Bismillahirrahmanirrahim
Semoga Allah mudahkan segala hal.***
Bulan telah berganti. Segala kejadian menyakitkan itu berhasil Raileen lewati dengan rongga dada yang tak berhimpit. Tangan-tangan ringkihnya mampu memeluk erat segala luka yang menganga. Hal yang membuat gadis itu bisa menerima tanpa harus berlarut-larut dalam kesedihan.Ia membereskan barang-barang yang akan dibawa hari ini. Tote bag hitam rajut buatannya telah terisi satu kotak makan berukuran besar. Selain itu, terdapat botol minum, dan beberapa barang keperluan lainnya.
"Ke Rumah Sakit lagi?"
Suara bariton yang terdengar dari arah belakang tak membuat Raileen menghentikan aktivitasnya. Ia tetap bergerak dengan cekatan, memastikan setiap sudut ruang itu telah rapi dan bersih.
"Iya, itu suatu rutinitas di akhir pekan yang tidak akan pernah saya lewatkan," kata Raileen.
Di depan kamar indekos Raileen, orang itu mengangguk. Kemudian kaki jenjang miliknya melangkah perlahan memasuki ruangan. Dengan santai, Hala, duduk di atas kasur yang sudah Raileen rapikan.
"Saya mau ikut."
Bukan karena ucapan yang baru saja terlontar, penyebab mata sipit Raileen membesar. Namun, cara orang itu duduk yang membuat kasurnya kembali berantakan. Hanya satu kali tarikan, laki-laki itu berdiri sambil mengaduh.
"Kasurnya sudah saya rapikan. Kamu enggak boleh seenaknya duduk." Raileen mendorong pelan tubuh tegap itu. "Kamu enggak perlu ikut."
"Lho, kenapa? Memangnya salah jika saya ingin menjenguk ibu saya sendiri?"
Benar juga! Raileen hampir melupakan fakta bahwa mereka adalah saudara. Gadis itu meraih tote bag dan sling bag lalu berjalan keluar diikuti Hala. Selepas memastikan semua jendela tertutup, Raileen beralih mengunci pintu kamar.
"Saya mau ikut, ya."
Pada pagi saat matahari sudah menampakkan diri sedari tadi, laki-laki itu masih saja memakai boxer dengan wajah khas orang yang baru bangun tidur. Rambut ikal miliknya bahkan masih diikat secara asal.
"Kenapa kamu masih di sini? Memangnya kamu mau berangkat ke sana dengan penampilan begini?"
Menggaruk tengkuk, tertawa pelan, Hala mengusap lembut rambut Raileen. Ia meminta agar gadis itu menunggu beberapa menit hingga dirinya selesai membasuh tubuh. Sempat ingin menolak, pada akhirnya Raileen menurut.
Ia duduk di selasar kamar, mengeluarkan ponsel, dan larut dalam dunia media sosial. Di layar pipih itu menampilkan sejumlah postingan dari beberapa orang yang dirinya kenal.
Entah sudah berapa lama Raileen menunggu. Namun, cairan yang keluar dari sudut mata sebab menguap terlalu lebar, membuat Raileen yakin bahwa waktunya cukup lama. Gadis itu bangkit, berjalan menuju kamar di sebelahnya, lalu mengetuk pintu tak sabaran.
"Kamu jadi ikut enggak, sih?"
"Sebentar, Raileen. Saya sakit perut." Laki-laki itu menjawab ucapan Raileen dengan sedikit kencang, agar terdengar.
Raileen mendengkus.
***
Raileen melepas helm. Ia berjalan lebih dahulu dengan langkah yang dihentak. Raut wajahnya tidak bersahabat. Kesal, karena harus menunggu Hala, Raileen telat satu jam daripada biasanya.
"Saya minta maaf, Raileen. Panggilan alam tidak bisa saya tolak. Memangnya kamu mau kalau tiba-tiba saya tak dapat menahan di tengah perjalanan?"
Tanpa menjawab, Raileen terus menyusuri lorong bangunan, dan diam ketika bertemu seorang wanita berpakaian putih. Mereka berjabat tangan lalu memasuki salah satu ruang.
"Keadaan mama saya gimana, Sus?" tanya Raileen selepas berbasa-basi.
"Ada sedikit perkembangan dari kondisinya. Kita tahu, bahwa mama Raileen mengidap gangguan stress pascatrauma atau PTSD. Karena beliau terlambat mendapat penanganan, tidak diberi arahan harus melakukan apa. Bahkan beliau diasingkan dan dipasung, bukan? Hal itu membuat tingkat keparahan dari PTSD ini tinggi."
Ruangan 4 × 4 m² itu lengang.
Raileen memilin ujung bajunya.
"Namun, tidak perlu khawatir. Selama mendapat penanganan dan pengobatan yang benar, beliau pasti sembuh. Di sini, kami tidak hanya membantu pengobatan secara medis, tetapi juga melakukan terapi religius. Melalui cara yang sangat sederhana, seperti di jam-jam tertentu memutar murottal. Sebab, penyebab tertinggi dari gangguan-gangguan yang ada karena kurang dekatnya kita dengan agama."
Percakapan itu berlangsung hingga memakan habis setengah jam. Setelah tahu di mana posisi mamanya, Raileen berdiri dan pamit keluar dari ruangan. Perasaan gadis itu semakin ringan.
Ia menggenggam tali tas dan mempercepat langkah. Seperti penghujung hari biasanya, Mama berada di halaman bangunan. Berjemur dengan para pasien lainnya.
"Raileen, sini!"
Raileen menoleh. Ia menatap Hala dan seseorang yang berada di atas kursi roda. Sejak kapan Papa datang? Mengabaikan pertanyaannya sendiri, gadis itu mendekat dengan senyum mengembang.
Rasa bahagia tidak dapat dirinya elak. Terlebih setelah mengetahui bahwa bapaknya telah berada di tempat yang tepat, mendekam dalam jeruji besi.
"Mama, Papa."
Ia mencium secara bergantian punggung tangan mereka. Ada rasa haru menyeruak di dada ketika menyadari bahwa mamanya telah dipertemukan dengan seseorang. Seseorang yang mampu mencintai Mama dan tak berniat meninggalkan meski wanita dengan kerutan di wajah itu tengah berada di titik terendah.
"Apa kabar, Raileen?"
"Raileen baik, Pa. Kalau Papa bagaimana?"
Laki-laki di atas kursi roda itu tersenyum. "Papa sehat, Raileen, seperti yang kamu lihat sekarang. Laki-laki tua ini semakin bersemangat menjalani hari. Tak sabar ingin kembali ditemani oleh istri tercinta."
Kemudian mereka tergelak.
Raileen kembali rasakan bahagia, meski dengan keluarga yang kini berbeda.
***
- Hello, Tetangga Kos -
Alhamdulillah
Akhirnya sampai di bab terakhir.
Terima kasih sudah membaca sampai usai.
Sukses selalu, Orang hebat.Spread love,
Sugi 💖💖
A.n : Semangat untuk kalian semua.
YOU ARE READING
HELLO, TETANGGA KOS! ✓ | TELAH TERBIT |
Fiksi Remaja1st Runner up novelet CMG *** "Kamu mungkin tidak akan mempercayainya. Namun, apa yang saya sampaikan adalah kenyataan yang ada. Ayahmu, dia menghamili darah dagingnya sendiri." Raileen tidak tahu sesakit apa hatinya ketika mendengar kalimat itu...