lembar ke-limabelas ; pelukan penenang dari ayah.

9.6K 1.1K 85
                                    

Tatapannya mengedar, mencari seseorang yang mungkin menunggunya membuka mata

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Tatapannya mengedar, mencari seseorang yang mungkin menunggunya membuka mata.

Tapi, ruangan Raksa sunyi. Tak ada seorang pun yang ada disana.
Ah, sampai kapanpun Raksa sendiri. Ia jadi ingin menemui bunda kembali.

Raksa berusaha bangkit ke posisi duduk. Walau agak kesusahan, tapi pada akhirnya ia berhasil juga.

Kemudian pandangannya menoleh kearah pintu yang terbuka perlahan. Yang Raksa tebak pelakunya adalah Khirani.

Namun tubuhnya menegang, kala perawakan Bayu yang malah terlihat jelas setelah pintu kembali ditutup.

Manik keduanya beradu. Saling mengungkapkan perasaan yang dirasakan masing-masing insan berbeda umur itu.
Namun Raksa lebih dulu memutus kontak matanya. Ia berpaling, dengan tangan yang bertaut gelisah dan bibir yang begetar. Ia ketakutan, sungguh.

Apa ayahnya akan memukulnya lagi disini?
Apa ayahnya akan mengatakan kalau ia adalah anak yang merepotkan?
Atau malah ayahnya akan menyuruhnya pergi ke dekapan bunda saat ini juga?

Tubuh Raksa sempat sedikit terlonjak, saat tautan tangannya dipisahkan oleh Bayu. Lembut, usapan dari Bayu di tangannya benar-benar cukup menenangkan.

"A-ada yang sakit? Kamu baru bangun, gak seharusnya duduk kayak gini. Baringan ya?" Agak canggung sebenarnya saat Bayu ingin mengucapkan kalimat panjang itu. Melihat tubuh dan raut si anak yang agaknya menyimpan ketakutan besar padanya.

Tubuh Raksa dibantu oleh Bayu untuk kembali ke posisi semula. Setelah benar-benar terbaring, Bayu sedikit merapihkan infus yang bertengger manis di punggung tangan bungsunya.

Lantas, hening kembali mengambil alih.

Keduanya masih cukup canggung hanya untuk bercakap ringan. Menanyakan kabar atau mungkin keadaan.

Lagi, Raksa yang masih setia menautkan jari-jarinya terlonjak kaget. "Jangan di digituin, nanti jari kamu berdarah." Untuk kedua kalinya, pria dewasa tersebut melepaskan tautan tangannya dengan lembut. Tak ada dendam, atau rasa terpaksa dalam sentuhan singkat itu. Bayu betul-betul tulus. Membuat Raksa kembali ketakutan setengah mati.

"Kamu— takut sama ayah?"
"—Kamu benci ayah?"

Kedua pertanyaan tanpa jeda cukup untuk membuat Raksa mendongak, menatap wajah sedikit berkeriput milik sang ayah, yang juga tengah menatapnya sendu.

Lantas gelengan kuat yang Raksa berikan. "Ngg-nggak. Raksa gak benci ayah. Raksa— Raksa cuma—" Elusan di kepalanya membuat perkataan Raka terhenti seketika. Ia memejam, menikmati sensasi hangat yang menjalar dari hatinya.

Ia— baru pertama kali merasakan hal ini.

Sangat nyaman.

"Kamu takut sama ayah?"

"Maaf..." Jawab Raksa cepat. Kepalanya kembali menunduk, menyesal karena tak bisa menjaga sikap takutnya yang cukup kentara. Atau mungkin Bayu yang terlalu peka?

Dear AyahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang