Bismillahirrahmanirrahim
Semoga Allah mudahkan segala hal.***
Mahasiswa Fakultas Seni Rupa hari ini berbondong-bondong mengunjungi lokasi yang akan dijadikan sebagai tempat pameran seni rupa dan budaya. Dua buah mobil box tertutup mengangkut perlengkapan yang dibutuhkan. Salah satunya berisi lukisan-lukisan. Setibanya di lokasi tujuan, barang-barang mulai diturunkan.
Mereka berseru kencang, bersemangat melakukan ini semua. Mahasiswa laki-laki sibuk membantu mengangkut barang. Kemudian, meletakkannya dengan hati-hati di atas lantai pualam. Kertas-kertas pembungkus lukisan mulai dilepaskan.
Kini, panitia pelaksana tengah melakukan penataan karya. Bangunan yang mereka pilih adalah milik salah satu mahasiswa Fakultas Seni Rupa. Ruang pamer pada galeri seni ini berupa kamar. Tinggi dinding display sekitar 3,7 meter dengan luas dinding temporary dua belas meter. Di sana, terdapat dua pintu keluar untuk semua tempat pameran. Cat hitam dan putih mendominasi ruang.
"Barang-barang aman?"
"Aman!"
Raileen mengacungkan jempol, tersenyum lebar. Ia berkeliling, mengunjungi satu per satu ruang, dan berakhir di sumber musik terdengar. Di sana terdapat beberapa mahasiswa perempuan dan laki-laki tengah menari tarian khas Jawa Barat. Alat musik gamelan yang dimainkan menjadi pengiring setiap gerakan.
"Good luck, ya! Kalian hebat!" serunya riang.
"Siap, Ibu ketuplak!"
Ia duduk pada salah satu kursi, memperhatikan betapa gemulai gerakan para penari itu. Dari acara yang akan dilaksanakan ini, Raileen menyadari bahwa tiap mahasiswa memiliki potensi hebat pada bidangnya masing-masing.
"Minum dulu."
Raileen tersentak, merasakan dingin yang menjalar pada kulit pipinya. "Hei, kaget!"
Zaid, laki-laki itu tertawa pelan. "Kamu dari tadi sibuk. Ingat, lho, kamu baru sembuh. Jangan terlalu aktif, nanti waktu acara inti dwon, gimana?" Ia membuka tutup botol minuman. "Minum dulu. Habis itu makan siang dan minum obat, ya?"
"Aku sudah sembuh, Zaid. Kalau terus-menerus minum obat, nanti ginjal aku rusak, gimana?"
Mereka saling bertatapan, menyalurkan rindu selepas satu minggu tidak dapat saling menatap, dan berbincang. Zaid meletakkan kedua tangannya di belakang kepala Raileen. Ia maju, mempertipis jarak, membuat hidungnya hampir bersentuhan.
"Aduh, punten! Ini masih banyak orang, ya, bukan patung!"
Mereka tergelak kencang.
Zaid meraih tangan Raileen, menariknya lembut. Ia membawa gadis itu keluar dari bangunan dan memakaikan helm.
"Ke mana?"
"Makan."
***
"Kamu tahu enggak? Di tempat kos aku, ada tetangga yang aneh banget."
Raileen membuka pembicaraan setelah mereka sampai di salah satu kedai makanan khas Sunda. Ia merapatkan jaket. Hari ini awan hitam mendominasi, menutupi sinar dari sang surya di peraduan. Udara dingin bertiup cukup kencang.
"Siapa?"
"Namanya Hala. Di awal kedatangan dia, aku selalu nemuin hal-hal aneh yang baik. Beberapa hari yang lalu, dia mengakui bahwa dia adalah pelakunya. Kamu tahu alasan dia apa? Katanya, berdasar rasa simpatik dan kemanusiaan. Enggak logis, kan? Dari banyaknya penghuni kos lain, kenapa harus aku?"
Pesanan mereka datang. Dua mangkuk putih berisi Soto Bandung, Soto Mie, dan beberapa bumbu pelengkap tersaji di atas meja. Kemudian, dua gelas teh hangat menyusul. Raileen dan Zaid mengucapkan terima kasih pada pelayan itu.
Sambil mengaduk Soto Mie, atensi Zaid kembali terfokus pada Raileen. Ia menunggu gadis itu untuk melanjutkan cerita.
"Nah, kemarin waktu aku sakit, dia maksa buat antar ke dokter. Padahal aku sudah tolak."
"Kenapa baru cerita kalau ada orang aneh di tempat kos kamu? Jika dirasa dia orang yang membahayakan, segera beri tahu aku, ya. Secepatnya kamu pindah kos."
Raileen tersedak. Ia meraih gelas dan meneguk isinya hingga setengah. Bibirnya terlihat memerah. Sambal yang dirinya tuangkan dalam semangkuk Soto Bandung itu terlalu banyak.
Kedai itu terlihat ramai. Meja-meja hampir terisi semua. Beberapa pengunjung yang berada di dekat Raileen dan Zaid, menoleh sejenak. Kemudian kembali fokus pada aktivitas masing-masing.
"Awalnya dia biasa-biasa saja. Tidak menunjukkan tanda-tanda aneh, terlebih sikapnya dingin dan irit bicara. Namun, setelah dia mengenalkan diri dan mengatakan bahwa dia tahu segala hal tentangku, sikapnya berubah."
Suasana lengang sejenak. Raileen menjeda cerita dan melanjutkan makan. Soto Bandung adalah salah satu makanan yang menjadi kesukaannya. Hampir setiap cuaca dingin, Raileen memakan ini dengan Zaid di tempat yang sama.
Sementara itu, Zaid merasa gemas dengan Raileen. Ia tak sabar ingin mendengar kelanjutan cerita. Sayang, pujaan hatinya tengah lahap menyantap makanan. Laki-laki itu tidak tega mengganggu dan memilih menunggu.
Hanya, hingga makanan mereka hampir tandas, Raileen tidak melanjutkan cerita.
"Kamu, kok, enggak lanjutin lagi ceritanya?"
Raileen berhenti mengunyah. Bibirnya tersenyum lebar, membuat mata minimalisnya hampir tenggelam. Setelah menelan habis, ia berujar, "Lho, aku nunggu respon kamu, Zaid."
Terdengar hela napas panjang dari laki-laki itu. Mulutnya membuka, hendak mengucapkan suatu hal, tetapi tertahan saat pelayan memberikan struk pembayaran.
"Barusan mulutnya lucu, kayak ikan."
"Raileen ...."
"Kamu tenang saja. Entah, aku merasa bahwa dia tidak membahayakan. Nanti, jika ada apa-apa aku langsung laporan."
"Janji?"
"Tentu!"
***
Alhamdulillah ....
Terima kasih sudah membaca.
Sukses selalu, Orang hebat.Spread love,
Sugi 💖
![](https://img.wattpad.com/cover/268423968-288-k168418.jpg)
YOU ARE READING
HELLO, TETANGGA KOS! ✓ | TELAH TERBIT |
Teen Fiction1st Runner up novelet CMG *** "Kamu mungkin tidak akan mempercayainya. Namun, apa yang saya sampaikan adalah kenyataan yang ada. Ayahmu, dia menghamili darah dagingnya sendiri." Raileen tidak tahu sesakit apa hatinya ketika mendengar kalimat itu...