Part 16

3 0 0
                                    

Seandainya ia tahu, aku pun merasakan hal yang sama. Aku juga rindu.

Kerinduan ini seperti menumpas habis pertahananku saat ini. Bahkan, ia tidak memberikan kesempatan padaku untuk sekadar berpikir jernih. Hanya ada perasaan menggebu yang melampaui alam bawah sadar.

Air luruh dari kedua sudut mataku. Ungkapan kerinduan yang tak perlu aku sampaikan dengan kata-kata. Ia bisa merasakannya.

Leo mengusap air mataku lembut. Aku melihat matanya pun mengembun. Spontan kuusap lembut pipinya. Kurasakan agak sedikit kasar karena bulu jambangnya yang sudah mulai tumbuh di rahangnya yang tegas

Dalam suasana yang hanya kerinduan yang menyeruak keluar, segalanya seolah ingin dilampiaskan detik ini juga. Tak peduli dengan apa yang terjadi nanti. Yang terpenting saat ini.

Tanpa kami tahu kapan dimulainya, bibir kami sudah saling memagut. Perasaan terlebur menjadi satu. Gairah yang tak perlu lagi diucapkan dengan kata-kata. Semua tergambar jelas dalam setiap pagutan romansa dua insan manusia.

"Leo!" Kami tersentak kaget bersamaan dengan pintu yang terbuka.

Tampak seorang pria setengah baya yang wajahnya aku kenal saat pengguntingan pita saat peresmian cabang perusahaan V3BO Kotabaru. Siapa lagi kalau bukan Mr. Elang Satria, CEO perusahaan V3BO, pejabat tertinggi perusahaan ini.

Ia menatap nanar kami berdua. Leo sudah berdiri saat pintu terbuka tadi. Saat ini, aku perlahan bangkit dari kursiku dan mengangguk ke arah Mr. CEO yang tak menunjukkan perubahan ekspresi dari pertama ia memergoki kami saat sedang berciuman.

"Hai, Papa," sapa Leo.

Aku tersadar bahwa tak salah lagi, Leo adalah putra dari pemilik perusahaan multinasional ini. Seharusnya aku sadar sejak pertama bahwa ada hubungan ayah dan anak di antara mereka berdua, yaitu dari nama 'Satria' yang sama-sama tersemat di nama belakang mereka.

Tanpa membalas sapaan Leo, Mr. Elang Satria masuk dengan bebas. Toh, ini juga perusahaannya. Namun, justru aku merasakan detak jantung yang hampir tak bisa terkontrol. Suasana terasa begitu aneh dan dingin, bahkan melebihi cerita horor paling ngeri yang pernah aku tonton.

"Papa, ini Kamila," ucap Leo pelan.

Mr. Elang seolah mengabaikan ucapan Leo barusan. Ia mengambil posisi duduk di sofa ruangan itu. Salah satu kakinya diangkat dan bersikap seolah aku tak ada. Aku dalam situasi yang membingungkan, sekaligus mengerikan.

"Sudah kau urus persoalan pajak perusahaan dengan Jhon? Kau belum mengabariku bagaimana kelanjutan kasus itu." Kaki Mr. CEO bergerak-gerak dan mengedarkan pandangan di sekitar ruangan, tetapi netranya menghindari tempat aku berdiri. Benar, aku seolah tak ada.

'Lagipula siapa dirimu, Kamila? Seharusnya perpisahan kemarin adalah sebuah keputusan yang tepat.' Leo menatapku penuh kasihan. Setengah dirinya tak rela aku diperlakukan seperti itu.

Tanpa kusangka, Leo menarik tanganku sehingga tubuhku bergerak mengikuti langkahnya. Aku mencoba menahannya tetapi ia lebih kuat.

Kami tiba di hadapan Mr. Elang. Walau aku tak memandang wajah pria terhormat di hadapanku, aku bisa merasakan pandangannya menelitiku dari ujung rambut sampai ujung kaki.

"Siapa wanita ini?" tanya Mr. Elang dengan nada tak suka.

Aku bagai terdakwa yang siap menerima tuntutan tanpa bisa membela diri sedikit pun. Bibir dan tubuhku terasa kaku di hadapannya. Hanya bisa diam seribu bahasa.

"Aku tak ambil pusing dengan siapa kau labuhkan cintamu. Aku tahu betul kau bagaimana, Leo. Wanita datang dan pergi dalam hidupmu. Maka, Papa pun tak kaget kalau wanita ini pun akan bernasib sama dengan wanita-wanita itu," ucap Mr. Elang yang masih abai dengan keberadaanku.

Mendengar penuturan Mr. CEO, sekaligus papa Leo Satria. Terbuka sisi Leo yang lain, yang baru aku ketahui hari ini. Jika wanita datang dan pergi dalam hidupnya, tentulah aku salah satu dari wanita itu. Bahkan tidak menempati bagian paling istimewa di hatinya.

"Aku mencintai Kamila, Papa," ucapan Leo baru saja mengagetkanku.

Aku tak menyangka sama sekali Leo seberani itu. Aku memandang sosoknya di sampingku. Benarkah saat ini ia sedang membela cinta kami? Benarkah saat ini ia sedang memperjuangkannya? Seorang Leo, yang bahkan memandangnya saja aku tak pantas, apalagi sampai memiliki hatinya, bahkan memiliki utuh dirinya.

"Aishh!" Mr. Elang mengibaskan tangannya, seolah kalimat yang baru saja ia dengar adalah sebuah omong kosong.

"Aku papamu, Leo! Aku mengenal dirimu. Bahkan aku akan kasihan dengan wanita ini jika tetap bertahan denganmu!" ucapnya agak keras, lalu pandangannya beralih kepadaku, "Malika, Kaila, atau siapapun namamu berhentilah untuk mencintai laki-laki ini. Masih banyak laki-laki baik di luar sana!"

"Papa!" sentak Leo.

"Kau mau menyangkal?! Nilaimu nol dalam hal percintaan, Leo!"

Leo menghela nafas, menetralisir emosi dalam dirinya. Kuyakin ia masih memandangku, masih menghargaiku. Ia menyugar rambut dengan kedua tangannya kemudian mengusap wajah dengan keras.

"Malika, eh, Kaila, aish, entah siapalah kamu. Kalau kamu merasa tidak nyaman, bisa undur diri dari hadapan saya!" Aku mengangguk dan bangkit dari dudukku.

Tangan Leo mencoba meraih tanganku tetapi seketika aku tepis dengan kasar. Aku pergi dari hadapan dua orang terhormat yang sudah berhasil menginjak-injak harga diriku. Kebodohan yang belum sepenuhnya bisa aku atasi jika berhadapan dengan Leo. Aku selalu saja jatuh ke pelukannya setiap kali ia mendekat dan aku tak pernah bisa menolak.

***

Selama perjalanan kembali ke kantor aku masih bisa menahan semuanya. Bukannya kembali ke ruanganku, aku memilih ke toilet untuk menumpahkan semua air mata yang aku tahan saat di kantor Leo tadi. Ingin rasanya teriak agar lega dada ini. Namun, aku masih tahu diri aku di mana. Yang aku takutkan semua orang akan curiga dan mencari tahu mengapa aku memilih toilet kantor sebagai tempat menangis.

Drrrrttt drrrtttt

Suara getar menunjukkan ada pesan di gawaiku. Kuraih dari dalam tas dan melihat siapa yang mengirim pesan. Leo.

[Hai, Kamila. Bisakah kita bertemu?]

Pesan dari Leo sore ini seperti mengulang kembali peristiwa dulu saat kami masih bersama. Ia sering mengirimiku pesan saat sore hari menjelang kepulanganku dari kantor. Lama aku memandangi pesan itu tanpa sedikit pun menyentuh barisan huruf untuk memberikan balasan.

Peristiwa di kantornya tadi masih terbayang sakitnya. Bagaimana perlakuan papa Leo yang notabene seorang petinggi sebuah perusahaan multinasional. Bagaimana ia bersikap dengan anak buahnya yang berjumlah ribuan, sungguh tak bisa kubayangkan. Tergambar jelas otoriter dan kesombongannya.

Pesan Leo lagi.

[Aku tahu. Sulit bagimu untuk memaafkan aku dan papaku. Namun, berikan aku kesempatan untuk menjelaskan semua, Kamila.]

Saat membaca pesan ini, tak ada niatan sama sekali untuk membalas. Biarkan ia tahu pesannya terbaca tanpa ada balasan.

Perasaanku lebih lega setelah menangis. Namun, kepalaku begitu sakit. Sepertinya karena terlalu banyak menangis, sehingga kepala terasa berat. Aku putuskan kembali ke ruangan.

Saat beranjak dari closet yang aku gunakan untuk duduk selama diam di dalam toilet, kepalaku terasa berputar. Dengan memegangi dinding toilet, aku berusaha mencapai pintu untuk membuka kuncinya. Setelah berhasil membuka kunci, aku merasa semua seolah berputar, tubuh seperti tak seimbang, semua tampak gelap, dan....

***


KamilaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang