Part 3

8 0 0
                                    

POV Leo

"Eh, Masnya biasa aja, dong, Bicaralah baik-baik. Mas ini bicara sama orang tua, lho!" ucapan wanita di sampingku agak keras menegur seorang lelaki yang bicara kasar dengan seorang ibu.

"Mbak ada urusan apa kok ikut campur? Mbak anaknya?!" ucap Lelaki Kurus itu.

"Saya bukan anaknya, tetapi atas dasar etika dan sopan santun saya menegur Mas-nya! Apa jangan-jangan Anda bukan dilahirkan dari rahim seorang wanita? Apa jangan-jangan Anda lahir dari burik kerbau? Wajar kalau Anda berlaku begini!"Aku tersenyum saat "burik kerbau" dibawa-bawa. Hampir saja tangan Lelaki Kurus itu melayang hendak menampar. Tanganku refleks menahan tangannya. Melihat tatapanku yang tajam menatap ke mata lelaki tak punya sopan santun itu, nyalinya menciut. Andai ia menantang, sekali kupukul langsung ambruk dia.

Si Lelaki Kurus berusaha melepaskan tangannya dari cengkramanku. Aku masih menahan sebagai ungkapan ancaman jika ia masih melanjutkan sikapnya yang tak tahu malu.

"Berani pukul perempuan, kamu berhadapan dengan saya!" ucapku keras dengan pandangan tajam ke arahnya.

"Mbaknya ikut campur, Mas! Mas seharusnya kasih tahu pacarnya, nggak usah ikut campur urusan orang. Ibu ini utang sama saya," ucap Lelaki Kurus agak takut.

"Berapa utangnya? Andai menagih pun, tagih dengan cara yang benar! Bukan seperti ini bicara dengan orang tua!" ucapku penuh emosi.

"Berapa utang Ibu ini?!" ulangku.

"Tiga ratus."

"Tiga ratus juta?!"

"Tiga ratus ribu, Mas." Dengan kasar kulepas cengkramanku. Buru-buru kuambil dompet dan kukeluarkan uang lima ratus ribu. Kuambil tangan Lelaki Kurus itu, "ini tiga ratus ribu saya bayar utang Ibu ini, dan ini dua ratus ribu untuk ini!"

Kutonjok wajah lelaki kurus itu sampai ia ambruk ke tanah. Aku buru-buru pergi dan tanpa sadar menarik tangan wanita di sampingku. Wanita yang sudah berdebat dengan Lelaki Kurus yang tak punya sopan santun.

Orang-orang yang berkerumun malah bertepuk tangan atas tindakan kasarku. Kudengar sayup suara Ibu berterima kasih karena sudah membantunya. Kuanggukan kepala, beranjak pergi dari tempat itu, dan masih menggenggam tangan wanita itu, membawanya pergi.

Setelah agak menjauh dari keramaian dan suasana sudah berubah tenang, kulepaskan tangan wanita itu dan mohon maaf sudah bersikap tidak sopan.

"Terima kasih, Mas, sudah membantu Ibu tadi, juga membela saya," ucapnya sedikit terengah karena lelah berlari.

"Sikapnya memang keterlaluan. Siapapun yang melihat pasti merasa jengah." Ia anggukan kepala mengamini.

Hening. Beberapa saat kekikukkan terjadi, "Baik, kalau begitu. Saya pamit dulu," ucapnya tanpa meninggalkan nama. Ia buru-buru pergi. Dengan sepatu ketsnya, ia leluasa berlari di antara kerumunan orang yang berlalu-lalang. Wanita ayu pemberani, kuingin bertemu dengannya lagi suatu hari.

Kuelus tangan kanan yang tadi kugunakan untuk menonjok wajah Lelaki Kurus tadi. Lumayan sakit. Bisa kupastikan meninggalkan lebam di wajahnya. 'Berhadapan dengan Leo sama saja berhadapan dengan preman,' ucapku dalam hati.

Teringat kenakalanku kala masa SMA. Berkali-kali Mama dan Papa dipanggil pihak sekolah karena ulahku. Mulai dari membolos, berkelahi, sampai tawuran. Setelah kelulusanku dari SMA, jiwa liarku masih saja suka terpantik.

"Selama kamu bisa bertanggung jawab dengan apa yang kamu lakukan. Papa dan Mama sudah tidak tahu lagi harus bagaimana. Masa depan kamu yang ukir, tugas kami mengingatkanmu sudah kami lakukan. Sisanya terserah padamu," ucap Papa kala itu. Ucapan Papa seolah memberikan angin segar buatku, seperti diberi kebebasan untuk berlaku semauku. Kebebasan itu yang masih aku pegang sampai sekarang.

Setelah kepergian gadis mungil pemberani, aku berjalan gontai ke arah mobilku yang terparkir di dekat kejadian. Setelah memastikan kondisi sudah mulai normal, aku berjalan sewajar mungkin agar tidak dicurigai sebagai biang kerok atas kejadian pemukulan Lelaki Kurus tadi.

"Mas!" panggil seseorang. Wah, bisa berabe jika yang dimaksud adalah aku. Artinya, ada orang yang menyadari bahwa aku adalah orang yang sudah melakukan tindak kekerasan terhadap Lelaki Kurus tadi.

Aku menengok, "Iya? Saya?"

"Iya, Mas." Seseorang berlari ke arahku sambil membawa sesuatu di tangannya.

"Ini dompet mbak yang tadi lari dengan Mas. Tertinggal di lapak Ibu Pedagang yang Mas bantu," ucap pria setengah baya.

Sebuah dompet kulit berwarna coklat dengan hiasan klasik di pinggirnya terpaksa kuterima. Lagipula, pria setengah baya di hadapanku ini seolah percaya bahwa aku mengenal wanita tadi.

"Terima kasih, Pak," sahutku, "Nanti akan saya sampaikan ke pemiliknya."

"Sama-sama, Mas." Pria itu beranjak pergi dan kembali ke lapak samping Ibu Pedagang yang dicaci Lelaki Kurus tadi.

Kondisi sepertinya sudah aman. Lelaki Kurus dan kerumunan sudah tidak ada lagi. Ibu Pedagang pun sedang sibuk melayani pembeli. Kupandangi langit sore yang jingganya tampak begitu sempurna. Perpaduan jingga terang yang hampir terkikis oleh warna gelap dari malam yang segera datang.

Setelah masuk ke mobil, aku coba membuka dompetnya untuk mencari informasi. Siapa tahu keberadaan wanita ayu pemberani pemilik dompet bisa terlacak. Tentu saja bisa. Sebuah KTP dan beberapa kartu nama cukup menjadi pedomanku untuk mencari tahu.

Kamila. Nama yang tertera di beberapa kartu di dompetnya. Melihat foto di KTP-nya, bisa kupastikan ia memang benar-benar ayu dengan wajah mungilnya. Kata orang, dari foto KTP-lah kita bisa melihat wajah sebenarnya seseorang. Dengan perawakan yang mungil dan wajah yang terawat, tak kusangka wanita ini tiga tahun lebih tua dariku. Dengan status belum menikah.

Setelah mengecek beberapa kartu, akhirnya kutemukan beberapa kartu nama atas nama Kamila dan tertera nomor telepon di sana.

'Jodoh tak akan ke mana,' ucapku dalam hati. Harapan untuk bisa bersua kembali dengan wanita ayu itu akhirnya bisa terwujud.

Sekadar iseng, menambah petualangan baru, dan bersenang-senang demi melampiaskan segala gundah adalah cara yang sering kulakukan. Namun, entah, ada sesuatu yang beda dalam sosok wanita ini.

***

Setibanya di apartemen besar yang kutinggali, kembali aku dihadapkan pada suasana sepi. Kesepian adalah sesuatu yang menakutkan. Untuk beberapa malam, aku tak membawa wanita pulang. Itu sebuah pencapaian luar biasa bagi seorang lelaki liar sepertiku.

Kuambil dompet kulit, mengambil kartu nama Kamila. Kusentuh beberapa angka yang tertera di kartu itu. Beberapa kali panggilan tak mendapat respon.

Mungkin dia tipe wanita yang suka mengabaikan nomor asing masuk ke layar gawainya. Sudah kuulang sampai beberapa kali tetap saja tak diangkatnya.

Setelah ke sekian kali, akhirnya telepon diterima, "Halo, selamat malam. Bisa bicara dengan Kamila?" ucapku. Sayangnya, tak ada jawaban sampai beberapa detik.

"Iya, halo. Betul, dengan Kamila," sahut seorang gadis datar.

"Masih ingat denganku?" Tak ada jawaban, mungkin bertanya-tanya, "Atau adakah barangmu yang hilang?"

"Ahh, iya, dompet! Aku kehilangannya tadi sore. Apakah ada pada Anda?" Bisa kubaca suaranya mulai bernada, tak sedatar tadi. 'Hai, Kamila, petualangan baru akan dimulai,' bisik otak liarku.


KamilaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang