lembar ke-duapuluh tujuh ; Dari Raksa, untuk ayah.

7.9K 782 52
                                    

Kakak-beradik itu kompak melamun, sibuk dengan pikiran masing-masing

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Kakak-beradik itu kompak melamun, sibuk dengan pikiran masing-masing.

Rasanya aneh. Kosong, perih, juga sendu itu masih menaungi keduanya. Karena pada dasarnya, menerima kenyataan adalah hal tersulit bagi setiap manusia.

Nendra lebih dulu sadar dari lamunannya. Ia menengok, melihat sang adik —yang kini menjadi satu-satunya— tengah menatap kosong ke arah lantai.

Bibir itu melengkung, membuat senyuman tipis di sana. "Lendra, ayo..? Kita anterin Raksa..."

Lendra bungkam, bahkan ajakan si sulung terabaikan.

"Abang, kemarin Lendra nyuruh Raksa untuk tidur... Untuk istirahat... Biar dia cepet pulang ke rumah..."

"—Tapi Abang, rumah yang Lendra maksud, bukan rumah kekal milik Tuhan... Istirahat yang Lendra maksud, bukan istirahat selamanya... Tidur yang Lendra maksud, bukan tidur tanpa bisa buka mata lagi..."

"Abang, Raksa salah tangkap ya..? Atau Lendra salah ngomong..?"

"Iya... Seharusnya Lendra gak nyuruh Raksa untuk tidur... Gak nyuruh Raksa untuk istirahat... Bodoh. Lendra bodoh. Bego." Tanpa sepatah katapun, Nendra membawa sang adik ke dalam dekapannya. Mengelus punggung rapuh itu dengan lembut, seraya berbisik, "Kamu gak bodoh Lendra... Raksa sayang sama kamu, gak boleh bilang gitu ya..? Raksa sayang kamu..."

Hingga pada akhirnya, Lendra kembali menangis. Kembali kalah bertaruh dengan air mata dan emosinya.

Tak apa Lendra. Tak selamanya manusia itu kuat. Tak setiap saat laki-laki bisa menahan tangisnya.

Namun selepas ini, jangan lupa untuk bangkit kembali, ya? Ada dua orang yang setia menunggu untuk merangkul kamu lagi.

.....

Lakshya menatap sendu tanah yang masih basah di depannya.

Rasanya baru kemarin dirinya juga Raksa tertawa bersama.

Rasanya baru kemarin, Raksa berkata bahwa dirinya akan selalu ada di samping Lakshya, akan selalu menggenggam tangannya, akan selalu bangkit bersama jika keduanya kembali jatuh.

Tidak. Lakshya tak menganggap Raksa sebagai pembohong. Ia juga tau, bahwa setiap manusia akan berakhir di dalam tanah.

Tapi kenapa, rasanya begitu cepat?

"Ah, Sa... Padahal kemarin, kalau lu berhasil pulang ke rumah, mau gue jengukin. Mau gue kasih sesuatu." Memang betul. Lakshya sudah menyiapkan sesuatu jika sang sahabat berhasil keluar dari rumah sakit. Ia sudah memesannya dari jauh-jauh hari.

"Barangnya custom, lho..! Tapi sayang, pada akhirnya dua-duanya bakal gue simpen sendiri."

"Tapi gapapa. Gue gak kecewa kok, ini 'kan udah takdir Tuhan. Cuma, rasanya kayak mimpi, Sa..."

"Detik ini aja rasanya gak nyata bagi gue..."

"Sa... Gue tau segimana sakitnya lu, gue juga tau segimana bencinya lu ketika ada orang yang nyalahin dirinya sendiri."

"Jadi... Gue bakal ikhlasin lu, Sa... Istirahat yang tenang, ya? Tidur yang nyaman disana... Sekarang lu dikelilingi orang-orang baik, Sa..."

"Kalau ketemu Nek Asih, titip salam ya? Bilang ke beliau, gue kangen banget sama masakan beliau. Gue kangen pelukan beliau."

"Sekarang udah gak sakit lagi, 'kan, Sa?"

"—Iya, pasti udah gak sakit lagi..." Lakshya menyahut lirih.

"Gue bakal nyoba nge-ikhlasin, Sa. Tapi pasti butuh waktu yang lama... Gak pa-pa 'kan, Sa? Setiap manusia pasti butuh waktu, termasuk gue dan keluarga lu."

"Tapi setelah itu kita sebisa mungkin bangkit kembali kok, Sa... Jangan khawatir..." Lakshya tersenyum, netranya masih setia menatap bergiliran antara tanah basah di hadapannya, dengan nisan yang mencoretkan nama milik Raksa.

"Gue bakal tetep lanjutin hidup. Lu di sana yang tenang ya..? Sekali-sekali boleh lah, main ke mimpi gue..."

"Kalau lagi rindu, gue ke sini lagi ya, Sa..? Selamat tinggal, selamat tidur, selamat istirahat, Diraya. Gue mau balik dulu, baik-baik di sana..." Kaki itu mulai beranjak dari sana. Berat, tapi ia harus pergi secepatnya. Awan hitam yang sudah berkumpul di atas menjadi penyebabnya.

Jikalau ini yang terbaik menurut Tuhan, maka Lakshya akan mencoba menerima.

Pun, ia sudah berjanji kepada Raksa, untuk terus hidup, sampai nanti mereka bisa bertemu di keadaan yang lebih baik lagi.

.....

Bayu masih setia duduk di meja belajar bungsunya. Melihat-lihat note di sana yang posisinya sama sekali belum berubah.

Si kepala keluarga menghela napas pelan, nyatanya sesak masih mendominasi kala ingatan perlakuan buruknya semasa Raksa hidup, terputar kembali. Penyesalan itu masih menghantui.

Teringat sesuatu, Bayu lantas mengambil barang yang Lakshya berikan padanya. Katanya, itu buku titipan dari Raksa, spesial untuknya.

Bayu dengan pelan membuka buku itu. Langsung disambut dengan tulisan tangan sang putra yang bentuknya tak terlalu rapih, namun masih bisa dibaca.

"Dear ayah..." gumam Bayu setelah memperhatikan coretan yang dibuat oleh Raksa.

'Ayah, ini dari Raksa untuk ayah. Tolong dibaca ya..? Maaf kalau tulisan Raksa jelek, di rumah sakit gak ada meja untuk Raksa nulis, hehe... Jangan sedih terus, ayahnya Diraya!'

Bayu tersenyum menanggapi tulisan itu. Rasanya seperti benar-benar ada eksistensi Raksa di sini, menceritakan kisah yang ia tulis dengan suara gembiranya.

Ah, padahal baru sebentar Raksa meninggalkannya, tapi bahkan sosok itu sudah mulai ia rindukan.

.....














Chapter depan khusus tulisan Raksa untuk ayah yaaa!

Kurang epilog doang...
Ah, ga tega banget Raksa mau tamat... Campur aduk rasanya...

Oh iya, besok hari terakhirku uas! Gimana dengan kalian??

Mau bagaimanapun uas nya, mau kapanpun uas nya, harus tetep semangat yaa! Semoga kita semua mendapat hasil yang terbaik!! Hehe...

Hope y'all enjoy!! And sorry for typo(s)!!

Stay safe, stay health yaaa!♡

Dear AyahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang