donat yang aku beli di pinggir jalan. Masih hangat, enak untuk dinikmati. Aku merasakan 'me time'-ku untuk beberapa saat

Suara ketukan pintu membuatku beranjak dari sofa empuk yang nyaman. Suara salam di luar sana sangat kuhapal siapa pemiliknya. Gegas aku berjalan dan membuka pintu.

"Mas?"

"Boleh aku masuk?" Aku mengangguk dan menyilakannya duduk.

"Mas Aji mau kubuatkan kopi atau teh?" ucapku basa-basi. Padahal aku tahu, pasti pilihannya jatuh ke kopi.

"Teh panas," jawabnya tak kusangka.

Setelah selesai membuatkan teh hangat, kuletakkan juga sepiring donat yang masih tersisa beberapa. Aku mengambil posisi duduk di depannya. Agak canggung sedikit.

"Mana Yoan, Mas? Coba ajak main ke sini," ucapku basa-basi.

"Ah, sudahlah, jangan membahas  Yoan," sergahnya. Mas Aji memperbaiki posisi duduknya, lebih condong ke arahku. Ada getar halus yang tak bisa kugambarkan.

Mungkin ada perasaan bahagia bisa melihatnya lagi. Seseorang yang kuanggap sebagai kakak dan sekarang kembali bersua.

Setelah kami mengobrol sana-sini dan banyak bercerita tentang waktu saat kami tak lagi bersama, Mas Aji mulai menunjukkan wajah seriusnya. Ada sedikit canggung, tetapi aku menunggunya bicara.

"Kamila, apakah kamu bahagia?" Cukup aneh dengan pertanyaan itu, aku menautkan erat bibirku.

Ingin rasanya jujur dan berkata apa adanya. Menceritakan semua tentang Leo, kecelakaan itu, dan semua cerita yang pernah terjadi dalam hidupku. Namun, apakah itu tidak apa-apa?

"Tampaknya tidak." Mas Aji menjawab pertanyaannya sendiri.

"Aku saat ini sedang tahap berusaha bersyukur dengan apapun yang kumiliki, Mas," jawabku akhirnya.

Aku mencoba menutupi tetapi topengku baru saja dibuka. Mas Aji paling tak suka wajah yang pura-pura. Ia dulu seringkali menyindir jika aku tersenyum padahal sedang menangis. Menurutku, dia paling tahu bagaimana perasaanku saat aku sendiri tak menyadarinya.

"Banyak hal yang sudah terjadi. Aku belajar dari semuanya."

"Ini maksud kedatanganku kemari," ucap Mas Aji lagi.

"Maksud Mas Aji?" tanyaku.

"Aku menyayangimu." Mas Aji mengucapkannya dengan serius, karena aku tahu maksudnya bahwa rasa sayangnya padaku seperti sayang seorang kakak kepada adiknya.

Aku tersenyum. Namun, ia tak membalas. Aku semakin serba salah dan salah tingkah, sedangkan kedua netranya memandang tajam tanpa ampun.

"Mas Aji menyayangi Kamila seperti halnya seorang laki-laki menyayangi orang yang dikasihinya." Mas Aji menegaskan kalimatnya, aku kaget mendengarnya.

Mas Aji tidak pernah mengungkapkan apapun dulu. Kalimatnya yang belum bisa terisi oleh wanita lain, juga hatiku yang dulu masih terikat dengan seorang Leo, membuat kami berdua menyadari tak boleh terlalu jauh mengungkap rasa.

KamilaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang