lembar ke-duapuluh empat ; Raksa bahagia.

7.2K 989 73
                                    

Dalam hening, Raksa melamun di ranjang pesakitannya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Dalam hening, Raksa melamun di ranjang pesakitannya. Semalam, bunda kembali datang ke mimpinya. Ia bilang, "Raksa, jangan lupa mengucap selamat tinggal, ya?" Hanya itu. Setelahnya bunda kembali pergi, menghilang entah kemana.

Jika ingin jujur, Raksa pun bimbang.

Seandainya disuruh memilih, jelas dirinya tak bisa. Raksa ingin menikmati lebih banyak afeksi dari keluarganya, menikmati hal yang sedari dulu ia dambakan.

Namun semakin hari, sakitnya semakin jelas. Raksa sudah benar-benar muak dengan itu semua. Ia benci. Benci saat sakit itu kembali muncul. Ia benci ketika lagi-lagi membuat banyak orang mengkhawatirkannya.

Lantas, Raksa harus apa?

"Bunda... Raksa butuh pelukan bunda..."

.....

Hari ini, giliran si sulung yang menjaga Raksa.

Jam kuliahnya pun tak padat, jadi Nendra punya banyak waktu luang untuk sekadar menemani adiknya.

Ia mendudukkan diri di samping Raksa yang tengah tertidur. Agaknya adik bungsunya itu terlelap dengan nyenyak. Ia telihat sangat nyaman dalam tidurnya.

Nendra kemudian mengambil tangan pucat Raksa dengan lembut. Lantas mengusapnya sayang dengan senyuman kecil. "Raksa... Seharusnya dari dulu Abang ngurus kamu dengan bener..."

"Seharusnya sewaktu Abang nemuin kamu di pantai dengan kondisi babak belur, Abang sadar. Andai waktu itu Abang minta penjelasan ke kamu... Ngasih kamu kesempatan untuk ngejelasin..."

"Maaf..."

"Abang sayang kamu, Raksa. Apapun yang udah Tuhan takdirkan untuk kamu, baik menetap ataupun pulang, Abang gak akan marah. Kamu berhak bahagia walau bukan di dunia..." Nendra mengucapkannya dengan lirih. Wajahnya perlahan tenggelam dalam telapak dingin itu.

Sedangkan si empu mulai terusik. Kala membuka mata, netranya menemukan sosok si sulung yang tengah mengusap sayang tangannya. Ia tersenyum. Rasanya masih seperti mimpi ketika dirinya benar-benar diterima di keluarga ini.

Dengan perlahan, ia balik menggenggam tangan sang Abang yang juga masih menggenggamnya. Tubuh Raksa masih belum memiliki banyak energi untuk bergerak. Ah, atau keadaannya yang semakin memburuk?

Nendra yang merasakan pergerakan dari si lawan, langsung memusatkan pandangannya. Melihat Raksa tersenyum, membuat senyumannya juga muncul seketika. Kendati hatinya kembali perih melihat senyuman lemah itu.

Senyuman yang tadinya secerah dan sehangat sinar matahari senja, kini terlihat benar-benar lemah.

Iya, pikiran Raksa benar adanya. Kondisi bungsu itu semakin memburuk. Tubuhnya mulai memberontak. Transfusi yang terus menerus pun tak baik bagi tubuhnya.

Raksa tersenyum, tangannya masih setia menggenggam telapak si sulung. "Abang baik, 'kan?"

Nendra dengan cepat mengangguk. "Tentu dong. Abang baik, baiiikk bangettttt. Kamu gimana? Ada yang sakit?"

Raksa membalas dengan gelengan. "Gak ada yang sakit. Cuma lemes aja. Ah— nggak, lemes banget, hehe," jawabnya pelan.

Senyuman Nendra semakin lembut. "Makanya, banyak-banyak istirahat, ya? Biar tenaga kamu bisa kekumpul lebih cepet," ujar si sulung dengan semangat. Sementara Raksa hanya mengangguk.

Sejenak, Raksa terdiam. Pikirannya tengah merangkai kalimat yang ingin diutarakan. "Abang... Kira-kira hari ini Kak Lendra sibuk nggak?" tanyanya.

Nendra terlihat berpikir. "Kayaknya sih... Nggak. Kenapa memangnya? Kamu kangen sama kak Lendra?"

Yang lebih muda tertawa, menemukan perkataan Nendra yang benar adanya. "Iya, hehe."

"—Bang, kalau sore nanti, kita kumpul ber-empat di taman rumah sakit, kira-kira bisa nggak? Raksa pengen ngeliat senja bareng-bareng..." sambung Raksa, meminta. Ia sejujurnya ragu akan diizinkan, melihat kondisi tubuhnya yang belum stabil sedari kemarin.

Kali ini Nendra terlihat berpikir serius. Raksa jadi gugup dibuatnya.

"Mmmm... Bisa aja. Tapi jangan lama-lama, ya, di luarnya. Angin sore itu gak baik. Nanti kamu makin drop," jawab si sulung dengan lembut.

Detik itu juga, senyuman lebar Raksa terpampang. Walau senyumannya terkesan lemah, tapi binar matanya tak bisa berbohong. Dirinya sangat-sangat bahagia. Ini keinginannya sedari dulu. Berbincang sembari menikmati hangatnya sinar senja yang menerpa. Ah, Raksa tak sabar.

.....

Kini ruangan cukup luas itu berisikan empat orang, dengan salah satu sebagai pasiennya.

Mulai dari adu mulut ringan, sampai perdebatan, tak bisa dihindari oleh si sulung dan juga adik pertamanya. Sangat berisik. Tapi Raksa suka, rasanya bagai benar-benar tinggal bersama keluarga yang hangat.

Si bungsu yang hanya bisa terbaring itu tersenyum sekejap, mengingat bahwa— ini adalah keluarga impiannya. Keluarga dengan penuh tawa, canda, dan perdebatan yang mengisi tiap harinya.

Raksa ingin sekali mengucap beribu syukur kepada Tuhan.

"Satu kenangan indah, yang akan Raksa rekam, dan Raksa simpan sampai akhir hayat."

.....

Cahaya senja yang menyorot menjadi sambutan mereka, kala sampai di taman rumah sakit.

Lendra dan Ayah bertugas menyiapkan alas duduk dan beberapa cemilan, sementara si sulung yang menjaga Raksa.

Setelah semuanya selesai, ketiga orang itu mulai duduk di atas alas yang sudah terletak rapih di atas rerumputan. Sementara Raksa menjadi satu-satunya yang tetap berada di kursi roda.

Sore itu, senjanya cerah. Semakin menghangatkan tubuh Raksa dengan hati yang juga sama hangatnya.

Ditemani senja, keluarga kecil itu tertawa bersama. Kendati tawa Raksa tak sekeras yang lainnya, tapi ia tetap bahagia.

Senyum Lendra yang jarang ia lihat, kini terpampang dengan nyata di hadapan wajahnya. Raut bahagia dari sang ayah, juga menjadi bukti bahwa ini semua nyata, bukan hanya halusinasinya saja.

Ketika semuanya selesai tertawa, Raksa berdeham sejenak. Yang langsung mendapatkan atensi dari ketiga insan lainnya.

Si bungsu menatap satu persatu wajah di sana. Mencoba merekam selama ia masih bisa. "Ayah, Bang Nendra, Kak Lendra..."

"—Makasih udah mau nemenin Raksa ngeliat senja di sini."

"Raksa tau, kalian pasti capek. Apalagi ayah sama Kak Lendra yang baru aja pulang. Maaf, ya, Raksa ngerepotin."

"Ayah, Bang Nendra, Kak Lendra. Makasih... Hari ini Raksa bahagia..."

"Kalau nanti Raksa pergi, jangan berhenti senyum dan ketawa, ya?"

"Kalian ber-hak bahagia tanpa Raksa..."

"Makasih udah ngurus Raksa dengan baik. Raksa bersyukur bisa dapet sayang dari kalian..."

"Ayah, Bang Nendra, Kak Lendra. Boleh minta pelukannya..?" Tanpa diminta dua kali, ketiganya kini memeluk Raksa erat.

Pelukannya sangat nyaman. Terlewat nyaman untuk Nendra. Rasanya kosong namun sarat akan kehangatan. Seakan pelukan ini adalah, pelukan perpisahan dari Raksa untuk mereka.



























Aku hampir lupa update(╥﹏╥)
Padahal part ini sudah berdebu dan terus-terusan aku revisi

Maaf semuaaaa

Aku terlalu sibuk bikin puisi untuk lomba... Nyatanya jadi ketua kelas itu ga enakk, harus bunuh diri kalau sekelas ga ada yang mau maju untuk ikut lomba dari sekolah

Maaf juga kalau part nya berantakan:(

Hope y'all enjoy!! And sorry for typo(s)!!

Stay safe, stay health yaaa!♡

Dear AyahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang