POV Kamila
"Ahh, iya, dompet! Aku kehilangannya tadi sore. Apakah ada pada Anda?" Teringat betapa bingungnya aku saat hendak mengambil uang untuk membayar jus jeruk tadi. Hingga akhirnya Abang pemilik lapak jus memberikan gratis karena menyadari aku salah satu langganannya.
"Kau Kamila, bukan?"
Menyadari pria ini sok akrab dengan menyebut namaku, aku sudah yakin bahwa ia pasti sudah mengecek isi dompetku. Ah, dasar!
"Kau pasti pria yang memukul lelaki tak punya sopan santun tadi sore?" Terdengar tawa renyah di seberang sana.
"Bagaimana kau menemukan dompetku?" tanyaku.
"Seorang pria memberikannya padaku saat aku hendak pulang tadi. Ia memberikannya karena ia tadi melihat aku lari denganmu,"
"Sudah mirip akting di film," sahutku tanpa bermaksud bicara dengannya.
"Eh, iya juga, ya. Cocoknya adegan apa, tuh?" Lelaki ini malah balik bertanya.
"Kawin lari!" ucapku agak ketus, lelaki di telepon malah terkikik lucu.
"Baiklah Kamila, tujuan keduaku adalah hendak mengembalikan dompetmu,"suara khas baritonnya menggetarkan, "Dan niat utamaku adalah ingin bersua lagi denganmu."
Mengapa mengembalikan dompet menjadi tujuan kedua? Apa dia tak tahu repotnya mengurus surat-surat? Aku saja tadi sampai pusing dibuatnya. Lalu, megapa pilihan utama ingin bertemu denganku? Hah, apa? Bertemu?
***
Aku berhenti di depan kafe , tempat aku dan pria bersuara bariton berlari kemarin. Aku sunggingkan senyum mengingat kejadian itu.
Suasana kafe tidak begitu ramai. Hanya ada beberapa pengunjung yang sedang menikmati santapannya. Aku sengaja mengambil tempat outdoor agak pojok. Dari sini, aku bisa melihat pemandangan di bawah sana.
Aku dan pria itu berjanji di sini. Aku menunggunya menyerahkan dompetku. Untuk bertemu lagi dengannya, itu poin kesekian. Aih, bukankah aku juga menginginkannya?
Perbukitan di pinggiran kota yang ramai dimanfaatkan para warganya untuk membuat restoran, toko marchandise, dan butik. Orang-orang yang berkunjung di sini, biasanya mengambil momen melihat pemandangan sambil menikmati makanan bersama orang-orang tersayang.
Tak jauh dari sini, sekitar 50 meter, ada sebuah tempat wisata taman bunga, juga wisata hutan pinus yang banyak dikunjungi orang dari dalam dan luar daerah. Selain itu, masjid di atas bukit dengan kubah emasnya dengan beberapa ornamen khas daerah setempat, juga menjadi ikon yang wajib dikunjungi.
Seorang pria dengan tampilan atasan kaos warna navy dan jeans biru masuk ke area kafe. Beberapa pengunjung wanita kulihat berbisik dengan tatapan memesona. Alih-alih membalas pandang, lelaki yang kuketahui sebagai seseorang yang menarik tanganku seperti dalam film romantis era 90-an, malah justru mengedarkan pandangannya mencari posisi mejaku.
Perawakannya yang gagah dengan kombinasi ketampanan wajah yang sempurna, wanita mana yang tak langsung bertekuk lutut? Apa aku membicarakan diriku sendiri? Karena orang yang sedang jatuh cinta itu, tak lagi melihat cela. Ah, sudahlah. Saat ini aku hanya sedang memuji makhluk Tuhan yang sangat tampan ini.
"Hai," sapaku.
"Leo, namaku Leo," jawabnya setelah ia menyadari ekpresiku yang seolah ingin tahu namanya.
"Hai, Leo, aku Kamila."
"Aku sudah tahu," ucapnya, "dari kartu-kartu di dompetmu," ucapnya terkikik.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kamila
General FictionKamila adalah seorang gadis berusia 35 tahun yang dituntut untuk menikah. Cintanya pada seorang pemuda bernama Leo membuatnya bersikukuh untuk mempertahankan cintanya. Namun, di suatu waktu, ia terpaksa harus menerima perjodohan itu karena ibunya ya...