lembar ke-tujuh ; dipersatukan untuk saling menyembuhkan.

8.7K 1.2K 15
                                    

"Bunda

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Bunda..." Tubuh kecilnya menggigil di tengah jalanan malam. Menggumamkan nama sang bunda di bibir mungilnya.

Saat itu dirinya masih berumur sebelas tahun, terlalu kecil untuk anak-anak seumurannya yang luntang-lantung tak jelas di jalanan. Mencari pekerjaan sejak sang surya terbit hingga kini kembali tenggelam.

Pun sudah berpuluh-puluh kedai yang ia kunjungi, sambil bertanya apakah ia bisa bekerja disana. Namun, semuanya menolak. Dengan alasan dirinya yang masih kecil, atau mungkin pertanyaan yang langsung menuju ke, "orang tua kamu mana, dek?"

Raksa tak bisa menjawab saat itu. Bibirnya kelu untuk sekedar menjawab pertanyaan simpel tersebut. Raksa kecil, hanya bisa menunduk, dan berakhir diusir dengan cara halus.

.....

Badan sedikit gemetarnya terduduk di trotoar jalan. Memperhatikan beberapa mobil yang tengah melaju dengan kecepatan sedang di depannya.

"Nak..? Kamu ngapain diluar malam-malam begini?" Suara seseorang membuyarkan lamunan Raksa. Sontak Raksa menengok ke belakang, matanya menangkap sesosok nenek tua yang menatap lembut ke arahnya.

"R-raksa nyari kerja, nek," jawab Raksa seadanya.

Nenek tersebut sempat terkejut, namun rautnya buru-buru diubah menjadi tatapan lembut yang sarat akan kasih sayang. "Ikut nenek yuk. Barangkali kamu mau kerja di kedai nenek," ujarnya, Raksa sempat menatap tak percaya, namun tak luput dari senyum yang mengembang seiring berjalannya detik.

Raksa tersenyum manis, kemudian mengangguk antusias. "Ma-makasih nek!" jawab Raksa dengan senyum mengembang.

"Panggil nenek, nek Asih ya?" Untuk kedua kalinya Raksa mengangguk, "Iya, makasih nek Asih. Makasihhhh, banget." Asih tertawa melihatnya. Ia yakin, keadaan keluarga Raksa tak baik-baik saja.

Kala itu, Raksa langsung dibawa Asih ke kediamannya. Dan di saat itu juga, dirinya berkenalan dengan salah satu cucu nenek baik tersebut, Lakshya Davanka namanya. Bocah lebih tua satu tahun dari Raksa itu awalnya tak terlalu suka dengan kehadiran sosok asing di rumahnya. Apalagi saat sang nenek bilang, Raksa akan bekerja di kedainya. Sekedar membatu Asih untuk bersih-bersih warung mie nya.

.....

Iya, pertemuan Lakshya dan Raksa memang tak pernah direncanakan. Tuhan benar-benar menyatukan mereka lewat Asih yang kala itu melihat Raksa kecil dengan tubuh menggigilnya.

Dahulu, mereka hanya anak kecil yang bisa tertawa tanpa beban, bermain bebas lalu tidur dengan nyenyak di kasur empuknya.

Namun kini, keduanya sudah sama-sama beranjak dewasa. Lebih tepatnya, didewasakan oleh keadaan, didewasakan oleh luka yang tertoreh-kan pada keduanya.

Awalnya pun, Lakshya kecil berpikir "kenapa dirinya harus menemani, dan melindungi Raksa? Padahal kan dia bukan siapa-siapa nya".
Dan sekarang, pertanyaan itu terjawab sempurna. Pada intinya, mereka memang dipersatukan oleh Tuhan, untuk saling menyembuhkan.

Karena Raksa dan Lakshya— hanya korban dari ketidakadilan dan keegoisan kedua orang tua mereka.

.....

Lakshya terkekeh pelan mengingat semua memori itu.

Memori lawas saat dirinya dan Raksa— si sahabat, masih bisa tertawa lepas walau luka tak luput dari hati juga pikiran mereka.

Saat itu keduanya masih terlalu kecil untuk benar-benar mengerti apa arti perceraian dan kematian.
Namun tetap, pada akhirnya Lakshya dan Raksa hidup tanpa kasih sayang dari masing-masing orang tua mereka. Syukurnya, anak-anak kuat itu masih ingin bertahan, dengan alasan yang berbeda.

Lakshya menghela sambil sesekali tersenyum tipis. "Gue rindu kita yang dulu, Sa," gumamnya, menatap lembayung senja yang tertentang di langit luas sana. Indah, batin Lakshya.

Raksa di sebelahnya ikut terkekeh juga. "Gue juga," sahutnya, sembari melirik sebentar ke arah Lakshya.

"Gue rindu kita yang masih bisa ketawa tanpa beban, padahal masalah hidup udah menanti kita didepan sana. Gue rindu kita yang masih bisa tidur tenang tanpa mikir, 'besok nasib gue bakal baik atau buruk', dan lain-lain."

Hening, Lakshya selesai bicara. Raksa pun sedang fokus menatap kagum senja yang hadir sore itu.

"Sa..." Raksa menoleh, menatap sang sahabat di sebelahnya dengan tatapan lembut.

Bukannya jawaban yang Raksa dapat, malah manik legam milik Lakshya berembun dibuatnya. "Lho? Kok nangis, kenapa? Heh, jangan nangis dong! Nanti gue bingung mau nyogok lu biar diem, pake apa!" ujar Raksa dengan wajah paniknya.

Ah, Raksa benar-benar perusak suasana. Air mata yang tadinya jatuh jadi tersedot kembali. "Sial lo. Gue udah mau nangis malah gak jadi," sahut Lakshya sembari mengelap sudut-sudut matanya.

Raksa terkekeh pelan. "Ck, gak usah nangis. Ntar gue ketularan, bahaya." Lalu kembali terkekeh pelan.

"Tapi gue mau beneran ngomongin ini sama lo..." Kali ini Lakshya betul-betul serius, terlihat dari maniknya yang menatap Raksa sangat dalam.

Raksa tersenyum sebelum membalas tatapan dari si sahabat. "Kenapa sih? Ada apa?"

"Ngga, gue... Gue cuma takut— lu ninggalin gue. Gue takut kehilangan lu, kehilangan seseorang yang udah berhasil bikin gue bangkit," ujarnya pelan, kemudian menunduk menahan embun-embun di matanya agar tak jatuh.

Senyumnya tak Raksa lepas. "Shya... Kalaupun gue nanti pergi, jangan sedih lama-lama. Ini udah takdir gue. Lagipula, gimanapun hidupnya, siapapun orangnya, pasti bakal berakhir sama 'kan? Ujung-ujungnya kita bakal menghadap Allah juga. Cuma waktunya yang berbeda. Mati itu pasti, Lakshya..."

"Tapi gue gak sanggup liat lu pergi duluan..." Air mata Lakshya pecah. Pipinya seketika basah oleh cairan bening nan asin itu.

Raksa membawa wajah Lakshya ke hadapan nya. Sejenak, menghapus beberapa lelehan air mata yang terus-menerus keluar. "Jangan nangis. Gue pergi bukan cuma karena Allah yang sayang gue, tapi bunda juga. Ayah gue juga maunya gue pergi. Jadi kalau nanti gue pergi, nggak akan ada yang nyesel. Udah ah, jangan nangis." Detik selanjutnya Lakshya menghapus air matanya kasar. Kemudian matanya membelalak, saat cairan merah meluncur begitu deras lewat lubang hidung Raksa.

"Sa! Mimisan!"

.....

See ya next chapt!

Dear AyahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang