Mas Aji mengambil posisi duduk di sampingku. Ia merebahkan tubuhnya di sandaran sofa sambil memijit keningnya. Aku bisa melihat kalau ia begitu lelah.
"Semua sudah kulakukan sesuai keinginanmu," ucapnya pelan.
Aku diam seribu bahasa. Seharusnya aku senang mendengar penuturannya. Toh, bukankah ini yang kumau? Namun, entah mengapa dadaku malah terasa sesak.
Mas Aji memperbaiki posisi duduknya. Ia menyugar rambutnya dan menutup wajah dengan kedua tangannya. Kedua telapan tangannya sekarang menjepit bagian tengah wajahnya hingga hanya kedua matanya saja yang terlihat. Kini, ia bersedekap. Sepertinya ia baru saja menetralisir suasana hatinya agar tak terlalu terbawa dengan kondisi yang sedang terjadi.
"Tugas kita sama-sama berat sekarang. Silakan kamu sampaikan sendiri pada keluargamu dan tugasku menyampaikannya pada keluargaku. Ini berat memang, tetapi lebih cepat lebih baik. Sebelum semuanya terlalu berharap dan kita kecewakan."
"Maafkan aku jika membuat Mas Aji kecewa,"
"Cukup, Kamila. Sudah tak ada gunanya kamu bicara itu. Yang utama sekarang adalah kedua orang tua kita masing-masing. Jangan pikirkan perasaanku! Toh, dari dulu aku sudah sampaikan padamu bahwa aku belum siap menerima wanita baru dalam hidupku. Tak ada yang perlu kamu khawatirkan. Aku baik-baik saja."
Air mataku menetes. Tak kusangka, karena perbuatanku berdampak seperti ini. Ini baru Mas Aji, belum kedua orang tua kami, juga semua orang yang sangat mengharapkan kami menikah. Namun, penyesalanku menjadi sia-sia.
"Mbak Kamila, maaf banget, baru aku buatin minum. Barusan Ody kebangun. Jadi nidurin dulu, " ucap Laras yang sedang membawa nampan. Aku buru-buru mengusap air mata dan menyunggingkan senyum ke arah Laras.
"Mas, Mbak Kamila disuruh minum, gih! Sudah lama, lho, Mbak Kamila nunggu Mas Aji,"
"Minum, Mil," ucap Mas Aji agak malas, sekadar mengikuti perintah Laras.
"Terima kasih, Laras, teh hangatnya. Kebetulan Mbak sedang pilek. Pas banget, nih" Kuambil cangkir yang asapnya masih mengebul. Kusesap perlahan dan kuletakkan kembali di atas meja.
"Kamu biasa berbohong, ya," tanya Mas Aji setelah Laras pamit ke belakang.
Aku agak kaget mendengar penuturannya. Mas Aji tak pernah menyampaikan hal buruk yang membuat harga diriku jatuh, seperti malam ini.
"Maksud Mas Aji?"
"Seperti kejadian baru saja. Kau bilang bahwa kau sedang pilek, padahal kau baru saja menangis?" Mas Aji menyodorkan kotak tissue, aku mengambilnya dua helai.
"Kau akan semakin menderita jika sikap ini masih kau pertahankan, Kamila! Menyembunyikan semua masalahmu dan seolah-olah kau baik-baik saja. Semua masalah tak bisa kau simpan sendiri. Kau butuh teman untuk berbagi. Kau sudah cukup dewasa untuk menentukan arah hidupmu. Bukan mengombang-ambingkan perahu hingga karam seperti sekarang.
Aku paham maksud perkataan Mas Aji.
Untunglah, aku pamit saat semua sudah tidur. Bapak dan Ibu Burhan memberikan waktu pada kami untuk mengobrol. Mereka pasti mengira kami sedang menyiapkan pesta pernikahan megah yang menjadi angan-angan mereka. Padahal tidak.
***
"Mau ditaruh di mana muka Bapak, Mila?! Kau sudah mencoreng muka Bapak di hadapan keluarga Pak Burhan!" Aku hanya bisa menunduk dalam.
Aku bisa melihat Ibu begitu terpukul dengan apa yang aku sampaikan. Air muka Bapak yang penuh emosi dengan amarahnya yang liar, juga Mbak Intan yang begitu kecewa dengan keputusanku.
"Sudah terbukti sekarang. Bu, lihat anakmu yang keras kepala ini! Mau sampai kapan dia mengikuti pikirannya sendiri dan mengabaikan orang-orang di sekitarnya?! Kamu tidak pernah berpikir bagaimana dampaknya bagi keluarga kita, Kamila?"
Aku memberikan kesempatan bagi Bapak untuk mengungkapkan kekecewaannya. Aku mengerti, ia sangat memikirkan bagaimana hubungan yang sudah terjalin erat dengan keluarga Mas Aji akan menjadi hubungan yang tidak baik. Aku tahu, saat ini ia sedang memikirkan bagaimana caranya minta maaf kepada Pak Burhan. Segala yang ada dalam pikiran Bapak adalah tentang rasa tidak enaknya, bukan tentang bagaimana perasaanku.
Suara dering telepon terdengar dari suara HP bapak. Gegas ia mengambilnya di atas nakas. Ia kenakan kaca matanya untuk tahu siapa yang menelepon. Sebelum mengangkat, sekilas ia menatap ke arahku dengan ekspresi kemarahan. Mungkin saja telepon dari Pak Burhan.
"Selamat malam, Nak Aji." Hmm, Mas Aji. Apakah ia akan menyampaikan pengkhianatan yang sudah aku lakukan hingga rencana pernikahan ini gagal?
"Iya, Bapak sudah dengar dari Kamila. Pasti berita ini sangat mengecewakan kedua orang tuamu." Sambung Bapak, tetapi lama Bapak tak membalas ucapan Mas Aji. Hanya terdengar gumaman dari hasil menyimak bicara seseorang di seberang sana.
"Baik, Nak Aji. Besok Bapak akan berkunjung ke Pahoman untuk bertemu orang tuamu. Bapak mewakili Kamila menyampaikan mohon maaf yang sebesar-besarnya jika selama perkenalan kalian ada hal-hal dari Kamila yang tidak berkenan. Semoga silaturahmi keluarga kita masih terjalin baik." Aku tak tahu apa yang diucapkan Mas Aji hingga membuat kemarahan Bapak mereda.
Bapak mengambil posisi duduk di hadapanku. Ia bersedekap seolah hendak mendakwa semua kesalahanku. Aku tak berani menatap kedua matanya. Selain karena kesalahanku, juga aku tidak pernah menatap mata tuanya sejak kejadian di masa lalu yang begitu mengecewakanku.
"Kamila, Aji baru saja menyampaikan semuanya." Bapak membuang nafas, mengeluarkan gundah yang menguras emosinya malam ini.
"Bapak minta maaf jika sudah membuatmu merasa sangat bersalah." Entah apa yang Mas Aji sampaikan hingga membuat Bapak berkata itu. Namun, untuk menanyakan kepada Bapak, aku merasa sungkan.
"Bapak dan ibumu sudah pasrah dengan segala keinginanmu. Jalan hidup, kamu yang menentukan. Bapak dan Ibu sudah tua." Bapak bangkit berdiri, disusul ibu beranjak dari ruang tamu yang dingin beberapa waktu tadi.
Tertinggal Mbak Intan. Ia sedang mengusap kepala Bayu yang tertidur di kursi. Bahkan tadi Bayu sempat menangis melihat kakeknya semarah itu.
Mbak Intan menatap kecewa. Seolah ada ribuan pertanyaan yang hendak ia sampaikan. Aku pun tak berkata apa-apa. Aku beranjak dari ruang tamu menuju teras depan.
Malam ini, bulan tampak bulat sempurna. Suara orkestra tonggeret sedang menyambut kemarau bersahut-sahutan. Aku berdiri dan melempar pandangan pada bunga-bunga yang sebagian besar masih menguncup.
Suara pintu terbuka. Kutoleh Mbak Intan melangkah keluar dan mengambil duduk di kursi teras. Ia menunggu aku berbicara.
"Maafkan Kamila, Mbak. Pasti saat ini semua begitu kecewa atas keputusan ini. Aku dan Mas Aji tidak bisa melanjutkan rencana pernikahan ini." ucapku pelan.
"Aku tidak menyalahkanmu. Aku hanya tidak mengerti padamu, Mila. Apa alasan di balik keputusanmu?"
"Aku mencintai seseorang, Mbak. Bahkan, aku sudah menyerahkan kehormatanku pada lelaki itu." Entah keberanian apa yang membuat aku berani mengungkapkan rahasia ini pada Mbak Intan.
Aku dengar suara Mbak Intan menangis. Aku mendekat ke arahnya.
"Mbak, maafkan Kamila sudah mengecewakan Mbak Intan dan semuanya. Namun, tolong, jangan sampaikan hal ini kepada Bapak dan Ibu. Mereka pasti akan sangat kecewa karena Kamila tidak bisa menjaga kepercayaan mereka." Kami saling berpelukan, menangis bersama.
"Entah ada karma apa di keluarga kita," ucap Mbak Intan lemah.
Mbak Intan seolah mengulang cerita yang ia alami. Ketika ia menikah dengan Mas Yoga dalam keadaan hamil. Sekarang, adik perempuan satu-satunya pun sudah menyerahkan kehormatannya sebelum ada ikatan pernikahan.
"Siapa lelaki itu, Kamila?" Mbak Intan bertanya di sela-sela tangisnya.
"Seseorang yang Kamila cintai dan Kamila harapkan menjadi pendamping Kamila kelak. Namanya Leo. Kamila mengenalnya hampir setahun yang lalu." Akhirnya aku menceritakan semuanya.
"Mbak hanya menunggu bagaimana ceritamu selanjutnya. Demi seorang Leo kau sudah mengorbankan kebahagiaan banyak orang. Aji pasti sangat kecewa mengetahui hal ini."
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Kamila
General FictionKamila adalah seorang gadis berusia 35 tahun yang dituntut untuk menikah. Cintanya pada seorang pemuda bernama Leo membuatnya bersikukuh untuk mempertahankan cintanya. Namun, di suatu waktu, ia terpaksa harus menerima perjodohan itu karena ibunya ya...