15

66 15 10
                                    

Bismillahirrahmanirrahim
Semoga Allah mudahkan segala hal.

***
"Kak Raileen, temani Aidia main boneka-bonekaan, yu?"

Si kecil itu memeluk erat boneka koala kesukaannya. Ia berputar sambil bersenandung pelan. Tertawa lebar, memperlihatkan barisan gigi depan yang lepas dua.

"Kakak baru aja pulang sekolah."

Raileen melepas sepatu. Ia berjalan meniti tangga menuju kamarnya. Dengan masih diikuti Aidia, adiknya, Raileen berganti pakaian. Kemudian, merebahkan diri di atas kasur kesayangannya.

"Ih, ayo, main. Dari tadi Aidia main sendiri terus. Bang Miko enggak mau diajak main boneka."

Si kecil itu rambutnya dikuncir dua. Tubuh mungilnya mengenakan baju terusan bermotif kotak-kotak. Ia ikut tidur terlentang di samping Raileen.

"Karena Bang Miko itu cowok. Mainnya robot, bukan boneka, Aidia."

"Harusnya Aidia punya adik cewek, ya. Biar bisa diajak main, deh."

Raileen menoleh dan menggeleng pelan. "Jangan, dong. Kakak pusing kalau banyak adik."

Terdengar tawa riang dari Aidia. Ia melepas pegangan pada boneka dan beralih memeluk erat tangan Raileen. "Emangnya Aidia dan Bang Miko suka bikin pusing, ya?"

"Banget!"

Si kecil memberenggut. Ia kembali berdiri dan berpangku tangan. Raut wajahnya berubah menjadi kesal. Dipalingkan pandangan, Aidia menatap dinding kamar.

Kemudian, derap langkah dari depan pintu kamar terdengar. Setelahnya, seorang laki-laki dengan setelan jas dan celana hitam, berdiri di ambang. Tangannya melambai.

"Aidia, Ayah pulang."

Air muka Aidia kembali berseri. Ia berlari dan menghambur ke pelukan ayahnya. Kemudian, mereka berlalu dari ambang pintu. Meninggalkan Raileen yang terdiam dengan setitik luka baru di hati.

"Kenapa hanya Aidia?"

***
Sudah dua hari berada di rumah asing ini. Ia menempati salah satu kamar kosong—milik adiknya dahulu. Kaki jenjangnya tak pernah lagi dirinya pakai untuk melangkah. Hanya dipeluk erat sambil meringkuk di atas kasur.

Kantung mata miliknya semakin membesar. Gadis itu kesulitan untuk tidur, selain kejadian tak sadarkan diri saat itu. Hal yang selalu dirinya lakukan adalah menatap kosong dinding putih yang menjulang.

"Kenapa?"

Suaranya serak. Raileen kembali berbicara setelah satu hari memilih bisu. Bibirnya terlihat kering.

"Iya, Raileen? Kamu mau apa?"

Hala selalu setia duduk di sampingnya. Laki-laki itu tak pernah lupa untuk membujuk Raileen agar mau makan. Sebab hingga kini, hanya air yang Raileen telan.

"Kenapa Aidia harus merasakan ini, Hala?" tanya Raileen, terisak lagi. "Dia bahkan masih empat belas tahun, Hala. Kenapa dia harus menanggung semua kesakitan? Tuhan ... mengapa Dia tega sekali kepada kami?"

Raileen beringsut, memeluk lengan Hala, mencari perlindungan. Dirinya lelah akan semua hal yang terjadi dalam kehidupan. Mengapa sangat menyakitkan?

Selama ini dirinya selalu mengira bahwa Miko dan Aidia bahagia. Hidup bersama orang tua, meski hanya salah satu, setidaknya mereka bisa tetap bersama. Namun, justru luka-luka yang mereka tanggung lebih dari yang Raileen punya.

Mereka sama-sama terluka bahkan lebih dari yang dirinya kira.

"Kamu hanya belum tahu, hikmah apa dari semua kesakitan yang Tuhan berikan. Kamu pernah dengar? Jika selepas kesulitan akan ada kemudahan. Selain itu, setelah kesedihan akan datang kebahagiaan." Hala menjeda kalimat dan melanjutkan, "ini hanya perihal waktu. Sampai nanti kamu berada di titik mensyukuri hal-hal yang telah terjadi."

Hala melepas pegangan Raileen. Ia beranjak, mendekati meja ambalan lalu mengambil sisir. Laki-laki itu menarik Raileen agar duduk. Kemudian, tangannya merapikan rambut si gadis. Menata dengan rapi dan mengikat tinggi.

"Karena bisa jadi kamu membenci sesuatu, padahal itu amat baik bagimu. Bisa jadi pula kamu menyukai sesuatu, padahal itu amat buruk bagimu. Tuhan mengetahui sedangkan kamu tidak."

Hala menuntun Raileen untuk membersihkan diri. Ia berikan handuk putih pada gadis itu. "Sekarang kamu mandi dulu. Jangan bertingkah konyol di dalam sana."

Maksud Hala, dirinya tak ingin jika Raileen melakukan hal gila. Setelah melihat gadis itu mengangguk pelan, ia dapat menghela napas lega. Sambil menunggu Raileen selesai mandi, tangannya aktif membereskan hal-hal kecil.

Usai beberapa menit terlewati, Raileen keluar dari kamar mandi. Tubuhnya sudah berbalut baju yang Hala beri. Terlalu besar, tetapi membuat Raileen terlihat lucu dan cantik, seperti biasanya.

"Sudah?"

Raileen mengangguk.

"Hala, saya ingin mendengar semuanya hari ini."

"Kemari, duduk di samping saya. Kamu bisa melampiaskan kekesalan dan kesakitan hatimu pada tangan saya, Raileen."

Raileen menurut. Ia duduk di samping Hala, memeluk lengannya.

"Seperti yang kamu katakan, bahwa Aidia masih berusia empat belas tahun." Hala memulai cerita. "Usianya terlalu muda. Kita tahu, jika hamil di usia dini itu banyak sekali risiko. Salah satunya kematian pada ibu dan janin. Aidia ... ketika kandungannya empat bulan, dia keguguran."

Raileen menahan napas lalu menggigit tangan Hala.

Sempat meringis pelan, Hala kembali bercerita. "Aidia dan janinnya tidak dapat diselamatkan, Raileen. Aidia meninggal, menyusul Miko. Ibu semakin terpukul. Dia jatuh sakit. Bukan hanya fisik, tetapi mental."

"Mental Mama terganggu?"

"Iya."

Suasana lengang.

Hanya suara isak tangis Raileen yang terdengar. Hati gadis itu seperti diremas dengan kuat. Terasa sakit dan perih di saat bersamaan. Ia meneguk getirnya kehidupan. Raileen paham betul apa yang dirasakan Mama. Segala kesakitan itu menikam terlalu dalam.

"Mama sekarang di mana? Mama di Rumah Sakit Jiwa?"

Hala menunduk. "Seharusnya dia ada memang ada di sana, Raileen."

Raileen melepas genggaman. Ia menatap Hala dengan tak paham. "Maksud kamu? Lantas Mama saya di mana?"

Menggantung. Hala memilih membisu, lagi.

***

Alhamdulillah
Terima kasih sudah baca.
Sukses selalu, Orang hebat.

Spread love,
Sugi 💖

HELLO, TETANGGA KOS! ✓ | TELAH TERBIT |Where stories live. Discover now