Leo? Apakah itu dia? Aku menyipitkan kedua mataku. Pria berbalut jas formal, dengan tubuh yang bisa dibilang agak berisi dibandingkan Leo yang aku temui terakhir kali. Bisa jadi bukan dia, pikirku. Namun, ada orang yang pernah berkata, kalau setiap kita memiliki 7 kembaran di dunia tanpa ada ikatan darah.
Sesekali pria itu ikut tersenyum kepada para tamu yang hadir. Ketika tiba-tiba mata kami bertemu, sekian detik tanpa kedip. Setelahnya ia kembali mengedarkan senyum seolah tak terjadi apa-apa. Fix, bukan Leo.
"Bukannya lelaki di belakang CEO itu mirip Leo?" tanya Erin, setelah aku yakinkan diriku bukan dia.
"Ah, sepertinya bukan," sahutku ragu.
Erin pun menyadari itu, tetapi ia ia tak tahu, tanganku sudah dingin sejak tadi. Entah karena AC ruangan ataukah dugaanku dugaanku yang ternyata melesat.
"Para hadirin sekalian, perusahaan V3BO didirikan sudah hampir dua puluh tahun. Saat ini sudah menjadi perusahaan multinasional yang bergerak di bidang konstruksi. Sudah membuka beberapa cabang lokal dan pada kesempatan yang berbahagia ini, V3BO membuka cabang baru yang secara resmi akan dibuka pada siang hari ini." Tepuk tangan riuh bersahutan dari para tamu undangan.
Tiba saatnya ketika Mr Elang Satria memberikan sambutan. Pria paruh baya yang punya jabatan CEO di perusahaan itu tersenyum ramah kepada para tamu undangan. Lelaki yang mirip dengan Leo pun tak lepas dari senyuman. Melihat posisi duduknya, kuyakin pria itu masuk dalam kalangan petinggi perusahaan.
"Seiring zaman yang begitu maju, begitupun halnya generasi akan berubah seiring waktu. Untuk itu, saya percayakan manajemen perusahaan cabang ini kepada anak muda yang biasanya pemikirannya lebih terbuka. Hadirin yang saya kasihi dan hormati, beri tepuk tangan yang meriah kepada manajer area cabang Kotabaru, Mr Leo Satria!" Deg.
Aku tidak salah dengar. Ketika semua orang bertepuk tangan begitu meriah, tubuhku seperti kaku tak bergerak. Sedang, pria yang baru saja disebutkan namanya bangkit berdiri, mengangguk kepada setiap tamu sambil menangkupkan kedua tangannya.
Aku beranjak dari keramaian ini. Erin masih bertepuk tangan sambil memandangi kepergianku. Kali ini, ia pasti paham yang terjadi. Lelaki yang baru saja disebutkan namanya adalah pria yang pernah hadir manis di lubuk hati terdalam.
Kubasuh wajahku dengan air yang mengalir di kran, menyisakan butiran-butiran air yang luruh dari wajah yang basah. Aku sudah melewatkan acara pengguntingan pita.
Tampak kepala Erin menyembul di pintu toilet. Aku memerhatikannya lewat cermin. Ia melihatku agak lama. Wajah Erin menunjukkan simpati seorang teman yang ikut merasakan bagaimana perasaanku yang tiba-tiba tersentak karena kejadian baru saja terjadi.
Erin mendekat. Ia merangkul bahuku dan masih memandangiku lewat cermin. Ia tak mengucapkan apapun, hanya elusan di pundakku seolah merasakan apa yang aku rasakan saat ini.
"Mau kembali ke kantor?" tanya Erin pelan.
"Yang penting kita sudah tulis daftar tamu," ucapnya meyakinkan, disusul anggukan kepalaku.
"Ih, lagian kenapa dibasuh mukanya? Make up-nya kan jadi hilang. Untung tadi pakai lipstik waterproofku," ucap Erin melucu, tetapi aku sudah tak ada tenaga lagi untuk tertawa.
***
"Kok, belum pulang?" tanya Erin.
"Nunggu Mas Aji," ucapku.
Untuk saat ini, sepertinya bertemu dengan Mas Aji adalah cara yang paling ampuh untuk mengurangi kegundahanku.
"Eh, panjang umur. Tuh, pangerannya sudah jemput," ucap Erin semringah setelah melihat Mas Aji melalui kaca kantor.
Kuambil tasku di atas meja. Erin mendekatiku, khawatir jika seandainya suasana hatiku masih terbawa dengan kejadian di acara tadi.
"Mil, hargai Mas Aji. Walau bagaimanapun, kalian sebentar lagi akan menikah. Masa lalu biarkan jadi masa lalu. Tak usah diingat-ingat lagi." Aku anggukan kepala dan tersenyum kepada Erin.
"Terima kasih sudah mengingatkan, Erin. Oya, maaf, karena aku kamu enggak bisa menikmati semua kudapan di pondokan tadi." Aku terkikik disambut pukulan di bahuku.
Aku meringis menahan sakit di bahuku berkat pukulannya. Saat akan membalas, aku kaget setengah mati. Pak Udin, satpam kantorku sedang meringis di ambang pintu karena melihat tingkah kami.
"Maaf, Mbak Kamila, sudah ditunggu Mas Aji di depan," ucap Pak Udin yang tetap dengan ringisan gaya khasnya.
Perlahan tangan kuturunkan demi menjaga reputasi seorang Kamila yang beretika dan penuh kesopanan. Preeet! Kuanggukan kepala lalu kuucapkan terima kasih. Aku gegas turun ke bawah dengan Erin di belakangku.
"Hai, Erin," sapa Mas Aji.
"Eh, halo, Mas Aji! Mau jemput saya, ya? Upz!" seru Erin lalu ia menutup mulutnya, Mas Aji tertawa.
Tatapan Mas Aji kemudian beralih ke arahku. Ia melihat aku yang memegang bahu dengan ekspresi kesakitan karena pukulan Erin tadi.
"Kenapa, Mila?" tanya Mas Aji agak khawatir.
"Duh, perhatiannya...," ucap Erin menggoda.
"Mas Aji, tuh, orangnya yang mukul Mila!" Mas Aji terkekeh melihat kami berdua yang kekanak-kanakkan. Pukulan Erin masih menyisakan panas di bahuku.
Mas Aji menghampiriku dan mengambil tas yang sudah sudah menggantung di lenganku, persis seperti seorang suami yang perhatian terhadap istrinya. Akting Mas Aji memang patut kuacungi jempol.
Setelah berpisah dengan Kamila di depan kantor, Mas Aji mengingatkan rencana kami sore ini. Aku hampir lupa, kalau kami berencana ke rumah orang tua Mas Aji di Pahoman, wilayah pemukiman di tengah kota yang banyak dihuni para konglomerat.
Berhubung ini pertama kalinya aku bertemu orang tua Mas Aji, tidak mungkin aku datang dengan wajah kuyu dan tanpa make-up seperti sekarang. Apalagi lipstik waterproof milik Erin sudah perlahan memudar karena makan gorengan tadi. Aku pun tak punya alat make up selengkap milik Erin yang selalu dibawa ke kantor.
"Mas, enggak apa-apa wajahku lusuh begini?" tanyaku pada Mas Aji yang fokus di belakang kemudi.
Kali ini ia sekilas menatapku. Tak berapa lama, mobil menepi. Aku sedikit bingung, mobil Mas Aji berhenti di depan salon dengan plang besarnya, Salon Dewi Beauty.
"Ayo, turun," ucapnya.
"Memang aku mau ke salon, Mas?" Mas Aji mengangguk.
"Wah, aku diajak ke salon, nih! Baik banget Mas Aji," pujiku pada sosok di sampingku, sedang yang dipuji senyam senyum saja.
Seorang wanita menghampiri kami. Setelah menyampaikan maksudku, aku dipersilakannya duduk di sebuah kursi kosong. Mas Aji memilih mengambil majalah ada di rak salon. Ia angkat kaki kanannya di atas kaki kiri sebagai penyangga, membuka majalah itu dan mulai fokus membaca.
Hampir semua pengunjung salon beserta pegawainya adalah perempuan. Namun, Mas Aji merasa tidak risih. Ia cuek saja membolak-balik majalah di tangannya.
"Suaminya sabar banget, ya, Mbak," ucap pegawai salon, hampir saja aku tak menyadari bahwa yang dimaksud mbak pegawai salon adalah Mas Aji. 'Tetapi dia bukan suami saya,' ucapku dalam hati dan urung kusampaikan.
"Padahal banyak suami paling malas kalau menunggu istrinya di salon, diajak belanja. Mbak beruntung banget, ya. Sudah suaminya ganteng, sabar. Wah, suami idaman banget!" Kok, si mbak yang malah tampak gemas.
Padahal, sih, kami sedang bersandiwara. Beruntungnya, yang diajak bersandiwara memang jago akting. Lagipula kalau tidak akan bertemu dengan orang tuanya, mana mau Mas Aji mengajakku ke salon. Jadi, mumpung sedang momen dia sedang baik, kuambil kesempatan itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kamila
General FictionKamila adalah seorang gadis berusia 35 tahun yang dituntut untuk menikah. Cintanya pada seorang pemuda bernama Leo membuatnya bersikukuh untuk mempertahankan cintanya. Namun, di suatu waktu, ia terpaksa harus menerima perjodohan itu karena ibunya ya...