Part 8

3 0 0
                                    

POV Leo

Kepulanganku ke rumah seolah menambah kepenatan pikiranku. Mama dan Papa masih memaksakan kehendaknya untuk melanjutkan perusahaan multinasional yang dikelola Papa.

Sebagai satu-satunya pewaris perusahaan dan kekayaan Papa yang lain, aku dituntut untuk memiliki kecakapan yang dimiliki olehnya. Beban yang harus aku pikul untuk memenuhi segala ekspektasinya padaku.

Saat beban meraja dalam diri, apa lagi kalau tidak lari pada kebiasaan burukku. Setelah menghabiskan waktu di bar, dengan setengah sadar aku menghubunginya.

Perempuan yang menemaniku semalam masih terlelap dalam tidurnya. Aku bangun dari tempat tidurku, mengambil rokok yang ada di atas nakas, menyalakannya, dan menghisapnya di pinggir jendela.  Kupandangi lalu lalang kendaraan yang berjalan di bawah sana. Di antara hamparan gedung bertingkat, aku bagai makhluk kecil di antara miliaran manusia yang masuk pada golongan pendosa.

Sepasang tangan memelukku dari belakang. Aku toleh sebentar tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Shelly, Shelly Marantika, teman semasa kuliah di Surabaya. Baginya, bercinta sama halnya denganku. Melepaskan penat atas permasalahan hidup yang mendera. Shelly adalah seorang gadis yang tumbuh dalam ketidakbahagiaan keluarga yang broken home. Mengenal dunia malam sejak SMA, bahkan menurut ceritanya, ia sudah serahkan kehormatannya pada pacar pertamanya.

"Sudah bangun?" tanyaku setelah kuhisap dalam rokok yang sudah tinggal setengah. Kukeluarkan membentuk bulatan-bulatan bagai lingkaran permasalahan yang tak punya sudut untuk berhenti.

"Ya, seperti yang kau lihat," sahutnya, kemudian ia renggangkan pelukannya setelah mengecup punggungku.

Tak lama terdengar suara shower yang dihidupkan. Biasanya setelah membersihkan diri, Shelly langsung pergi. Ia tidak akan pernah menuntut apa-apa setelahnya. Toh, ini demi kesenangan. Kami sama-sama menikmatinya.

Sedangkan di hadapan Kamila, aku adalah laki-laki yang tak ada cela. Ia tak menyadari, pria yang ia cintai adalah seorang laki-laki brengsek. Bahkan, untuk menyentuhnya saja aku begitu tak ingin. Itu seperti mencoreng dahinya yang selama ini hidup lurus dan normal.

Kamila tidak masuk dalam golongan ini. Ia wanita yang harus dijaga kehormatannya. Untuk itulah, beberapa hari ini aku terpikir untuk menjauh darinya. Aku bukan laki-laki yang pantas dicintai. Bukan pula laki-laki yang pantas untuk masuk dalam lingkaran kehidupannya. Aku tidak setega itu untuk menjadi bayang-bayang gelapnya.

***

"Baik Kamila, sesuai maumu, cukup sampai di sini," ucapku malam itu. Aku menuruti maunya, kalimat yang seharusnya ingin aku ucapkan tetapi berat akhirnya keluar dari mulutnya.

Artinya ia sudah siap. Kalimat itu memang sengaja ia ucapkan untukku malam itu. Malam saat ia menuntut kepastian dariku. Maaf, aku tak bisa memberikannya. Memberikan kepastian sama saja menuntunnya dalam gelap kehidupanku. Kalimat yang ia dan aku ucapkan sudah cukup jelas. Sudah, cukup sampai di sini.

Walau akhirnya aku seperti tak rela jika ia harus pergi. Hingga sebuah kebodohan  menghinggapi otakku yang brutal. Tak habis pikir, malam itu mobil kubelokkan di sebuah hotel hanya untuk membuktikan tuntutannya yang tak kupahami.

Bukan, Kamila bukan wanita seperti itu. Sikapku malam itu semakin membuatnya yakin bahwa aku bukan laki-laki terbaik menurut versinya.

"Terima kasih, terima kasih sudah hadir dalam hidupku walau sebentar," ucapnya untuk yang terakhir.

"Aku yang berterima kasih," sahutku. 

Kukendarai mobilku dengan dada yang bergemuruh. Kutepikan mobil di sebuah jalanan sepi di hutan kota. Di situ, aku menyadari bahwa permainan yang sudah aku ciptakan untuk gadis itu harus kuakhiri. Walaupun sebenarnya mendadak ada ruang hampa yang seketika menyiksa di dalam sini.

KamilaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang