11

82 17 24
                                    

Bismillahirrahmanirrahim
Semoga Allah mudahkan segala hal.

***

"Kenapa dia datang?"

Zaid memulai percakapan setelah rangkaian acara hari ini selesai. Tadi, mereka tak sempat saling berbicara karena padatnya aktivitas. Laki-laki itu memasangkan helm di kepala Raileen.

"Kemarin dia minta tiketnya, katanya sebagai bayaran karena sudah membagi banyak makanan."

Terdengar hela napas panjang. Zaid mengusap wajahnya perlahan lalu berdecak kesal. Tangannya bergerak, menyentuh kedua sisi bahu Raileen. Ia menatap gadis itu dengan lekat.

"Raileen, kamu tahu? Aku enggak suka lihat dia dekat-dekat dengan kamu. Sebagai laki-laki, aku mendengar alarm peringatan yang tidak kasat mata."

Mata sipit Raileen membulat. Pipi gadis itu mengembung, menahan tawa. Hal tersebut membuat Zaid kembali berdecak dan mencubitnya dengan gemas.

"Aduh, sakit," cicit Raileen, mengusap pipinya lalu terkekeh. "Alarm peringatan apa, sih? Aku enggak paham."

Mereka tengah berada di parkiran bangunan galeri seni. Beberapa mahasiswa terlihat sedang melakukan aktivitas yang sama-mengeluarkan kendaraan dan melesat, meninggalkan tempat.

Seperti biasa, mereka kembali ke rumah masing-masing di kala sang surya sudah tenggelam di peraduan. Kemudian digantikan dengan kedatangan rembulan. Udara malam saat ini sedikit bersahabat, tidak terlalu menyejukkan.

"Intinya, aku enggak suka kalau kamu banyak interaksi dengan dia. Apalagi tadi kalian sempat telponan, kan?" tanya Zaid, memastikan.

Laki-laki itu terus-menerus berujar sambil mengenakan jaket bomber hitamnya. Sementara itu, Raileen hanya diam, sesekali tertawa pelan mendengarnya.

Gadis itu mendekat, berjinjit, dan mengusap pelan kening Zaid yang mengkerut. "Kamu jangan khawatir, Zaid. Aku tahu sebuah batasan dan akan kupastikan, batasan itu tidak akan terlewati."

Hening sejenak.

Setelah itu, seulas senyum terbit di bibir Zaid. Diacaknya dengan gemas rambut Raileen. Kemudian, ia tertawa kecil dan menarik kepala gadis itu ke dekapannya.

Raileen tersentak merasakan denyut cepat pada dada bidang laki-laki itu. Ia mendongak, menatap tepat kedua mata Zaid.

"Kamu dengar dan rasakan sendiri, kan? Meski kita sudah saling mengenal sejak lama, degup cepat itu tidak pernah berubah dan selalu bertambah." Zaid menggantungkan ucapan. "Seharusnya, karena degupan terlalu cepat, aku merasakan kesakitan. Namun, kamu tahu? Aku justru bahagia."

Apakah Raileen terbang mengudara? Tentu saja tidak! Gadis itu tak memiliki sayap untuk melakukannya. Namun, hati miliknya sedari tadi seperti tengah melambung dengan tinggi. Ia memalingkan wajah, menyembunyikan rona merah yang menjalar.

Zaid melepas dekapan. Ia mulai menaiki motor dan menstarter. Derum yang dihasilkan dari knalpot membuat Raileen terkejut dan bergegas ikut duduk di atas jok.

Diliriknya dari spion motor wajah Raileen lalu Zaid berucap, "Sudah salah tingkahnya? Mari, gas."

Kendaraan roda dua itu melaju di antara padatnya jalanan Ibu kota Jawa Barat. Selama perjalanan, mereka saling diam, menikmati suasana malam. Namun, di pertengahan, Zaid kembali memulai percakapan.

"Mama kamu masih belum menghubungi, ya?"

Raileen diam.

***

Raileen melepas helmnya. Ia bergegas turun dari motor, berdiri di samping Zaid. Sejak pertanyaan terakhir dari laki-laki itu, Raileen masih membisu. Bahkan perubahan raut wajahnya terlihat kentara.

"Kamu enggak perlu pikirin pertanyaan aku tadi. Sekarang, istirahat yang cukup. Aku pamit dulu, ya?"

"Terima kasih, Zaid."

Zaid mengangguk singkat dan tersenyum. Ia kembali mengendarai motornya, meninggalkan pekarangan indekos. Sepeninggal laki-laki itu, Raileen berjalan perlahan sambil menunduk.

Perihal Mama, mengapa masih saja membuat dadanya terluka? Padahal, selepas enam tahun tidak bersua, seharusnya Raileen sudah terbiasa. Seharusnya ia bisa bahagia, karena hingga kini dirinya bisa berdiri dengan tegak.

Ia bisa mematahkan stigma orang-orang mengenai anak broken home, perihal mereka akan tumbuh dengan pergaulan yang salah. Raileen membuktikan bahwa dirinya bisa mengepakkan sayap dan berprestasi di kancah nasional, meski pisau-pisau menikam dari segala arah.

"Cu? Cucu kakek."

Raileen mendongak.

"Kamu dari mana saja, Cu? Ini sudah jam sembilan malam."

Gadis itu bergeming. Ia menatap datar Hala yang tengah menjadikan sapu sebagai alat bantu berpijak. Ternyata ... si penyuka celana boxer itu masih aja bertransformasi menjadi kakeknya.

"Cu-"

"Saya sedang tidak mood untuk bergurau. Jadi, silakan menepi, beri saya jalan," ujar Raileen tanpa menatap wajah laki-laki itu.

Hala berpangku tangan. Matanya menatap Raileen dengan selidik. Ia menggeleng dan bersiul pelan. Kemudian, sedikit bergeser, membiarkan gadis itu berjalan melewatinya.

"Kenapa setiap pulang dengan laki-laki itu kamu selalu murung? Jika dia tidak bisa membuat kamu tertawa dan bahagia, tinggalkan. Memangnya kamu mau terus-menerus berada dalam lingkaran kesedihan? Kalau kamu bisa menemukan suatu hal yang membahagiakan, kenapa selalu terfokus pada sesuatu yang hanya menimbulkan kesakitan?"

Raileen kali ini sepenuhnya menoleh bahkan menepuk keras tangan laki-laki itu. Ia menatap garang, tatapannya tajam. Memangnya Hala tahu apa perihal hidupnya hingga bisa semudah itu berkata demikian?

"Aduh! Sakit, Cu! Ini kakekmu, lho! Dosa!" seru Hala sambil mencoba menghalangi gerakan brutal Raileen. "Ampun!"

"Saya enggak suka dengar kamu bilang kayak gitu!"

"Iya, saya minta ma-"

Ucapan Hala terhenti ketika kumis palsu yang dipakainya, jatuh ke lantai. Arah pandang mereka mengikuti kumis itu. Kemudian, saling menatap di saat bersamaan.

Raileen mengembungkan pipi. Ia menghela napas keras, mencoba agar tidak tertawa kencang. Sementara itu, Hala berjongkok, meraih kembali kumisnya, mencoba memasangkan lagi.

Namun, lem yang membantu agar bisa merekat sudah kering sebagian. Membuat kumis itu bergelantungan di atas bibir Hala. Sekali lagi, Raileen menepuk tangan laki-laki itu dan terbahak kencang.

"Sini, biar saya bantu pasang," katanya, merebut paksa kumis dan menempelkan di kening Hala.

"Hei! Mana bisa!"

Gadis itu masih saja tertawa sambil menutup mulut, agar suaranya tidak mengganggu penghuni indekos lain. Hala tersenyum tipis melihat tawa lepas Raileen.

"Ada yang ingin bertemu dengan kamu, besok," ujar Hala selepas Raileen meredakan tawa.

"Siapa?" Kening Raileen berkerut.

"Besok kamu akan tahu. Ada waktu luang?"

Raileen mengangguk sebagai jawaban. "Kamu serius, Hala? Ekspresi kamu bikin saya takut."

"Tidak usah takut. Intinya, besok saya kabari lagi, ya? Terima kasih, Raileen. Selamat malam."

Raileen terpaku menatap Hala yang berjalan meninggalkannya lebih dulu. Ada banyak pertanyaan yang muncul di pikirannya. Salah satu tentang ... mengapa Hala terlihat berat untuk mengatakan hal ini?

"Masuk kamar! Jangan ngelamun di tangga, serem!"

***

Alhamdulillah
Terima kasih sudah membaca.
Sukses selalu, Orang hebat.

Spread love,
Sugi 💖

HELLO, TETANGGA KOS! ✓ | TELAH TERBIT |Where stories live. Discover now