lembar ke-empatbelas ; jangan bawa Raksa dahulu.

9.7K 1.1K 90
                                    

Bau petrichor menyeruak, mendominasi indera penciuman Lendra yang tengah duduk di taman rumah sakit dengan tatapan kosongnya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Bau petrichor menyeruak, mendominasi indera penciuman Lendra yang tengah duduk di taman rumah sakit dengan tatapan kosongnya.

Beberapa jam lalu, hujan sempat turun, bersama awan hitam yang ikut menghiasi langit abu kala itu. Sama murungnya dengan suasana hati Lendra. Ia sempat panik, ada denyut aneh ketika kabar buruk keluar dari bibir si sulung.

Raksa hampir menyerah. Bungsunya hampir direnggut oleh Yang Kuasa.

Bersyukur, bahwa Raksa masih ingin bertahan. Masih bertekad keras untuk sekedar mendapat kata 'maaf' dari sang ayah.

Helaan nafasnya terdengar frustasi. Sedari tadi sosok Raksa memenuhi pikirannya, tak tau apa alasan jelasnya.

"Kamu nggak dingin disini?" Suara yang datang dari belakang sedikit membuat Lendra terperanjat.

Lalu setelahnya ada Nendra yang mengambil duduk tepat disebelah Lendra.

"Gak, udah pake jaket, kok."

"Abang ngapain disini? Terus Raksa sama siapa?"

Sejenak, si sulung tertawa pelan. "Ada ayah sama nenek yang jagain, gak perlu khawatir," jawab Nendra dengan tenang.

Yang lebih muda mengangguk. Kemudian keduanya larut dalam keheningan. Sibuk memikirkan satu sosok yang beberapa waktu lalu membuat mereka kelewat panik.

Lendra menoleh kearah kakaknya. "Bang, Raksa— sakit apa?" tanya itu menguap. Sempat terabaikan sekejap.

"Anemia aplasik."

"—Sama kayak bunda."

"Dan... Udah cukup parah."

Lendra tak berbohong, dirinya cukup terkejut mendengar penuturan pemuda yang lebih tua darinya ini.

Adiknya menderita. Raksa sakit. Lebih sakit dari yang ia kira.

Kini, bayangan ketika Lendra dengan brutal memukuli Raksa kala itu kembali terputar. Ah, bisakah ia menghilangkan memori yang satu ini? Karena sungguh, dirinya kalap saat itu. Emosi sudah mengambil alih seluruh tubuh dan kewarasan Lendra. Ia tak bisa mengendalikan. Yang ada dipikirannya hanya, "Gue harus mukulin orang yang ngehalangin gue."

Kembali, napas frustrasi itu keluar. Namun kali ini cukup kasar.

"Penyesalan itu selalu ada di akhir. Iya, selalu. Dan sekarang, kita ngerasain itu."

"Kita bodoh. Selama ini gak tau kalau Raksa sakit. Dia bahkan gak pernah bilang sama kita."

"—Kalau Raksa bilang pun kita gak akan peduli, Bang Ndra." Lendra menyahut. Perkataannya berhasil membungkam Nendra di tempat.

Mau bagaimanapun, di sini mereka yang salah.

Bersikap tak peduli pada seorang anak yang bahkan tak mengerti salahnya apa. Ia dibenci, tanpa tau alasan jelasnya.

Dear AyahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang