Part 14

5 0 0
                                    

Mendengar kalimat yang diucapkan oleh Pak Burhan, serasa momen besar itu sebentar lagi akan aku jelang. Menjadi pemeran utama dalam kisah dongeng yang dulu pernah aku cita-citakan. Bedanya dengan cita-citaku dulu adalah aku akan dilamar oleh pria tanpa ada perasaan cinta.

Kutoleh sebentar laki-laki yang bakal menjadi suamiku. Ia sedang fokus menyetir. Jujur, aku lebih suka menganggapnya sebagai kakak laki-laki yang tak pernah kumiliki. Namun, itu bukan yang dimaui orang tua kami. Menjadi pasangan suami istri dalam ikatan pernikahan adalah harapan dan impian mereka, bukan impian kami berdua.

"Sudah pandanginnya?" Aku gelagapan, ternyata ia menyadari aku sedang memandangnya.

"Ganteng enggak?" tanyanya.

"GR banget!" Aku mencelos, beralih pandangan ke jalanan yang padat jika akhir pekan.

Mas Aji memang lucu dan jahil, seperti kata ibunya. Beberapa waktu mengenalnya seolah tiada terasa bahwa sebentar lagi ia akan datang melamarku, sebagai tradisi untuk meminang seorang gadis yang kelak akan menjadi istrinya.

"Makan dulu, ya. Pasti lapar, 'kan?" tawar Mas Aji.

"Tahu aja kalau perut Mila sudah konser." Mas Aji menepikan mobil kemudian  memarkirkan mobilnya di depan restoran yang cukup ramai.

Kami memilih salah satu meja yang masih kosong. Kami memilih kursi berhadapan, sehingga bisa enak mengobrol. Kuletakkan tas di kursi sampingku. Tanpa kuduga, mataku menangkap mata seseorang yang sedang memandangku. Leo? Ia duduk selang beberapa meja dari mejaku.

Aku melengos, mengalihkan pandanganku sambil menahan getaran di hati. Aku tak salah lihat, ia Leo.

"Mas, Kamila ke toilet dulu, ya," ucapku saat Mas Aji sedang membolak-balik daftar menu yang dipegangnya.

"Kamila mau Mas pesankan apa? Seperti biasa?"

"Kamila malam ini ingin makan nila bakar, Mas. Minumnya seperti biasa," ucapku sambil beranjak dari tempat dudukku.

"Oke, bebek bakar satu, nila bakar satu, jeruk hangatnya dua," ucap Mas Aji pada seorang pelayan.

Setelah menanyakan posisi toilet wanita kepada pelayan, aku berjalan menuju toilet yang ditunjukkan. Posisinya agak ke belakang. Toilet pria dan wanita berseberangan di antara taman kecil dengan kolamnya yang airnya gemericik.

Saat keluar dari pintu toilet, aku menghentikan langkahku. Saat di seberang sana, seseorang yang juga baru keluar dari toilet pria menangkap mataku. Kami saling berpandangan beberapa waktu, hingga waktu bagai berhenti. Ia berjalan ke arahku.

"Hai, Kamila," sapanya, saat tubuhnya yang tinggi tiba di hadapanku.

"Hai,"

"Lama tak bersua. Bagaimana kabarmu?"

"Seperti yang kau lihat,"

"Ya, tambah cantik dan tampak lebih bahagia." Aku tersenyum sekedar mendengar ucapannya yang sok tahu.

"Bolehkah aku menghubungimu? Masih nomor yang lama, 'kan?" Tak ada jawaban dariku.

"Bukannya kamu yang sudah ganti nomor, demi menghindar dariku?" Aku tersenyum kecut kala dengan bodohnya dulu masih rajin mengirimkan puisi atau sekadar bertanya kabar, padahal pesan itu tak pernah sampai.

"Aku hanya ingin fokus dengan pendidikanku,"

"Oh. Oke, Leo, senang kau masih ingat padaku," ucapku seperti ada kemarahan, lebih kepada kecewa karena kepergiannya dulu yang tiba-tiba.

"Senang bertemu denganmu lagi, Kamila." Aku beranjak dari hadapannya tanpa membalas ucapannya.

Saat berbalik dan hendak berjalan, sebuah tangan menggenggam tanganku. Tak kuat, hanya debaran di hatiku begitu terasa. Debaran yang dulu sering aku rasakan jika melihatnya, juga debaran yang sama tiap kali kami sedang bersama.

"Aku merindukanmu," ucap Leo, hatiku berdesir hebat.

Namun aku tak berkata apa-apa, aku memilih pergi setelah menyadari aku di sini sedang bersama Mas Aji. Ingin rasanya aku membalas kalimatnya dengan, "aku juga merindukanmu." Namun mulut rasanya kelu, tak bisa bersuara. Bahkan aku tak paham dengan perasaanku sendiri, harus senangkah? Atau harus kecewakah? Kurasa keduanya.

"Kok, ke toiletnya lama," tanya Mas Aji, aku tergagap.

"Oh, iya, tadi ganti pantyliner." Aku tidak risih mengungkapkan hal-hal berbau soal kewanitaan, Mas Aji pasti paham karena pernah menikah sebelumnya.

"Ya sudah, mari kita makan!" ajak Mas Aji semangat.

Mas Aji mengambil setangkai daun kemangi dari piring lalapan dan memetiknya satu per satu daun kemudian di letakannya di atas piring dengan nasinya yang panas.

Aku mengambil potongan ketimun dan memakannya perlahan. Teringat jelas pertemuan tanpa sengaja tadi dengan Leo. Bukan aku tak suka sehingga lekas berlalu dari hadapannya, tetapi karena aku tak tahu bagaimana mengontrol perasaanku.

"Katanya lapar, kok, enggak makan? Malah makan ketimun?" ucapan Mas Aji membuyarkan lamunanku, ternyata ia memperhatikanku yang sedang melamun.

"Makan pencuci mulut dulu, Mas." Kutunjukkan ketimun yang sudah tergigit.

Aku hanya makan beberapa suap demi menghargai Mas Aji. Entah, mendadak aku sudah tak selera makan sejak pertemuanku dengan Leo. Perlahan, kutoleh posisi tempat Leo duduk. Ia sudah tak ada, pergi. Seperti kepergiannya dulu yang tiba-tiba.

"Kok, cuma sedikit makannya?" ucap Mas Aji mengagetkanku.

"Kalau malam, Kamila enggak banyak makan, Mas, nanti gendut," ucapku beralasan.

***

Setibanya di rumah kontrakanku yang kecil tapi nyaman, langsung Kurebahkan diriku di sofa. Mengulang kembali ingatan tentang pertemuan tadi. Leo pasti melihat Mas Aji. Bahkan dengan sikapku yang dingin, ia pasti menyangka aku sudah menggantikan posisinya dengan pria lain.

Bahkan bukan itu saja, aku malah sebentar lagi akan menikah. Bukan lagi tentang hubungan tanpa kepastian yang pernah Leo suguhkan, sehingga kemudian kami memutuskan untuk menjauh dan aku yang belum bisa move on harus dihadapkan pada kepergiannya yang tiba-tiba.

Drrrttt drrrttt

Ponsel bergetar tanda ada pesan masuk. Kuraih ponsel yang ada di dalam tas. Kubuka dengan malas, karena hari ini begitu lelah setelah seharian bekerja, kemudian langsung ke rumah orang tua Mas Aji. Baru tiba di rumah pun sudah hampir pukul 9 malam.

Kubuka aplikasi warna hijau. Sebuah nomor asing tanpa display picture membuatku penasaran ingin membuka. Mungkinkah dia?

[Selamat malam, Kamila. Ini Leo.
Lama tak bersua. Maaf jika aku terlalu lancang mengirim pesan padamu. Jujur, aku bahagia kembali bertemu denganmu. Walaupun aku harus menerima kenyataan bahwa kau sudah bukan lagi seseorang yang dulu begitu mendambakanku. Kau tampak lebih bahagia dengan hidupmu sekarang.]

Mataku mengembun. Bahagia, tetapi juga sedikit kecewa, karena ia masih sematkan kalimat sok tahunya yang ia ucapkan saat pertemuan kami tadi. "Kau tampak lebih bahagia."

Tahu apa dia dengan kebahagiaanku? Kebahagiaanku sudah pergi tetapi kini ia kembali. Memberikan harapan padaku lagi?

Pesan hanya kubaca dengan menangis, tanpa ada balasan. Biarlah malam ini aku istirahat dan bermimpi tentang kebahagiaan. Bukan memikirkan siapa yang pernah hadir kemudian pergi, atau siapa yang kelak hadir dan lalu pergi.

***

"Jangan sampai ya, menikah tanpa rasa cinta." Kata-kata Mbak Siska menghentakkanku, begitu tiba-tiba.

"Semalam dapat gosip dari teman SMA, kalau salah satu bintang sekolah yang dulunya banyak digandrungi cowok-cowok sekolah, baru bercerai dengan suaminya."

"Suaminya selingkuh?" tanya Susan penasasaran.

"Istrinya."

"Kok, bisa?" tanya Erin, aku menyimak dalam diam.

"Awalnya ia dijodohkan dengan laki-laki itu. Nah, ternyata CLBK alias Cinta Lama Belum Kelar dengan pacar dia sebelumnya. Yang cowok, teman SMA kami juga. Awalnya mereka bertemu tanpa sengaja, tukar-tukaran nomor WA, mulailah terjadi perselingkuhan itu," beber Mbak Siska.

"Awalnya saling bertukar pesan, kemudian janjian, ngobrol, eh, lama-lama sayang-sayangan." Jantungku dag dig dug, padahal bukan membicarakanku.

KamilaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang