lembar ke-delapanbelas ; hidup seperti air yang mengalir.

7.5K 963 38
                                    

Seminggu berlalu, setelah hari dimana mood Raksa yang naik-turun dengan drastis bagai rollercoaster

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Seminggu berlalu, setelah hari dimana mood Raksa yang naik-turun dengan drastis bagai rollercoaster.

Kondisinya sudah cukup baik, namun tetap, selain mendapat izin diperbolehkan pulang, Raksa juga mendapat banyak wejangan dari dokter yang menanganinya.

Tak sedikit pula obat-obatan yang ia bawa pulang.
Sepertinya, harapan Raksa untuk tak kembali mengonsumsi pil-pil pahit itu harus pupus dalam sekejap.

Dan sekarang, Raksa sudah rapih dengan seragamnya. Sebenarnya Bayu tidak mengizinkan si bungsu untuk sekolah, tapi anak itu tetap bersikeras bahwa ia akan menjaga tubuhnya dan akan baik-baik saja.

Kendati ragu, namun pada akhirnya Bayu memberi izin. Tidak mudah untuk mempercayai Raksa yang sering kali menyembunyikan sakitnya.

Dengan senyum manis, Raksa mulai menuruni anak tangga yang tak banyak jumlahnya.

Menghela nafas pelan, langkah Raksa mendekat kearah meja makan yang sudah diisi suara tawa dari kedua kakaknya.

Sebenarnya masih agak canggung untuk berinteraksi dengan anggota keluarganya. Tapi bagaimanpun, Raksa harus mulai berdamai dengan keadaan.

Bayu yang sibuk bercanda dengan Lendra mengalihkan tatapannya saat menyadari ada seseorang yang baru datang. "Udah siap ternyata, ayo makan! Biar berangkatnya gak telat." Kepala keluarga itu tersenyum hangat.

Raksa hanya mengangguk, lalu mengambil duduk di sebelah Nendra yang berada di sisi kanan Bayu.

Setelah itu, hanya ada suara dentingan piring. Selebihnya hening, tak ada yang mau membuka suara.

Tapi pandangan Nendra dan Bayu tertuju pada Raksa. Memperhatikan si bungsu yang tengah melahap sarapannya dengan tenang.

Lendra memperhatikan itu semua. Mulai dari tatapan sayang yang Bayu dan sang kakak lontarkan terang-terangan kepada adiknya. Lendra merasakan sesuatu... Cemburu? Iri? Entah, rasanya masih sulit menerima Raksa di hatinya.

Mungkin otaknya ingin ia berdamai dengan kenyataan, tapi hati berkata lain.

Masih terasa bagaimana sepinya hari Lendra tanpa pelukan bunda, tanpa suara lembut bunda yang menggumamkan nada-nada halus untuk menghantarkannya tidur.

Hampa. Rasanya ada yang kurang tanpa bunda di sisinya.

Tapi Lendra, kamu dan Raksa sama.

Sama-sama kehilangan sesosok wanita yang paling berharga.

Berdamailah, sebelum waktunya habis sia-sia.

.....

Sejak kapan pemandangan langit di rooftop sekolah Raksa menjadi seindah ini?

Langit yang cerah dengan awan putih yang bergerak tertiup angin. Ah, keindahan ciptaan Tuhan memang tak bisa dikalahkan.

Ini jam istirahat. Raksa memilih pergi ke rooftop daripada ke kantin.

Dear AyahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang