1st Runner up novelet CMG
***
"Kamu mungkin tidak akan mempercayainya. Namun, apa yang saya sampaikan adalah kenyataan yang ada. Ayahmu, dia menghamili darah dagingnya sendiri."
Raileen tidak tahu sesakit apa hatinya ketika mendengar kalimat itu...
Hai, terima kasih sudah mau berkunjung. Di awal part, aku tahu cerita ini membosankan. Jadi, tolong baca sampai dua atau tiga part dahulu. Jika masih terasa membosankan, kamu boleh mencari bacaan lain yang sesuai.
Namun, aku sangat berharap kamu dapat menyukai cerita ini. Terima kasih.
Novelet ini menjadi juara pertama dalam event yang diikutsertakan. Alhamdulillah. 💖💖
Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
Gadis cantik berusia lima belas tahun itu menyentuh pergelangan tangan wanita di hadapannya. Ditatapnya dalam tiap gores merah dan lebam di kulit putih pucat tersebut. Ia mendongak, balik menatap mata, meminta penjelasan.
Wanita tersebut mengerjap, tersenyum, dan mengelus puncak kepala gadisnya. "Tadi Mama lagi kasih makan kucing. Eh, malah kena cakar," katanya, memalingkan wajah.
"Kucing atau harimau, Ma?" Gadis itu menatap sangsi, tak percaya dengan yang dikatakan pemilik pipi tirus di hadapan. "Harimaunya itu Papa, kan? Iya, kan, Ma?"
"Kamu enggak boleh bilang kayak gitu. Kalau kedengaran sama Papa, nanti Papa marah-marah. Mau?"
Gadis berbalut daster bergambar koala itu, Raileen, mendengkus. Ia melepas genggamannya lalu berpangku tangan. Ada gurat kesedihan yang tengah berusaha disembunyikan oleh wanita cantik itu, Mamanya. Sayangnya, Mama tidak bisa menyembunyikan darinya.
Raileen sudah terlalu paham acap kali ada sesuatu yang terjadi. Mama, ia akan mengetuk pintu kamar, meminta izin masuk lalu memeluknya. Mendekap hangat seakan dengan cara itulah ketenangan kembali didapat.
"Hampir dua hari sekali ada luka baru di badan Mama. Mama masih tahan memangnya? Papa itu harimau. Kalau Mama nanti diterkam, mau?"
Suasana sejenak lenggang. Hanya hela napas pelan yang terdengar. Kedua orang itu saling menatap, menyampaikan berbagai luka lewat sorot yang tercipta. Lagipula, siapa yang rela melihat Mama kesakitan, tetapi tetap memilih bertahan?
"Mending Mama jangan sama Papa lagi. Aku enggak tahan lihat Mama terus-terusan nahan sakit kayak gini."
Usianya masih terbilang muda, dipaksa dewasa oleh kondisi yang ada. Tahu perihal perpisahan, tetapi belum mengerti bagaimana dampak yang nanti dirasa. Hanya, apa peduli? Bagi Raileen, berpisah adalah jalan terbaik, apa pun risikonya.
***
Pagi di tengah guyuran hujan. Raileen terbangun ketika kedua orang tuanya memanggil dan kini mereka berkumpul di ruang keluarga, saling diam. Kedua adik Raileen-Miko dan Aidia-masih terlihat mengantuk. Mereka belum bisa merasakan ketegangan yang ada.
Dalam jarak sedekat ini, tidak tahu mengapa terasa sangat jauh. Seperti ada dinding tebal yang menjadi penghalang. Raileen mengalihkan pandang, menatap ke mana saja asal tidak pada kedua bola mata memerah Papanya.
"Raileen." Papa memanggil, ia memulai pembicaraan. "Aku dan Mamamu sepakat untuk pisah."
Raileen menoleh, masih menatap datar. Ia tahu bahwa cepat, atau pun lambat, hal ini akan terjadi. Ia menghela napas, menunggu laki-laki itu melanjutkan. Mamanya terdiam, mengelus puncak kepala si Bungsu di pangkuan.
"Papa akan membawa Aidia dan Mamamu memilih Miko." Ada jeda cukup panjang lalu melanjutkan, "kamu mau ikut siapa?"
Raileen termenung dengan sudut mata yang berair. Ia mendongak, menatap atap rumah, menahan agar hujan dari kelopak matanya tak jatuh. Tangannya bergerak, mengusap hidung memerahnya.
"Aku ... ingin hidup mandiri." Suaranya terdengar bergetar, menahan tangis. "Aku enggak akan ikut Mama atau Papa," katanya, terbata.
Ruangan 10×10 m² itu senyap. Hanya deru napas yang terdengar. Masing-masing orang di sana terdiam, terluka dengan kondisi sekarang. Tidak ada yang menginginkan perpisahan, tetapi bertahan dalam ikatan tanpa melibatkan lagi perasaan bukanlah hal yang bisa diatasi dengan mudah. Terlebih, permasalahan lainnya.
"Kamu ikut Mama saja, Raileen."
Ada keraguan dari cara mamanya berbicara. Raileen menyadari itu. Hal yang membuat dirinya semakin sadar bahwa hidup mandiri adalah jalan terbaik untuknya saat ini. Ia bangkit, melenggang, meninggalkan ruangan itu dengan perasaan sesak.
Tidak ada yang menahan.
Raileen semakin paham. Tidak ada yang benar-benar bersedia untuk mengurusnya.