"Diraya!!!!" Tepat saat kaki Raksa menapak di lantai rumah. Suara pekikan ayah yang tampak murka tertangkap oleh kuping nya.
Tubuhnya menegang, tak lama bergetar takut.
Dengan gerakan cepat dan kasar, Bayu— sang kepala keluarga, mencengkram kuat pundak si bungsu. Tak peduli anak itu sudah meringis kesakitan dengan suara bergetar.
"Kemana aja?!!!" Sentakan itu menggema di seisi rumah.
Raksa hanya bisa menunduk. Tak bisa sekedar menatap mata sang ayah yang sarat akan amarah. Agaknya Bayu sedang kacau hari ini.
"Kalau ditanya jawab!!!!"
'plak!'
Panas menjalar. Tak menghiraukan, Bayu kembali melayangkan tamparan disertai kalimat-kalimat menyakitkan yang Raksa dengar dengan jelas.
'plak!'
"Jadi anak malu-maluin!!!!!"
'plak!'
"Mau jadi berandal, iya?!!!!"
'plak!'
"Mau bikin nama baik ayah tercoreng?!!!"
'plak!'
"Anak ngga berguna kayak kamu pergi aja!!!"
'plak!'
"Saya ngga butuh kamu, anak sialan!!!!"
Sudut bibir Raksa sudah mengeluarkan carian merah. Bayu total abai dengan ringisan yang sesekali terdengar lirih dari mulut sang putra.
"M-maaf..." Bagaimanapun Raksa tau, dirinya salah. Dengan pipi yang cukup mati rasa anak itu berucap lirih. Juga tubuhnya yang masih bergetar ketakutan.
Bayu semakin naik pitam. Tanpa manusiawi ayah tiga anak itu menyeret si bungsu dengan kasar ke kamarnya. Lantas melemparkan tubuh jangkung Raksa kedalam kamar mandi dengan keras.
Kepala bagian belakangnya terantuk dinding. Menghiraukan, Raksa malah memohon dengan sangat kepada Bayu yang sekarang sedang mengunci pintu kamar mandi dan membiarkan dirinya berada di dalam.
"Ayah!! Ayah nggakk!! Raksa mohon!! Ayah!!!" Pintu itu digedor keras. Sementara Bayu yang berada di luar me-nulikan pendengarannya.
Ini lebih baik, daripada dirinya harus lepas kendali hingga menyiksa Raksa lebih lagi.
.....
Pagi menyapa.
Matanya mengerjap, terganggu oleh sinar lampu di atas kepala yang menyoroti wajahnya.
Melenguh sejenak, kemudian tersadar bahwa dirinya masih berada di dalam kamar mandi.
Iya, itu Raksa.
Dengan pergerakan sedikit panik remaja itu mulai mencoba membuka kenop pintu.
Dan syukurlah Bayu sudah membuka kunci ruangan lembab yang Raksa tinggali semalaman ini.
Sedangkan Raksa langsung menghela napas lega.Setidaknya, sang ayah masih ada pikiran untuk membuka kunci pintu tersebut. Jika tidak, mungkin Raksa tak akan bersekolah pagi ini.
Setelah bersiap cukup lama, akhirnya Raksa siap.
Sebelum keluar, si bungsu berkaca sejenak didepan cermin. Memandangi tubuh dan terutama wajahnya yang cukup pucat.
Menghela napas pelan, kemudian memilih beranjak daripada berakhir telat. Ia tak ingin mendapat hukuman kembali setelah semalaman dikurung di kamar mandi.
Kaki panjang itu menapaki satu-persatu anak tangga. Hingga di anak tangga terkahir Raksa bisa mendengar kedua kakaknya yang sedang berbincang akrab dengan Bayu.
Tawa dan suara cerah juga aura hangat dari mereka bisa Raksa rasakan. Agak ragu untuk kembali melanjutkan langkahnya yang mungkin akan membuat suasana disana berubah menjadi suram.
Setelah bergelut cukup lama dengan pikirannya, memikirkan kemungkinan-kemungkinan yang terjadi jika dirinya muncul di hadapan sang kakak ataupun ayah.
Pada akhirnya, Raksa memilih mengalah.Anak itu memutar tubuhnya ke arah kamar mandi di bawah tangga. Lalu membuka pintu belakang dan berjalan mengendap-endap.
Setelah berhasil keluar dari rumah, Raksa kembali menghela. Entah untuk alasan apa.
Napasnya sedikit tercekat. Namun karena sudah terbiasa Raksa tak panik, mencoba tenang dan menenangkan detak jantungnya sendiri. "Tenang... Tolong ya badan, jangan bikin Raksa kambuh. Kali ini aja..." gumamnya.
Tubuhnya berjongkok sejenak ketika dirasa sesaknya sudah hilang. Raksa kembali tersenyum, lalu melanjutkan langkahnya. Seperti tak terjadi apa-apa.
.....
Tawanya menggelegar paling besar diantara ketiganya. Itu Lendra. Kakak Raksa yang paling muda.
Sementara si sulung— Ganendra hanya tertawa biasa dengan lelucon yang sang ayah lontarkan.
Di sana, mereka tertawa dengan tak sadar bahwa ada seseorang yang hilang. Lihat? Bahkan mungkin jika Raksa tak ada, keluarga ayahnya sudah lengkap.
"Yah, kita ziarah ke makan bunda ya?" Nendra membuka suara. Sementara Lendra dan Bayu langsung terdiam.
Kepala keluarganya tampak berpikir. "Yaudah boleh. Pada kangen bunda, ya?" Nendra mengangguk. Disusul Lendra yang entah kenapa raut wajahnya menjadi murung.
"Hey, jangan sedih... Nanti kita jenguk bunda, ya? Bareng-bareng!" Ayah mencoba menghibur 'bungsunya'. Namun yang didapat hanya senyuman dan anggukan paksa dari Lendra.
Tangannya tiba-tiba mengepal. Teringat Raksa yang menjadi penyebab kehancuran keluarganya dahulu.
Anak itu— Sampai kapanpun Lendra akan membenci Raksa. Yang entah sejak kapan berada di keluarganya membawa ke-sialan yang tak berujung.
Tapi hey, ayolah! Di saat itu pun Raksa tak bisa memilih ingin lahir dari rahim dan takdir macam apa!
Raksa tak bersalah! Mengapa anak itu harus dibenci dengan alasan yang tak masuk akal?
.....
KAMU SEDANG MEMBACA
Dear Ayah
De Todo❝Tujuan Raksa hidup itu cuma satu, dapetin maaf ayah. Setelah semuanya selesai, Raksa bakal pulang, ketemu sama bunda.❞ ©marchsky 29 April, 2021.