Bismillahirrahmanirrahim
Semangat menjalani hari!
Semoga Allah permudah segala hal.***
Gedung Fakultas Kesenian itu terlihat ramai oleh mahasiswa yang berlalu-lalang di sana. Semua tampak sibuk dengan aktivitas masing-masing. Sekumpulan orang terlihat tengah berdiskusi di dalam ruang. Salah satu di antara mereka seperti memimpin percakapan.
"Karena acara kita akbar, saya ingin semua mahasiswa dari fakultas seni ini ikut andil, meski bukan anggota dari Badan Eksekutif Mahasiswa," katanya, mengulurkan tangan, memberikan proposal kegiatan. "Itu informasi detail perihal acaranya."
Proposal itu diraih, mereka membacanya perlahan. Kemudian, satu tangan teracung, ingin bertanya suatu hal. "Kontribusi apa yang bisa kami berikan?"
Gadis cantik itu tersenyum, sejenak membenarkan ikatan rambut. "Seperti yang kita tahu bahwa salah satu rangkaian acara yang ada adalah galeri seni, kontribusinya berupa pengumpulan karya seni. Baik itu berupa patung, lukisan atau lain sebagainya."
Orang-orang itu mengangguk, mulai mencerna apa yang disampaikan. Setelahnya, suasana ramai, saling mengutarakan pendapat. Seorang laki-laki dengan outif serba hitam terlihat sibuk memotret kegiatan.
Rapat ditutup. Gadis yang tadi memimpin percakapan itu beranjak setelah menepuk pelan jeans yang dikenakannya. Ia berjalan terlebih dahulu. Tas kanvas 4K multifungsi yang menjadi ciri khas dari anak seni itu digendongnya. Gadis pemilik mata sipit tersebut selalu bangga acap kali membawa tas ini, ke mana pun.
Raileen Nara, namanya. Kulit putih, wajahnya dihiasi dengan lesung pipi, semakin mempercantik. Ia tersenyum, melambai pada laki-laki yang tadi memotret kegiatan.
"Sekarang mau ke mana?" Laki-laki itu bertanya sambil menggantungkan kamera di lehernya.
"Menghadap Ibu Dekan," sahut Raileen riang. "Katanya beliau mau ngobrol, sih."
Dielusnya lembut rambut Raileen. "Aku temani?"
"Oke!"
***
Tergopoh, Raileen menaiki tangga. Menempuh jarak tiga kilometer dari kampus tempatnya belajar menuju kamar kosnya, ia berlari seiring dengan hujan yang jatuh, mengguyur kota Bandung. Napasnya tersendat, langkahnya kian memberat.
Pikiran gadis itu tertuju pada pakaian yang dijemurnya tadi pagi. Tidak ada nomor pemilik kosan, atau pun teman di tempat tersebut. Sudah dipastikan baju-baju bersih itu harus kembali dibasuh.
Langkahnya terhenti, Raileen diam dengan mata sipit membulat. Di sana, pada tali jemuran itu, bajunya tak ada. Kemudian menoleh, menatap keranjang biru berisi pakaian. Ia memutuskan memeriksa isinya.
Miliknya, kering.
"Kamu yang angkatin jemuran saya?" Tarikan napasnya masih kencang, Raileen bertanya pada seseorang yang duduk di selasar kamar kos sebelahnya.
Tidak ada jawaban. Bahkan orang itu tidak menoleh, sibuk dengan aktivitas membaca buku tebal di pangkuan. Kembali, Raileen mengajaknya berbicara.
"Hai! Saya mengajak kamu berbicara."
Air hujan dari baju dan rambutnya yang basah itu menetes. Raileen masih berdiri. Orang itu lalu menutup buku, menoleh ke arahnya, menatap dalam untuk sepersekian detik.
Raileen, si gadis cantik dengan bibir tipis itu terpaku. Sampai akhirnya ia dikejutkan ketika orang di depannya bangkit, melenggang, tanpa menjawab pertanyaan.
Tinggi badan orang itu sekitar 186 sentimeter, berkulit sawo matang, rambutnya sedikit keriting, dan diikat. Raileen tidak pernah melihatnya sebelum saat ini. Mungkin, ia penghuni kos baru yang angkuh.
"Sombong amat!" ujar Raileen, berlalu, membawa keranjang biru itu, dan membuka pintu kamar kos.
Disimpannya barang itu lalu Raileen memilih membasuh diri. Selepas padatnya aktivitas di kampus, berlari dari kampus hingga ke kamar kosnya, tubuh Raileen benar-benar lelah. Usai membersihkan diri, Raileen tertidur.
Lelap, sampai tidak sadar, langit berubah menjadi gelap.
***
Alhamdulillah.
Terima kasih sudah membaca.
Sehat selalu, orang-orang hebat.Spread love
Sugi
YOU ARE READING
HELLO, TETANGGA KOS! ✓ | TELAH TERBIT |
Teen Fiction1st Runner up novelet CMG *** "Kamu mungkin tidak akan mempercayainya. Namun, apa yang saya sampaikan adalah kenyataan yang ada. Ayahmu, dia menghamili darah dagingnya sendiri." Raileen tidak tahu sesakit apa hatinya ketika mendengar kalimat itu...