Bismillahirrahmanirrahim
Semoga Allah mudahkan segala hal.***
Zaid berjalan mondar-mandir di depan kamar indekos Raileen. Berkali-kali pintu di hadapannya ia ketuk, tetapi tetap tak ada jawaban atau sahutan. Risau, beberapa hari ini Raileen tidak dapat dihubungi. Bahkan ketika dirinya mendatangi tempat ini, hanya kegelapan di dalam ruang yang terlihat.Kembali mengeluarkan ponsel, Zaid mencoba menghubungi Raileen lagi. Namun, seperti dua hari sebelumnya hanya operator yang menjawab panggilan. Berdecak kesal, Zaid hampir khilaf melemparkan handphone.
"Kakak cari Raileen, ya?"
Zaid menoleh ketika mendengar kalimat tanya dan tepukan pada bahunya. "Iya, Kak. Saya cari Raileen. Kakak lihat dia tidak? Soalnya beberapa hari ini susah dihubungi."
"Saya tidak tahu di mana, Kak. Cuma, saya pernah lihat Kak Raileen pergi sama Kak Hala. Setelah itu, mereka belum kembali ke kosan."
Zaid terdiam merasakan gundah yang semakin kentara. Air muka laki-laki itu semakin suram. Sambil mencoba mengontrol emosi, dirinya kembali bertanya.
"Kakak punya nomor laki-laki itu?"
"Enggak ada, Kak."
Laki-laki itu kian gusar.
***
"Kalian gila!"Bentakan kali pertama yang dilontarkan Raileen membuat mereka menunduk. Gadis itu membuka pintu di depannya lebar. Kedua netra miliknya terkunci pada wanita yang tengah duduk dengan kaki diikat rantai. Tubuhnya bersandar pada dinding ruang.
Beberapa saat Raileen terdiam. Kembali rasakan gemuruh dalam dadanya. Ia mengepalkan jari-jari tangan, menekan kuat-kuat emosi yang memuncak. Kemudian, segala luka dan kesakitan itu dirinya tumpahkan lewat air mata.
"Mama," ujarnya lirih, terasa begitu mengiris. Ditatapnya lamat wajah wanita tua di depannya. "Ma, ini Raileen."
Ia menarik pelan kepala wanita itu dalam dekapan. Semua rindu dalam waktu beberapa tahun ini tumpah ruah. Dikecupnya berulang kali rambut kusut wanita itu.
Raileen mengusap pelan wajah wanita itu. Tidak ada reaksi. Ia—mamanya—hanya diam dengan pandangan kosong. Di pipi penuh kerutan itu terdapat sisa tangis yang mengering.
"Kenapa kalian lakukan ini sama mama saya?" Tidak ada bentakan. Raileen berujar dengan sangat pelan. "Jika kalian memang tak mampu untuk membayar pengobatan Mama, kenapa tidak kalian beri tahu saya secepat mungkin? Biar saya yang rawat! Biar saya yang banting tulang mencari uang untuk pengobatan Mama! Asal ...."
Ia menjeda kalimat. Kedua matanya beralih menatap pergelangan tangan dan kaki Mama. Di sana terdapat bercak darah yang telah kering. Tangisan semakin kencang terdengar. Gadis itu terluka melihat Mama yang tak berdaya.
"Asal Mama enggak harus merasakan kesakitan seperti ini," lanjutnya sambil mengecup kedua kaki Mama yang masih diikat.
"Raileen—"
"Kenapa kalian lakukan ini?" Raileen berusaha melepas rantai. Sayangnya, ikatan tersebut terlalu kuat. Tangan ringkihnya tak sanggup melakukan itu.
Papa Hala memilih untuk berlalu. Ia meninggalkan ruangan itu terlebih dahulu. Derit roda yang bergulir mengiringi kepergian orang itu.
"Sini, Raileen, saya bantu." Hala mencari kuncinya. Usai menemukan, ia menghampiri Raileen, memulai membuka satu per satu rantai itu. "Maaf untuk semua hal yang menyakiti kamu, Raileen. Terlebih perihal ini. Kami tidak membawa Ibu ke Rumah Sakit Jiwa bukan karena terkendala biaya."
Semua ikatan itu telah terlepas. Raileen memeluk erat tubuh mamanya. Ada rasa haru dan lara di saat bersamaan. Ia bahagia mengetahui fakta mamanya masih ada. Namun, lara karena keadaan wanita yang melahirkannya, sekarang seperti ini.
Kulit yang dahulu begitu lembut dan bersih, kini terlihat kusam dan kasar. Kuku-kuku jarinya memanjang, rambutnya kusut. Terlebih, bau tak sedap menguar dari tubuh renta itu.
Seberapa lama Mama dikurung dalam ruangan gelap ini?
"Papa, dia benar-benar mencintai Ibu. Dia tak ingin jika harus berpisah dengan Ibu, Raileen. Dia tetap ingin selalu berada di dekatnya. Setiap malam, sebelum Papa terlelap, dia selalu menemui Ibu." Penjelasan Hala membuat Raileen terdiam. "Bahkan, Papa selalu bercerita tentang kesehariannya pada Ibu. Meski selalu tak ada sahutan dan jawaban. Asal melihat Ibu tertawa walau bukan karenanya, Papa bahagia."
Raileen menunduk. Ia semakin mendekap erat Mama.
"Maaf, Raileen, karena cinta yang tak bisa lagi menyeimbangi logika, Ibu harus terluka seperti ini," ujar Hala lalu menjeda ucapan, sekadar menarik napas dalam-dalam. "Saya harap, kamu tidak membenci kami. Saya sadar ... apa pun alasan itu, perbuatan kami tetaplah salah."
Mereka menuntun Mama keluar dari ruangan. Berjalan perlahan menyeimbangi langkah Mama yang tertatih. Wanita itu masih terus memandang kosong. Sesekali bibirnya menyungging senyuman.
"Berapa lama Mama dipasung?" Pertanyaan yang sedari tadi berada di pikirannya kini Raileen utarakan.
"Satu tahun."
Jawaban yang membuat Raileen tertohok. Wajahnya menyendu, memikirkan bahwa keadaan Mama selama ini tidak baik-baik saja. Mulai menyesali perihal ia yang terkadang berpikir buruk tentang Mama.
"Saya mau bawa Mama. Saya mau urus Mama, Hala. Saya akan berusaha agar Mama bisa mendapatkan pengobatan. Karena saya yakin, Mama pasti bisa sembuh kembali."
"Saya tidak setuju."
Suara bariton yang berat dan serak mengambil atensi mereka.
"Saya tidak pernah meminta persetujuan dari siapa pun, Om."
***
Alhamdulillah
Terima kasih sudah baca.
Sukses selalu, Orang hebat.Spread love,
Sugi 💖
YOU ARE READING
HELLO, TETANGGA KOS! ✓ | TELAH TERBIT |
Teen Fiction1st Runner up novelet CMG *** "Kamu mungkin tidak akan mempercayainya. Namun, apa yang saya sampaikan adalah kenyataan yang ada. Ayahmu, dia menghamili darah dagingnya sendiri." Raileen tidak tahu sesakit apa hatinya ketika mendengar kalimat itu...